Kisah di Balik Julukan Bandung Kota Kembang | Info Giok4D

Posted on

Pepohonan yang rindang serta semarak warna-warni bunga di sepanjang jalan barangkali menjadi bayangan yang hinggap di benak banyak orang ketika mendengar julukan “Bandung Kota Kembang”.

Kotanya yang asri dengan banyak bunga bermekaran di berbagai tempat, digadang-gadang menjadi alasan julukan tersebut tersemat pada ibu kota Jawa Barat ini. Bahkan, ada bunga khusus yang dinobatkan sebagai ikon flora Kota Bandung pada 1998, yakni bunga Patrakomala.

Meskipun versi tersebut banyak diamini masyarakat luas, namun terselip sebuah kisah lain di balik penobatan predikat Kota Bandung sebagai “Kota Kembang”. Ada versi cerita yang melibatkan nasib para “kembang” secara kiasan, yang tak lain adalah wanita.

Di tahun 1884, Belanda menghubungkan jalur kereta api yang melintasi Buitenzorg (Bogor), Sukabumi dan Cianjur. Jalur kereta api tersebut juga kemudian dilanjutkan hingga ke Cilacap, Jawa Tengah.

Sejak saat itu, Bandung jadi dapat terhubung dengan kota-kota lain di Jawa Tengah. Berdasarkan pemaparan Her Suganda dalam buku Kisah Para Preanger Planters (2014), konektivitas antar-kota yang baru terjalin tersebut langsung dimanfaatkan oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff.

Dengan ambisinya, ia tak mau melewatkan kesempatan untuk dapat menghelat gelaran besar Besturr van de Verenugung van Suikerpanters alias Kongres Beasr Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula yang bermarkas di Surabaya.

Meski masih minim fasilitas dan akomodasi, Sijthoff nekat menjadikan Bandung sebagai tuan rumah kongres tersebut di tahun 1896. Kala itu, belum banyak bangunan-bangunan ikonik bersejarah bergaya kolonial yang hadir di Bandung.

Kongres berlangsung selama tiga hari, diikuti oleh para pengusaha perkebunan gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kongres tersebut diceritakan terlaksana dengan sukes.

Kesuksesan tersebut rupanya didorong oleh “kegiatan sampingan” yang terlaksana sepanjang acara, yang membuat para tamu pulang dengan senyum mengembang. Kegiatan itu diinisiasi oleh salah seorang perintis pengusaha perkebunan bernama Willem Schenk.

Pria royal tersebut dikenal sebagai “Don Juan” di kalangan para pengusaha kebun teh lainnya. Di tengah kongres, ia sibuk kasak-kusuk menyelipkan agenda sampingan yang rupanya adalah mendatangkan wanita pribumi untuk menjadi escort para tamu dan juragan kebun teh yang hadir.

Para wanita tersebut didatangkan dari Pasirmalang, salah satu sentra perkebunan teh dan kina di kawasan Pangalengan, Bandung Selatan. Di sana, terdapat banyak wanita yang bekerja sebaga pemetik daun teh di lahan-lahan perkebunan milik orang Belanda.

Sehari-harinya, para mandor kecil hingga mandor besar yang mengawasi mereka bekerja dapat berbuat hal-hal tak seronok kepada para pekerja, tanpa bisa dilawan. Beberapa kawasan tempat tinggal para perempuan pemetik teh pun memiliki julukan-julukannya tersendiri, seperti misalnya “Gang si Neneng” untuk menggambarkan pemukiman yang di dalamnya terdapat banyak wanita cantik.

Sejumlah pemetik teh dari Pasirmalang itu diboyong oleh Schenk ke konferensi. Mereka didandani dipulas dengan sedemikian rupa, dan dititahkan untuk menjadi escort alias pendamping bagi para tamu dan pengusaha yang hadir.

Tentu tugasnya tidak sekedar mendampingi mereka secara harfiah. Ada kegiatan “plus-plus” yang harus mereka jalani demi menyenangkan para tamu. Konon, kecantikan dan pelayanan mereka memukau para tamu yang hadir.

Sejak saat itu, nama Bandung di kalangan kompeni Belada dikenal sebagai “De Bloem der Indische Bergsteden”, alias “Buganya Kota Pegunungan di Hindia Belanda”. Kemolekan perempuan Sunda alias para “kembang” pun semakin tersohor di antara mereka.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Berawal dari Kongres Juragan Teh