Popularitas becak sebagai kendaraan tradisional kini menghadapi tantangan signifikan. Di tengah era serba cepat, keberadaannya bersaing ketat dengan ojek daring yang dapat menjemput penumpang kapan saja dan di mana saja. Meski demikian, becak tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat.
Sebagai kendaraan yang digerakkan dengan tenaga manusia, becak menawarkan sejumlah kelebihan. Penumpang dapat menikmati suasana kota secara langsung tanpa terhalang kaca, merasakan hembusan angin, dan menawarkan pengalaman perjalanan yang unik dan terbuka. Becak juga lekat dengan kesan santai dan nuansa nostalgia, ramah lingkungan, serta menjadi simbol budaya yang kerap hadir dalam lagu-lagu anak.
Pengalaman menaiki becak menghadirkan kembali nuansa tempo dulu yang merupakan bagian penting dari identitas budaya Indonesia. Menariknya, biaya perjalanan becak umumnya tidak memiliki tarif tetap, melainkan hasil kesepakatan yang disesuaikan dengan jarak atau rute tempuh.
Karim, selaku salah satu pengendara becak di Kota Bandung, mengaku bahwa tarif yang diberikan tergantung pada tujuannya. “Becak sebetulnya tidak ada tarif, tergantung penumpangnya mau ke mana” ujarnya.
Perbedaan zaman sangat mempengaruhi profesi pengendara becak. Karim mengungkapkan bahwa zaman dulu, becak digunakan sebagai pengantar anak sekolah. Dahulu, adanya sistem abonemen memberikan kepastian pendapatan bagi Karim setiap bulan. “Kalau sekarang ini sekali-kali baru ada penumpang yang mau jalan, kalau dulu mengantar anak sekolah, ada abonemennya dulu” ungkapnya.
Karim menjelaskan bahwa perbedaan zaman sangat mempengaruhi jumlah penumpangnya. “Dulu langganan banyak, kalau sekarang tidak menentu,” ucapnya. Ia juga mengungkapkan bahwa adanya ojek daring memberikan dampak yang terasa bagi dirinya selaku pengendara becak. “Sebelum ada ojek daring, penumpangnya lumayan. Sekarang ya harus banyak disyukuri, masih dikasih sehat juga” tambahnya.
Becak yang digunakan Karim ternyata bukan milik pribadi. Setiap hari, ia harus menyewa becak tersebut dari sebuah garasi di daerah Patuha. Meski pendapatan tidak menentu, kewajiban membayar sewa tetap berjalan. Sewa becak tersebut adalah Rp7.000 per hari. “Mau narik atau tidak, Rp7.000 harus setor” jelas Karim.
Selain biaya sewa, Karim juga memikul tanggung jawab penuh atas keamanan kendaraan yang disewanya. “Kalau becak sudah keluar, tanggung jawab segala-galanya. Kalau kehilangan, itu menjadi tanggung jawab saya sendiri” tuturnya.
Karim sebenarnya memiliki pilihan untuk beralih ke becak motor yang lebih modern, namun kendala biaya setoran yang jauh lebih mahal membuatnya urung. Ia menyebutkan setoran becak motor bisa mencapai Rp20.000 hingga Rp25.000 per hari, jumlah yang terlalu besar baginya.
Di usia 70 tahun, Karim menjalani hidup sebatang kara di Bandung. Istrinya telah meninggal dunia, dan anak-anaknya berada di Garut. Kondisi ekonomi yang sulit, terutama setelah anaknya terkena PHK, membuat Karim harus berjuang sendiri. Ia tidak memiliki tempat tinggal tetap dan beruntung mendapatkan kebaikan dari pengurus masjid.
“Alhamdulillah DKM-nya baik, di sini saya bisa tidur. Yang penting kita jangan panjang tangan (mencuri). Kalau panjang tangan, orang-orang akan membenci, itu bahaya” kata Karim menekankan pentingnya kejujuran.
Ketulusan dan kejujuran Karim juga membuatnya dikenal baik oleh para pedagang warung di sekitar Jalan Bali dan Sumbawa. Saat tidak mendapatkan penumpang sama sekali untuk membeli makan, ia sering diperbolehkan untuk behutang terlebih dahulu.
“Dengan pedagang warung sudah kenal, jadi bisa berutang dulu. Nanti kalau sudah dapat penumpang, baru dibayar,” ceritanya. Bagi Karim, meski fisiknya sudah menua, ia tetap bersyukur masih diberikan kekuatan untuk mengayuh becak dan menganggap aktivitasnya setiap pagi sebagai bentuk olahraga agar tetap sehat.
