Jabar Sepekan: Penambahan Rombel Bikin Sekolah Swasta Menjerit

Posted on

Sekolah swasta di Jawa Barat mengeluhkan kebijakan rombongan belajar (rombel) jadi 50 orang per kelas yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Akibat kebijakan itu, banyak sekolah seperti di Purwakarta hingga Cimahi menjerit. Bahkan, ratusan siswa mencabut berkas pendaftaran ke sekolah swasta.

Berikut rangkuman berita terkait kebijakan Dedi Mulyadi yang berdampak bagi sekolah swasta:

Nasib sekolah-sekolah swasta di Purwakarta kini di ujung tanduk. Beragam kebijakan pendidikan hingga wacana penambahan rombongan belajar (rombel) jadi 50 orang per kelas membuat sekolah swasta kian menjerit.

Bangunan sekolah yang megah dengan fasilitas sekolah yang memadai tak jadi jaminan banyaknya siswa yang mendaftar. Seperti yang dialami oleh Yayasan Yasri Purwakarta, yayasan yang mewadahi SMK Farmasi dan SMK Bina Budi hingga H-7 dimulainya tahun ajaran baru siswa yang mendaftarnya sangat minim.

Di SMK Farmasi baru 13 siswa yang mendaftar dari empat jurusan dan di SMK Bina Budi baru 7 siswa yang mendaftar dari dua jurusan. Kondisi ini jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya yang satu kelasnya bisa mencapai 36 siswa.

“Di Yasri kebetulan sampai saat ini jumlah siswa sangat merosot, siswa SMK farmasi sampai saat ini dapat menerima 13 siswa untuk di bina Budi 7 siswa, jadi kami mengharapkan dari sekolah negeri bisa maju bersama, bisa membimbing kami dan kita bisa mengolah pendidikan untuk kemajuan negara yang akan datang bisa bersama-sama, walaupun negeri dapat menerima 50 orang perkelas,” ujar Agus Muharram, Ketua Dewan Pembina Yayasan Yasri Purwakarta, Selasa (8/7).

Dia mengungkapkan, dengan minimnya jumlah siswa, ia khawatir akan keberlanjutan pendidikan bagi siswa-siswinya, termasuk keberlangsungannya tenaga pendidik hingga operasional sekolah.

“Melihat swasta yang berjuang membina gurunya, siswanya, membangun gedungnya tapi apabila jumlah siswa sedikit agak menjadi bumerang bagi siswa. Dimungkinkan sekolah swasta apabila siswa seperti ini bisa merosot, bisa tidak ada siswa sehingga guru yang banyak dan tendik harus di gaji oleh kami, apabila tidak ada siswa ini kekhawatiran akan terjadi pengangguran,” ungkapnya.

Agus berharap agar pemerintah bisa mengkaji ulang kebijakan terkait dunia pendidikan baik di sekolah negeri maupun swasta dan meminta kepada sekolah-sekolah negeri bisa memberikan kehidupan bagi sekolah swasta.

Beragam upaya sudah ia lakukan seperti roadshow ke sekolah-sekolah SMP untuk mempromosikan sekolah SMA-SMK swasta dengan program dan fasilitas yang memadai.

“Mudah-mudahan ke depan kita bisa bersama-sama melakukan pembinaan generasi muda yang betul-betul bisa membawa sekolah swasta untuk bisa berkiprah dalam menunjang kecerdasan bangsa, upayakan negeri tidak banyak siswa baik di kelas maupun rombongan belajar,” pungkasnya.

Sampai info akhir pendaftaran SPMB tahun 2025/2026 di SMA Kartika Kota Cimahi hanya menerima 40-an calon murid baru. Kondisi itu bertolak belakang jika dibandingkan dengan sekolah negeri yang rata-rata justru kelebihan pendaftar.

“Ya seperti ini memang kondisi sekolah swasta. Kita (SMA Kartika) sampai hari ini, baru ada sekitar 40 pendaftar,” kata Wiwi Astuti, guru sekaligus panitia SPMB saat ditemui infoJabar, Jumat (11/7).

Faktor utama yang menyebabkan terus menurunnya peminat ke sekolah swasta yakni persaingan tak sehat dengan sekolah negeri. Seperti yang terbaru, kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menambah jumlah siswa dalam satu rombel menjadi 50 orang.

Menurutnya, jangankan 50 siswa untuk setiap rombel jumlah pendaftar yang sudah pasti diterima pun cuma cukup untuk satu rombel dalam jumlah normal.

“Memang sekolah swasta sangat dirugikan, terdampak pastinya karena itu (kebijakan 50 siswa per rombel). Harusnya ya saling mendukung antara sekolah negeri dengan swasta, kalau soal kualitas antara swasta sama negeri itu sama,” kata Wiwi.

Jumlah pendaftar SPMB tahun ini tak mencapai jumlah pendaftar tahun lalu yang seingatnya lebih dari 50 orang. Tahun ini, banyak juga orang tua yang sudah mendaftarkan anaknya mendadak cabut berkas.

“Jadi ada yang sudah daftar, cabut berkas lagi karena dengar di SMA negeri itu rombelnya sampai 50 orang, jadi mereka nunggu pengumuman itu. Akhirnya ya nasib kita jadi seperti ini,” ujar Wiwi.

Beruntung, semangat guru dan siswa menyambut Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada 14 Juli besok masih tinggi. Guru yang menjadi panitia SPMB tetap tekun menanti pendaftar sampai sore tiba. Guru lainnya beres-beres ruangan kelas dibantu murid yang tergabung sebagai anggota OSIS.

Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) SMA Jawa Barat Ade Hendriana mengatakan, ratusan calon siswa yang sebelumnya mendaftar ke sekolah swasta, kini memilih mencabut berkas dan beralih ke sekolah negeri setelah kuota tambahan dibuka oleh pemerintah.

Menurut Ade, setelah diumumkannya hasil SPMB tahap 2 pada Rabu (9/7), jumlah pendaftar di sekolah swasta semakin berkurang. Menurut Ade, berkurangnya jumlah pendaftar karena Pemprov Jabar menambah kuota penerimaan di sekolah negeri melalui program Penanggulangan Anak Putus Sekolah (PAPS).

“Setelah pengumuman terakhir, SMA swasta bukannya bertambah malah pada mencabut berkas dalam artian mereka diterima dalam program PAPS,” kata Ade saat dihubungi, Kamis (10/7).

Ia mengungkapkan program PAPS tersebut tidak tepat sasaran. Sebab menurut Ade, banyak siswa yang diterima di sekolah negeri sebetulnya mampu bersekolah di swasta.

“Kenapa tidak tepat sasaran, karena mereka kan mampu di sekolah swasta. Kemudian ada salah satu SMA favorit di Kota Bandung menerima siswa dari SMP favorit juga. Artinya SMP dengan cara bayar tinggi atau besar kenapa bisa masuk jalur PAPS itu,” ungkapnya.

“Saya sudah sampaikan di awal, ini merupakan jalur untuk titipan siswa dibalut dengan kemasan baik aja,” imbuhnya.

Ade terang-terangan menyebut ada 120 pendaftar di dua SMA swasta di Kota Bandung yakni SMA Pasundan 1 dan SMA PGII 1 yang mencabut berkas setelah diterima di sekolah negeri melalui jalur PAPS.

“Bandung sekolah elit ge ancur, rontok. Ada 120 calon murid cabut berkas diterima jalur PAPS, ada yang hampir 2 kelas cabut berkas. Itu di Pasundan 1 dan PGII 1,” terang Ade.

Kondisi itu membuat keterisian siswa baru di 1.334 sekolah swasta di Jabar yang semula rata-rata 30 persen, kini semakin berkurang. “Sekarang menurun karena banyak cabut berkas, saya belum koordinasi lagi (pastinya berapa), diprediksi menurun,” tuturnya.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi buka suara terkait kekecewaan sejumlah sekolah swasta atas program Penambahan Akses Pendidikan Sekolah (PAPS) yang disebut-sebut membuat sekolah swasta kesulitan mendapatkan siswa baru pada tahun ajaran 2025/2026.

Polemik muncul setelah pemerintah menambah rombongan belajar (rombel) di berbagai sekolah negeri melalui program PAPS. Kebijakan ini menuai reaksi dari sekolah swasta yang kehilangan calon peserta didik karena banyak siswa mencabut berkas dan beralih ke sekolah negeri.

Dedi menegaskan keputusan yang diambilnya merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai kepala daerah. “Yang pertama adalah tugas gubernur itu melindungi rakyatnya agar rakyatnya bisa bersekolah dan saya sudah menunaikan tugas itu dengan berbagai risiko,” ujar Dedi saat diwawancarai, Jumat (11/7).

Dedi mengungkapkan, pemerintah tetap membuka ruang diskusi dengan sekolah swasta agar pendidikan tetap berjalan beriringan. Ia tidak menutup mata atas tantangan yang kini dihadapi sekolah swasta.

“Kalau ada sekolah-sekolah swasta yang kemudian muridnya mengalami penurunan, kan bisa kita cari jalan lain agar tetap bisa berjalan pendidikan,” ungkapnya.

Dedi juga mengungkap alasan di balik keberaniannya menambah rombel secara besar-besaran tahun ini. Menurutnya, tanpa intervensi tersebut, gejolak sosial akan lebih besar karena tingginya tekanan dari masyarakat.

“Anda kebayang kalau saya tidak ngambil keputusan itu. Apa yang terjadi hari ini, protes terjadi di mana-mana. Di setiap sekolah orang tua siswa berteriak, tidak bisa masuk sekolah. Nanti ada orang yang memboikot mobil masuk ke sekolah, ragam akan terjadi,” tegasnya.

Ia menyebut, inilah kali pertama dalam sejarah penerimaan siswa baru di Jawa Barat berlangsung tanpa kekacauan berarti. “Hari ini Anda bisa lihat bahwa sepanjang sejarah dulu PPDB sekarang SPMB ya, SPMB baru kali ini penerima siswa baru tidak ada keributan. Tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada protes-protes,” katanya.

Dedi bahkan mengingat kembali pengalaman masa lalu ketika sengketa zonasi membuat warga harus mengukur jarak dari rumah ke sekolah dengan meteran. Karenanya, Dedi menegaskan negara harus hadir untuk memastikan setiap warga Jawa Barat mendapatkan akses pendidikan hingga jenjang SMA.

“Dulu sampai ada di Bogor saya ingat betul masih anggota DPR RI, ngukur jalan dari rumah ke sekolah di meter loh, bayangin. Hari ini tidak terjadi karena hari ini negara sudah hadir untuk melindungi warganya agar bisa bersekolah sampai SMA,” pungkasnya.

Sekolah Swasta di Purwakarta

SMA Swasta di Cimahi

Ratusan Siswa di Jabar Cabut Berkas Pendaftaran

Tanggaan KDM soal Penambahan Rombel