Senja menjelang, beruntung langit masih terang. Sepekan terakhir, mendung menggelayut mulai siang seketika jalanan basah disiram hujan deras yang bertahan sampai tengah malam.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Sulinem berjalan sembari menggendong bakul jamu di punggungnya, kuat karena diikat dengan kain jarik. Perempuan 59 tahun itu tak seperti usianya, masih segar bugar, badan tegap, kulit kencang meskipun flek mulai bermunculan di wajahnya.
Ia selalu tersenyum ketika meladeni pelanggan. Maklum, kebanyakan pembeli jamu gendongnya merupakan orang lama yang sudah berlangganan sejak tahun 1980-an. Ya, Sulinem merupakan penjual jamu gendong di daerah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Saban sore, tujuh hari dalam seminggu, ia tak pernah libur menjajakan jamu tradisional racikan tangannya. Resepnya selalu sama, peninggalan sesepuh yang ia rawat sepenuh hati. Pelanggannya tak pula bosan dengan jamu dagangan Sulinem. Maklum, jamu bukan dikonsumsi karena gengsi semacam kopi dan matcha di kafe-kafe. Konsumen Sulinem tahu betul khasiat jamu dari bahan alami.
Dari botol-botol kaca, cairan berwarna coklat pekat, krem, kuning kunyit, dituangkan ke gelas-gelas sederhana khas rumah orang-orang ekonomi kelas menengah ke bawah. Jamu seperti kunyit asem, beras kencur, kudu laos, dan jahe, ditenggak tanpa ragu.
Sulinem lalu menerima uang Rp4 ribu untuk setiap gelas jamu yang dipesan pelanggan. Harga yang jauh lebih murah dibanding minuman botol dalam kemasan mengandung gula tinggi yang mampu meningkatkan risiko diabetes.
“Saya sudah jualan jamu ini sekitar 43 tahun, soalnya awal jualan jamu di sini (Kelurahan Leuwigajah) itu tahun 1982,” kata Sulinem saat berbincang dengan infoJabar, Selasa (4/11/2025).
Ia masih ingat betul, suasana tempatnya berjualan jamu dulu masih sangat sepi. Jalanan berbatu, tak banyak berseliweran kendaraan seperti sekarang. Kala itu, usianya baru 16 tahun.
“Saya merantau dari Solo ke Leuwigajah, awalnya bibi yang jualan jamu di sini. Jadi enggak langsung jualan sendiri, tapi ikut bibi. Nah waktu bibi pulang ke Solo lagi, saya lanjut jualan jamu di sini. Alhamdulillah bertahan sampai sekarang,” kata Sulinem.
Ia tak pernah mengeluh, kendati hujan angin langkahnya tetap kokoh. Tubuhnya terjaga, tak cuma karena berjalan puluhan ribu langkah sehari, tentunya karena dopping jamu-jamu yang ia olah setiap hari.
“Biasanya belanja bahan baku ya dari pasar, tapi kadang ada yang harus ambil dari Jawa (Solo) karena di sini enggak ada. Misalnya itu agas, kapulaga, lempuyang, itu saya ambil dari kampung. Kalau di sini kan kunyit, jahe, laos, ya itu ada,” ujar Sulinem.
“Kalau capek ya pasti ada, cuma kan saya juga minum jamunya. Keluarga juga, jadi memang khasiatnya terasa. Jamu kan manfaatnya enggak instan, memang karena rutin, pasti terasa setelah tua,” imbuhnya.
Berjualan jamu semenjak masih gadis, hari demi hari ia lakoni sampai akhirnya menemukan tambatan hati. Sulinem menikah dengan suaminya sampai kini dikaruniai delapan orang anak.
“Jadi saya jualan jamu dari zaman harganya segelas itu 25 perak (Rp25), sampai sekarang Rp4 ribu paling mahal. Alhamdulillah bisa menyekolahkan delapan anak, sekarang semua sudah bekerja,” kata Sulinem sembari tersenyum.
Investasi jangka panjang dari segelas jamu gendong tradisional, tak cuma mampu menghidup Sulinem dan keluarga besarnya. Ia bahkan sudah mampu membeli rumah hingga membangun bisnisnya.
“Rumah alhamdulillah kebeli, sudah punya toko sembako sama warung juga. Alhamdulillah, ya disyukuri, dijalani dengan ikhlas, bahagia. Enggak kerasa juga saya mau 60 tahun,” ucapnya.
