Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa sejumlah bukti kepemilikan tanah lama tidak lagi diakui secara hukum mulai 2026. Pemilik tanah yang masih menggunakan dokumen tersebut diminta segera mengonversinya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 juncto Peraturan Menteri ATR Nomor 16 Tahun 2021 Pasal 76A. Melansir infoProperti, dalam aturan itu disebutkan bahwa alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki perseorangan dinyatakan tidak berlaku setelah lima tahun sejak PP Nomor 18 Tahun 2021 mulai berlaku.
“Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perseorangan berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia, dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dinyatakan tidak berlaku setelah lima tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 berlaku,” demikian bunyi aturan tersebut.
PP Nomor 18 Tahun 2021 diundangkan pada 2 Februari 2021. Artinya, batas akhir penggunaan dokumen-dokumen tersebut sebagai alat bukti kepemilikan tanah jatuh pada 2 Februari 2026.
Untuk memastikan kepemilikan tanah tetap sah di mata hukum, ATR/BPN mengimbau masyarakat segera mendaftarkan tanahnya dan mengubah bukti kepemilikan lama menjadi SHM. Berikut jenis-jenis bukti kepemilikan tanah lama yang wajib dikonversi.
Girik tidak lagi berlaku sebagai bukti kepemilikan tanah mulai 2026. Dokumen ini merupakan bukti penguasaan tanah lama yang dikenal sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Dalam UUPA, pemilik tanah diberi kesempatan untuk mendaftarkan tanahnya. Namun, seiring berjalannya waktu dan diterbitkannya sejumlah peraturan baru, hak atas tanah yang bersumber dari girik tidak lagi diakui sebagai bukti hukum kepemilikan.
Letter C juga termasuk dokumen yang tidak lagi berlaku setelah 2026. Pasal 96 PP Nomor 18 Tahun 2021 menyatakan bahwa alat bukti tertulis tanah bekas milik adat, termasuk girik, petuk, dan letter C, wajib didaftarkan paling lambat lima tahun sejak peraturan tersebut diberlakukan.
Dengan demikian, letter C tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan tanah setelah 2 Februari 2026.
Petuk atau petok D merupakan dokumen administrasi yang menandakan pelunasan pajak bumi pada masa lalu. Dokumen ini dahulu digunakan sebagai bukti penguasaan tanah dan menjadi salah satu syarat konversi tanah adat menjadi hak milik.
Mulai 2026, petok D tidak lagi berlaku sebagai alat bukti hukum kepemilikan tanah dan harus dikonversi menjadi sertifikat.
Verponding adalah pajak tahunan atas tanah yang diberlakukan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Pajak ini dikenakan pada tanah-tanah bernilai ekonomis, seperti kebun, pekarangan, kolam, hingga rumah.
Ke depan, verponding tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan tanah. Dokumen ini hanya dapat digunakan sebagai petunjuk atau data pendukung dalam proses pendaftaran tanah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekitir merupakan tanda kepemilikan tanah sekaligus besaran pajak yang harus dibayar. Sama seperti girik dan verponding, kekitir tidak lagi berlaku sebagai alat bukti hukum kepemilikan tanah mulai 2026.
Pipil atau papil adalah catatan tanda kepemilikan tanah dan besaran pajak yang telah dibayarkan. Dokumen ini juga masuk dalam daftar bukti kepemilikan tanah lama yang tidak lagi diakui secara hukum setelah batas waktu yang ditetapkan pemerintah.
ATR/BPN mengingatkan masyarakat agar tidak menunda proses pendaftaran tanah. Konversi bukti kepemilikan lama menjadi Sertifikat Hak Milik penting dilakukan untuk memberikan kepastian hukum serta menghindari potensi sengketa di kemudian hari.
Artikel ini sudah tayang di infoProperti
