Kasus Leptospirosis Naik Lagi di Pangandaran, Ini Faktor Penyebabnya

Posted on

Kasus Leptospirosis kembali terjadi. Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran mencatat ada 22 kasus per September 2025 ini.

Penyakit menular yang disebabkan bakteri leptospira ini umumnya menyebar melalui air atau tanah terkontaminasi urine hewan, terutama tikus. Tentu, penyakit tersebut dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan.

Dari catatan infoJabar, kasus kematian paling tinggi akibat leptospirosis pernah terjadi pada tahun 2023. Bahkan, kasus kematian akibat penyakit leptospirosis di Kabupaten Pangandaran saat itu tertinggi di Jawa Barat.

Tahun 2022 ada sebanyak 300 warga yang terkena penyakit tersebut dengan 20 orang yang meninggal dunia.

“Sepanjang tahun 2022 ada 300 warga Pangandaran yang terkena leptospirosis dengan kasus kematian sebanyak 20 orang,” kata Aang yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang P2P Dinkes Pangandaran kepada infoJabar, Sabtu (11/3/2023).

Jumlah kasus tersebut kemudian berangsur turun dan tidak ada lagi kematian akibat penyakit tersebut sepanjang tahun 2023. “Alhamdulillah setelah kejadian itu kami langsung tangani dan monitor di beberapa daerah sehingga apabila terjadi kasus ini langsung ditangani,” ucapnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit (P2P) di Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran, dr. Rina Veriany mengatakan penyakit leptos ini mayoritas menyerang kepada profesi petani dan penyadap kelapa.

“Mungkin karena aktivitas mereka dekat dengan tikus sehingga potensi terpapar di area tingkat paling tinggi,” ucap Rina saat dihubungi infoJabar, Kamis (25/9/2025).

Menurutnya, faktor utama penyebab meningkatnya kasus leptospirosis adalah karena wilayah yang kerap dilanda banjir.

Kemudian, kata dia, adanya genangan air yang terkontaminasi urine tikus serta tingginya kepadatan populasi tikus di lingkungan masyarakat.

“Banyak warga juga tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti sepatu boot dan sarung tangan saat beraktivitas di lahan basah, sehingga meningkatkan risiko terpapar bakteri leptospira,” terangnya.

Sebagai langkah pencegahan, Dinas Kesehatan telah melakukan sosialisasi tentang bahaya leptospirosis, khususnya kepada masyarakat yang berisiko tinggi. Selain itu, dilakukan upaya pemberantasan tikus serta imbauan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

“Kami menghimbau masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan, menggunakan APD saat beraktivitas di lahan basah,” ucapnya.

Selain itu, dilakukan mengendalikan populasi tikus di lingkungan sekitar agar terhindar dari penyakit leptospirosis. “Maka kami imbau agar para petani dan penyadap juga saling mengingatkan untuk menjaga kebersihan badan usai melakukan aktivitas tempat kerja. Siapapun saling mengingatkan dan kami juga sudah sosialisasi,” ucapnya.

Dikutip dari laman UPK Kemenkes, gejala leptospirosis meliputi demam tinggi mendadak, sakit kepala, badan lemah, mata merah (konjungtivitis), nyeri otot (terutama di betis), mual, muntah, diare, dan kekuningan pada kulit dan mata (jaundice). Masa inkubasi umumnya 2-30 hari dengan rata-rata 7-10 hari setelah terpapar bakteri. Jika tidak ditangani, leptospirosis dapat menyebabkan kerusakan organ serius seperti gagal ginjal, hati, dan paru-paru.

Ia mengungkapkan jika tahun ini belum ada laporan meninggal karena penyakit tersebut. “Semuanya dalam tahap penyembuhan, mudah-mudahan saja tidak bertambah,” katanya.