Walhi Jawa Barat mengkritik konsep pembangunan trotoar yang berada di wilayah Kota Bandung. Konsep itu menurut mereka mengesampingkan fungsi lingkungan karena memilih cara dengan menebang pohon yang akhirnya berakibat timbulnya banjir di jalan.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin mengatakan, renovasi trotoar di perkotaan kerap kali tidak mengindahkan penghijauan. Banyak pohon pohon yang selalu ini menjadi fungsi ganda sebagai peneduh dan penetralisir polusi malah ditebang.
Contohnya kata dia terjadi di pembangun trotoar di daerah Kiaracondong, Pasirkoja, Jalan Pajajaran, Sukajadi, Cihampelas, hingga Ujungberung. Konsep trotoar yang dibangun justru membuat kawasan resapan air berkurang hingga membuat banjir tak bisa terhindarkan.
“Mestinya tidak menggunakan proses betonisasi untuk mempercantik trotoar karena itu nyata-nyata mengurangi daya serap air di tempat tersebut,” kata pria yang akrab disapa Iwang tersebut, Sabtu (22/11/2025).
Ia menyayangkan drainase pendukung jalan di perkotaan tidak dirancang secara maksimal. Ia menuturkan, sejak zaman Belanda hingga masa awal pembangunan di perkotaan tidak menggunakan bahan solid.
Dengan kondisi ini, kata dia, tak heran bila banjir terjadi di banyak tempat karena curah hujan tinggi membuat air akan meluber ke jalan. Ia meyakini aliran air tersebut masuk ke sungai hingga menyebabkan banjir lebih tinggi di daerah Bandung Selatan.
Iwang menyatakan pihaknya sudah lama memberikan saran pada pemerintah, bahkan melontarkan kritik atas pembangunan yang tidak mengindahkan unsur lingkungan. Karena ini menjadi tidak baik untuk solusi masa depan.
“Sebetulnya ini kan hasil dari walikota dan gubernur sebelumnya yang gemar untuk menata ruang kota. Yang menurut saya, oke, dalam konteks penataannya itu publik bisa menerima. Tapi ada aspek lain yang dikesampingkan,” tuturnya.
“Karena banyak ruas jalan Kota Bandung dalam kurun waktu 5-10 tahun pohon itu ditebang. Padahal pohon itu kan memiliki fungsi untuk resapan air dan untuk menangkap polusi dari kendaraan maupun pemukiman. Ini yang membedakan dimana pembangunan trotoar sejak dulu dengan sekarang itu dengan konsep betonisasi, dan sekarang diadopsi di 27 kabupaten/kota di Jabar,” bebernya.
Iwang pun mendesak supaya trotoar dikembalikan fungsi lingkungannya. Meski kemudian area itu ditata lebih cantik, tapi menurutnya konsep tersebut jadi sia-sia karena resapan airnya sudah tidak ada.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
“Pencitraannya kan supaya bagus, tertata. Tertata itu kan bukan dalam konsep betonisasi, dalam konsep harus menghilangkan fungsi resapan air.
Jauh dari itu, pemkot, pemprov tidak pernah melihat sejauh mana drainase ini yang tidak berfungsi, diintervensi dengan konsep penataan trotoar dengan betonisasi. Sehingga kalau hujan itu limpas ke jalan dan tidak heran kalau ada genangan,” ungkapnya.
“Maka Walhi mendesak kembalikan fungsinya trotoar itu, tanpa harus mengesampingkan kaidah lingkungan. Apalagi kan ada tanggung jawab pemerintah membuat 10-30 ruang terbuka hijau. Gimana mau terbangun kalau pohon2-pohon di sepanjang trotoar jalan ditebang. Jadi idealnya ada pemulihan kembali terhadap fungai trotoar, baik itu memperbanyak pohon dan tidak mengedepankan konsep betonisasi,” tegasnya.
Di kesempatan terpisah, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan merespons soal kritik ini. Ia memastikan akan menampung saran Walhi Jabar seraya memastikan tali-tali air di wilayahnya bisa berfungsi optimal untuk mencegah banjir.
“Kalau penyerapan airnya, itu drainasenya ada di bawah. Nanti kita lihat lah sama-sana, ini kan masih banyak nih drainase yang dibongkar-bongkar. Kritik dari Walhi tentu akan kita dengarkan dan perhatikan sedemikian rupa. Sehingga yang paling penting gini, tali-tali air itu terbuka semuanya sehingga bisa masuk ke bawah,” pungkasnya.
