Mitos dan cerita rakyat telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa Barat. Kisah-kisah ini tumbuh dari pengalaman, kepercayaan, dan hubungan masyarakat dengan alam di sekitarnya. Tak sedikit tempat di Jawa Barat yang dikenal bukan hanya karena keindahannya, tetapi juga karena cerita misterius yang menyertainya.
Salah satu kisah yang sering dibicarakan adalah Sanghyang Tikoro, sebuah lubang besar di aliran Sungai Citarum yang dipercaya menyimpan kekuatan gaib. Bagi masyarakat sekitar, Sanghyang Tikoro bukan sekedar fenomena alam, melainkan tempat yang dianggap keramat dan penuh makna.
Melalui cerita rakyat dan mitos yang berkembang, Sanghyang Tikoro menjadi simbol hubungan antara manusia, alam dan kepercayaan. Artikel ini akan mengulas asal usul, mitos serta cerita yang membuat Sanghyang Tikoro begitu melegenda di Jawa Barat.
Nama Sanghyang Tikoro sendiri berasal dari dua kata, yakni sanghyang yang bermakna sesuatu yang dianggap suci, serta tikoro yang dalam bahasa Sunda berarti tenggorokan. Penamaan ini melahirkan sebutan “tenggorokan dewa”, yang menggambarkan aliran air dari alam yang seolah berasal dari tempat sakral dan menghilang tanpa arah yang jelas.
Istilah tersebut merujuk pada bentuk goa Sanghyang Tikoro yang menyerupai tenggorokan. Di lokasi ini, air Sungai Citarum tampak seperti “ditelan” oleh lubang besar di tengah aliran sungai, sehingga menimbulkan kesan misterius dan memperkuat cerita rakyat yang berkembang di sekitarnya.
Dalam cerita rakyat yang berkembang, Sanghyang Tikoro digambarkan sebagai seorang pertapa sakti yang berusaha mengendalikan derasnya aliran Sungai Citarum agar tidak merusak permukiman warga. Namun usahanya tersebut dipercaya berakhir tragis, karena kesombongannya menantang kekuatan alam membuatnya terseret dan menghilang ke dalam pusaran air di gua tempat ia bertapa.
Hingga kini, masyarakat setempat meyakini bahwa roh Sanghyang Tikoro masih bersemayam di dalam gua tersebut. Kepercayaan ini melahirkan berbagai pantangan, di mana pengunjung diingatkan untuk menjaga sikap dan tutur kata. Konon, perilaku tidak sopan atau ucapan kasar dapat mengundang gangguan gaib atau membuat seseorang tersesat di sekitar kawasan itu.
Konon Legenda Sanghyang Tikoro dikaitkan dengan kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang dikenal luas dalam cerita rakyat Sunda. Dikisahkan bahwa Dayang Sumbi menolak permintaan Sangkuriang untuk menikahinya setelah menyadari bahwa pemuda tersebut adalah anak kandungnya sendiri. Penolakan ini disertai kutukan keras karena pernikahan tersebut dianggap mustahil untuk terjadi.
Sebagai syarat penolakan, Dayang Sumbi meminta Sangkuriang mengisi sebuah lembah besar dengan air hanya dalam waktu semalam. Sangkuriang menyanggupi tantangan itu dan berusaha membendung Sungai Citarum dengan batu-batu besar. Namun ketika pekerjaannya hampir selesai, Dayang Sumbi menggagalkan usaha tersebut dengan menyalakan api unggun, sehingga tampak seolah-olah pagi telah tiba.
Kegagalan itu memicu amarah Sangkuriang. Batu besar yang digunakannya terbanting dan berguling hingga membentuk sebuah lubang besar yang kemudian dikenal sebagai Sanghyang Tikoro.
Di sisi lain, warga setempat meyakini bahwa gua Sanghyang Tikoro menampung dan “menelan” sebagian aliran Sungai Citarum, termasuk air yang diyakini berasal dari danau purba yang dahulu menutupi wilayah Bandung. Air yang masuk ke dalam lubang tersebut konon menghilang tanpa diketahui ke mana arahnya, sehingga semakin memperkuat kesan misterius yang menyelimuti Sanghyang Tikoro.
