Mengenal Saung Eurih: Ruang Ekspresi Warga Majalengka

Posted on

Di balik rindangnya pepohonan di Kelurahan Cicurug, Kecamatan/Kabupaten Majalengka, berdiri sebuah deretan saung bambu yang unik. Tempat ini namanya Saung Eurih. Mayoritas orang mengenalnya adalah rumah makan.

Namun tempat ini tidak sesederhana seperti dalam ingatan sebagian besar orang. Saung Eurih bukan sekadar tempat bersantap. Tempat ini adalah ruang hidup bagi seniman, budayawan, komunitas, hingga aktivis muda di Majalengka.

Didirikan pada 2007, Saung Eurih berangkat dari keresahan sejumlah orang seperti Eman Kardiman hingga Ketut Aminuddin. Mereka resah terhadap kondisi lingkungan sekitar.

Ketut Aminuddin, yang kini dinobatkan menjadi pengelola kebudayaan Saung Eurih, mengenang masa awal berdirinya tempat ini sebagai sebuah gerakan sosial.

“Saung Eurih itu berangkat dari kebersamaan. Dari teman-teman komunitas yang berangkat dari kapeurih (kepedihan), peurih nya itu melihat kondisi lingkungan yang kurang baik,” kata Ketut saat berbincang dengan infoJabar, Jumat (11/7/2025).

Gerakan ini kemudian berkembang menjadi komunitas yang mengelola sampah, bahkan sempat membudidayakan tanaman hidroponik. Atas kontribusinya, Saung Eurih pun mendapatkan penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan dikukuhkan sebagai komunitas pencinta lingkungan.

“Mendapat penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Saung Eurih dikukuhkan sebagai pencinta lingkungan,” ujarnya.

Seiring waktu, Saung Eurih mulai banyak dikunjungi. Suasana yang asri dan interaksi hangat antar komunitas menjadi daya tarik tersendiri. Ketika pengunjung mulai berdatangan, muncul ide untuk membuka usaha kuliner.

Sejak 2011, Saung Eurih resmi membuka rumah makan yang menyajikan menu khas Majalengka seperti nasi liwet, hingga pencok katel.

“Alhamdulillah tempat kami sempat booming, dan dijadikan tempat kuliner. Namun ruh komunitasnya tetap tidak berubah,” ucapnya.

Meski kini dikenal sebagai rumah makan, Saung Eurih tetap setia pada akar komunitasnya. Tempat ini rutin menggelar diskusi, pertunjukan seni, hingga forum budaya. Tempat ini menjadi ruang ekspresi yang membumi, merawat lingkungan, dan menyatukan cita rasa dengan cita pikir.

Saung Eurih bukan hanya tempat makan, melainkan cermin semangat warga Majalengka yang ingin membangun perubahan dari bawah, dari yang paling dekat, dari saung-saung sederhana yang terus hidup karena cinta dan kepedulian.

“Saung Eurih juga sering mengadakan diskusi, penampilan kesenian hingga budaya. Saung Eurih ingin menciptakan ekosistem yang lengkap, kami ingin menjadi wadah ruang berekspresi masyarakat Majalengka,” pungkasnya.

Di balik itu, Saung Eurih juga menjadi pusat kegiatan literasi yang dihidupi oleh anak muda. Salah satunya adalah Forum Baca Saja Bersama. Permana Fajar Proklamasi, salah satu penggiatnya, menjelaskan bahwa forum ini lahir dari obrolan santai yang kemudian diarahkan ke aktivitas membaca buku.

“Kita membaca buku apa saja, waktu itu ada anak Mojang Jajaka ngomongin feminisme kita diskusikan. Terus membaca juga tidak sekedar buku, membaca gerak-gerik, alam itu juga bagian dari membaca,” ujar Fajar.

Bahkan diskusi di Saung Eurih juga cukup membetot perhatian warga asing. Banyak turis yang datang ke tempat ini hanya sekedar ingin bertukar pikiran.

“Lalu ada turis dari Belanda bawa bacaan keramik, terus dari Jepang soal beras. Semua jadi bahan diskusi,” kata Fajar.

Tak hanya soal literasi, Saung Eurih juga merawat ketertarikan generasi muda terhadap pertanian lewat komunitas Gen Z Permak Cultur. Komunitas ini mendorong anak muda agar tidak melupakan tanah dan lahan di kampung halaman mereka.

“Keresahan kami membuat forum ini karena teman sebaya jarang mau turun ke pertanian. Padahal isu pengangguran lagi ramai, padahal tanah di kampungnya juga masih banyak yang nganggur dan bisa dikelola,” jelasnya.

Adapun konsep yang mereka kembangkan untuk forum ini adalah pertanian terpadu. Sampah dapur jadi pakan dan pupuk, limbah ternak diolah jadi kompos, hasil panen dan ternak kembali masuk ke dapur rumah makan.

“Di sini juga mereka bisa belajar bertani karena ada lahan juga di kami, dan juga soal memanfaatkan sampah. Sampah nya jadi pakan dan pupuk. Jadi Saung Eurih itu membangun lagi ekosistem baru lahannya tidak jauh dari lokasi di saung eurihnya sendiri,” ucap Fajar.

“Jadi saya punya prinsip kembali ke saung itu ‘dari runtah jadi ngeunah’ (dari sampah jadi enak). Dari sini kita bisa bawa ikan karena punya kolam juga, bawa daging karena punya peternakan, telur sama hasil kebun. Terus dari ternak juga hasilin limbah jadi kotoran nggak kebuang manfaatnya untuk pertanian. Hasil dari sini bisa untuk usaha kuliner di saung,” sambungnya.

Dari Saung ke Dapur

Literasi, Budaya, dan Ekologi Bertemu di Saung Eurih