Cerita Meinar, Jadi Filateli hingga Berburu Prangko dengan Sahabat Pena

Posted on

Setiap orang punya hobi masing-masing, tentunya dengan jenis yang berbeda-beda pula. Membuat sesuatu, menjalani olahraga, maupun mengoleksi benda-benda yang dianggap unik hingga menumbuhkan ketertarikan.

Salah satu hobi yang banyak dilakoni, ialah mengoleksi prangko atau dikenal sebagai filateli. Filateli sendiri bisa dimaknai sebagai aktivitas mengumpulkan atau mengoleksi prangko dan benda-benda pos lainnya.

Sedekade belakangan, bisa jadi filateli tak lagi jadi hobi yang menarik buat generasi Z, generasi Alfa, bahkan buat sebagian milenial. Mereka tak akrab dengan yang namanya prangko, berkirim surat, atau bahkan sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di kantor pos.

Menjadi seorang filateli, tentu berkaitan erat dengan pengaruh dari seseorang, terutama orang terdekat seperti keluarga atau teman. Hal itu yang dialami Meinar Rachmawati, perempuan 42 tahun yang punya hobi mengoleksi prangko.

Berawal dari profesi ayahnya sebagai seorang petugas keamanan di kawasan industri Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, menjadi gerbang masuk buat Meinar mengenal prangko yang menjadi salah satu atribut penting dalam bersurat di medio 90-an sampai tahun 2000-an.

“Jadi mungkin banyak transaksi atau komunikasi dengan perusahaan di luar negeri, andalan kantor ayah saya dulu itu pos. Nah di situ, saya pertama kali lihat banyak surat dengan prangko dari luar negeri,” kata Meinar kepada infoJabar.

Ragam gambar dengan warna-warni menghipnotis pandangan Meinar. Gambar-gambar yang dituangkan di prangko negara-negara yang berkorespondensi dengan perusahaan sang ayah membuatnya tenggelam lebih dalam.

Kesukaan Meinar itu berkorelasi dengan hobi keluarganya akan sesuatu yang bernuansa seni. Maka tak heran, prangko-prangko yang sebagian tersimpan di laci kerja ayahnya kian menumbuhkan jiwa seninya.

Ia ingat betul mulai mengoleksi prangko dari dalam dan luar negeri di kelas 4 SD. Saat itu, ingatannya agak samar namun Indonesia sedang berjaya di bidang ekonomi, budaya dan olahraga. Hal itu dituangkan pemerintah di dalam prangko.

“Terus ayah saya memberi tahu ada koleksi prangko namanya filateli, dari situ saya diajak ke kantor pos untuk membeli bukunya. Itu awal mula ketertarikan saya jadi filateli,” ujar Meinar.

Upaya pengumpulan prangko untuk ditempelkan pada buku yang ia beli di kantor pos tak cuma dengan membeli sendiri atau mengambil prangko dari surat masuk. Cara lainnya yakni bertemu dengan sesama filateli.

“Waktu saya SMP itu mungkin sedang menjadi tren jadi banyak filateli yang saling bertukar prangko jika punya double dengan prangko yang lain. Juga serunya pada waktu itu bagaimana kita berusaha mendapatkan prangko unik dari negara lain dengan cara mencari teman pena dari luar negeri,” kata Meinar.

Menjadi filateli dengan ambisinya memiliki banyak koleksi prangko yang langka, menumbuhkan jiwa kreatif dan berani. Mereka dulu tumbuh dengan aktivitas bersurat dengan teman di luar negeri alias memiliki sahabat pena.

“Jadi kayak kita menulis surat keluar negeri dan mendapat teman dari negara lain, padahal tujuan utamanya agar kita mendapatkan prangko dari negara lain,” kata Meinar.

Prangko juga punya peran sebagai jendela dunia. Melalui benda berukuran mungil yang ditempel di ujung kertas, orang zaman dulu bisa tahu ikon-ikon negara lain di tengah keterbatasan sumber informasi dan teknologi.

“Dan menurut aku perangko itu juga menjadi jendela sejarah sebuah negara karena di negara manapun itu sama, karna saat ada acara apa atau keadaan negaranya bagaimana itu terpresentasikan lewat prangko,” ucap Meinar.

Saling Tukar Prangko dengan Filateli Lain