Dari peristiwa inilah muncul berbagai mitos, salah satunya suara seperti orang tersedak yang terdengar dari dalam gua saat benda dilemparkan ke aliran sungai. Masyarakat sekitar pun mengingatkan pengunjung untuk menjaga kebersihan agar aliran air tidak meluap dan merugikan permukiman warga.
Selain kisah legenda, berkembang pula kepercayaan bahwa aliran air di Sanghyang Tikoro mengarah ke dunia lain atau masuk ke perut bumi. Secara geologis, kawasan ini diperkirakan pernah menjadi bagian dari danau purba sekitar 20 hingga 30 juta tahun lalu, dengan kedalaman mencapai 10 hingga 20 meter akibat pecahnya aliran air. Hingga kini, lokasi tersebut belum banyak diteliti secara mendalam karena kondisi alamnya yang berisiko dan sulit dijangkau.
Lokasi Sanghyang Tikoro berada di Jalan PLTA Saguling, Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Terlepas dari cerita legenda dan berbagai mitos yang menyelimutinya, Sanghyang Tikoro juga dikenal karena keindahan alamnya. Pengunjung bisa menyaksikan bentuk goa yang unik, aliran sungai citarum yang tampak jernih dan suasana sejuk khas alam sekitar yang membuat tempat ini menarik untuk dikunjungi.
Meski memiliki daya tarik tersendiri, akses menuju bagian dalam goa Sanghyang Tikoro dibatasi karena derasnya aliran air yang berisiko membahayakan keselamatan. Pemerintah setempat pun terus melakukan upaya pelestarian kawasan ini sebagai warisan geologi, sekaligus menjaga dan menghormati kepercayaan serta nilai budaya yang hidup di masyarakat sekitar.
Hingga kini, warga sekitar masih meyakini bahwa kawasan gua Sanghyang Tikoro dijaga oleh roh penunggunya. Kepercayaan tersebut membuat pengunjung diingatkan untuk menjaga sikap, tidak berkata kasar, serta menghindari perilaku sombong saat berada di area tersebut. Konon, pelanggaran terhadap pantangan ini dapat menimbulkan gangguan atau membuat seseorang tersesat.
Keunikan alam Sanghyang Tikoro memang mengundang rasa penasaran banyak wisatawan. Meski demikian, masyarakat setempat selalu menekankan pentingnya bersikap sopan dan menghormati aturan tak tertulis yang berlaku di sekitar gua. Nasihat ini disampaikan sebagai bentuk perlindungan sekaligus penghormatan terhadap tempat yang dianggap sakral.
Di balik cerita tersebut, tersimpan pesan moral yang masih relevan hingga kini. Sanghyang Tikoro mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam, menjaga tutur kata dan perilaku serta tidak bertindak semena-mena terhadap lingkungan sebagai ciptaan tuhan.
Sebagai bagian dari cerita rakyat Jawa Barat, Sanghyang Tikoro tidak hanya dikenal karena misterinya, tetapi juga karena nilai budaya dan kepercayaan yang menyertainya. Kisah-kisah yang berkembang di sekitarnya menjadi cerminan cara masyarakat Sunda memaknai alam dan kehidupan, sekaligus menjaga warisan leluhur agar tetap hidup hingga sekarang.
Sanghyang Tikoro bukan sekedar lubang alam di aliran Sungai Citarum, melainkan bagian dari cerita yang hidup dalam ingatan masyarakat Jawa Barat. Mitos dan legendanya menjadikan tempat ini lebih dari sekedar objek wisata, tetapi juga ruang budaya yang menyimpan nilai sejarah, kepercayaan dan kearifan lokal.
Terlepas dari kisah mistis yang turun temurun, Sanghyang Tikoro mengajarkan pentingnya sikap hormat kepada alam dan tradisi. Cerita rakyat yang melekat menjadi pengingat bahwa hubungan manusia dengan lingkungan seharusnya dijaga dengan bijak, agar warisan budaya ini tetap lestari dan bermakna bagi generasi mendatang.
Penulis adalah peserta Maganghub Kemenaker
