Demam perburuan fosil gigi Hiu Megalodon sempat melanda kawasan Pajampangan, Kabupaten Sukabumi di tahun 2021 terutama di wilayah Kecamatan Surade.
Kala itu, fosil-fosil gigi hiu itu dihargai cukup tinggi oleh para kolektor. Hal ini pula yang kemudian menghilangkan keberadaan Gua Kolotok, saksi bisu kisah kelam santet di Pajampangan.
Gua ini berada di Desa Jagamukti, Kecamatan Surade disebut Kolotok karena mulut gua dahulunya disebut mirip kalung kerbau, dengan lebar pintu sekitar 1,5 meter dan panjang sekitar 4 meter, semakin dalam semakin lebar dan luas.
Kedalamannya yang mencapai 30 meter hingga 40 meter menjadikan gua ini tempat yang hampir mustahil untuk keluar bagi siapa pun yang dibuang ke sana.
Penambangan fosil gigi hiu megalodon, yang dikenal dengan nama lokal huntu gelap, telah menyebabkan kerusakan parah pada Gua Kolotok. Warga setempat memanfaatkan fosil gigi hiu sebagai barang berharga, tetapi tanpa disadari, aktivitas ini juga menghancurkan salah satu tempat bersejarah yang terkait dengan masa lalu gelap masyarakat Pajampangan.
Menurut Apay Suyatman Kades Jagamukti, penambangan fosil gigi hiu ini pertama kali dimulai di Desa Gunung Sungging, yang berbatasan dengan Jagamukti. Desa Gunung Sungging dulu merupakan satu desa yang kemudian dibagi menjadi dua, dan kini penambangan liar terus berlangsung meskipun sudah sering diadakan razia oleh aparat kepolisian.
“Penambangan fosil gigi hiu megalodon ini memang sudah berlangsung lama. Warga yang terlibat merasa bingung karena mereka sudah sangat bergantung pada hasil temuan ini. Beberapa waktu lalu, aparat bahkan melakukan razia dan menangkap para pelaku, namun penambangan tetap berjalan,” tambah Suyatman.
Keberadaan Gua Kolotok yang kini rusak dan tidak terawat adalah simbol dari bagaimana kepercayaan terhadap santet dan teluh masih memengaruhi masyarakat Pajampangan. Meskipun banyak yang mulai meragukan kebenaran tentang santet, cerita dan kepercayaan terhadap ilmu hitam ini tetap hidup di kalangan warga.
Suyatman menyadari bahwa kepercayaan terhadap santet di Pajampangan tak mudah hilang begitu saja, tetapi ia tetap berusaha memperkenalkan pemahaman yang lebih rasional dan bijaksana kepada masyarakat.
“Kami ingin cerita tentang Gua Kolotok yang penuh mistis ini bisa berubah menjadi tempat wisata budaya yang mengedepankan sejarah dan kearifan lokal. Namun, itu semua harus dimulai dengan mengubah stigma buruk tentang teluh yang sudah sangat melekat di masyarakat,” ujar Suyatman, menutup percakapan panjang tentang bagaimana Gua Kolotok dan santet masih menjadi bagian dari masa lalu yang sulit untuk dilupakan.
Jejak perburuan Huntu Gelap di kawasan itu terlihat dari adanya lubang-lubang galian di sekitar lokasi Gua Kolotok. Lubang itu menggunakan Pasangan, sejenis penahan kayu yang dipasang mengikuti alur gua agar tidak terkena longsor.
Bagi banyak tokoh dan warga Pajampangan, upaya untuk melawan stigma negatif tentang teluh dan santet menjadi perjuangan panjang yang penuh tantangan. Seiring dengan zaman yang terus berubah, kepercayaan terhadap ilmu hitam ini mulai dipertanyakan. Namun, stigma tersebut masih menghantui wilayah ini, menjadikan Pajampangan sering diidentikkan dengan santet.
Seperti yang dijelaskan oleh Kyai Asep Mustofa, Ketua MUI Kecamatan Surade kepada infoJabar, pandangan terhadap teluh dan santet seringkali berakar dari kesalahpahaman dan niat buruk antar individu.
“Teluh ini identik dengan sebutan santet. Secara umum, teluh itu dikenal dengan santet, tapi yang ramai dibicarakan di luar itu adalah teluh dan sebagainya. Ketika ditelusuri lebih dalam, siapa ahli teluh, siapa yang dianggap tukang teluh, itu sangat sulit untuk dibuktikan,” katanya.
Kyai yang dikenal dengan sebutan Asmu Bentang ini menekankan bahwa, menurut ajaran Islam, praktik santet jelas haram, namun yang lebih penting adalah niat di baliknya.
“Ada praktik mencelakakan orang lain, menabur sesuatu dengan tujuan tidak baik itu ada. Tapi untuk kita mengidentifikasi siapa yang melakukannya, itu sangat berat. Kita harus hati-hati agar tidak terjebak fitnah,” ujar Kyai Asep.