Setiap akhir bulan Desember, suasana di berbagai belahan dunia dipenuhi semarak menyambut pergantian tahun. Dentuman kembang api, bunyi terompet, hingga tradisi membuat resolusi pribadi menjadi pemandangan yang lazim dijumpai. Tahun Baru Masehi telah lama menjadi penanda waktu global yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari administrasi negara, pendidikan, hingga aktivitas bisnis internasional.
Namun, di balik kemeriahan tersebut, muncul pertanyaan yang kerap mengemuka di tengah umat Islam: bagaimana sebenarnya hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam pandangan Islam? Apakah ikut merayakannya berarti meniru tradisi agama lain dan berpotensi mengganggu akidah, ataukah sekadar tradisi budaya yang boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat?
Perbedaan pandangan ulama terkait hal ini sudah berlangsung lama. Sebagian ulama memandang perayaan Tahun Baru Masehi sebagai sesuatu yang terlarang, sementara sebagian lainnya membolehkannya dengan sejumlah batasan. Berikut penjelasan lengkap mengenai sejarah Tahun Baru Masehi dan perbedaan pandangan ulama tentang hukum merayakannya.
Mengutip laman NU Online, penetapan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun memiliki akar sejarah panjang. Awalnya, sistem kalender ini diperkenalkan oleh Kaisar Romawi Julius Caesar pada abad ke-1 sebelum Masehi, yang kemudian dikenal sebagai Kalender Julian.
Pada tahun 1582, kalender ini mengalami penyempurnaan oleh Paus Gregorius XIII guna menyesuaikan perhitungan waktu dengan peredaran matahari. Sejak saat itu, sistem penanggalan tersebut dikenal sebagai Kalender Gregorian dan secara bertahap diadopsi oleh negara-negara Eropa Barat hingga akhirnya menjadi standar kalender internasional yang digunakan hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Karena sejarahnya yang erat dengan tradisi Romawi dan Nasrani, perayaan Tahun Baru Masehi kemudian menjadi bahan diskusi di kalangan ulama Islam, terutama terkait batasan antara tradisi budaya dan ritual keagamaan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa merayakan Tahun Baru Masehi hukumnya haram. Pendapat ini didasarkan pada larangan tasyabbuh, yaitu menyerupai atau meniru tradisi khas non-Muslim, serta kekhawatiran terjerumus pada perbuatan bid’ah.
Larangan menyerupai tradisi agama lain berlandaskan pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 120 yang artinya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka…”
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Daud:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Dalil-dalil ini menjadi pijakan utama kelompok ulama yang melarang perayaan Tahun Baru Masehi, terutama jika perayaan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang menjadi ciri khas agama lain.
Mengutip penjelasan yang dinukil oleh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa perayaan hari raya non-Muslim tidak boleh diikuti umat Islam. Ada dua alasan utama yang beliau kemukakan.
Pertama, perayaan tersebut tidak dikenal dalam tradisi Islam dan tidak pernah dipraktikkan oleh generasi Salafus Shalih. Kedua, perayaan itu termasuk perbuatan bid’ah karena diada-adakan tanpa dasar syariat.
Ibnu Taimiyah secara tegas melarang umat Islam melakukan hal-hal yang menjadi syiar khusus hari raya non-Muslim, seperti menyediakan makanan khusus, menyalakan api atau lilin (yang di masa kini dapat disamakan dengan kembang api), serta meliburkan aktivitas ibadah atau pekerjaan secara khusus untuk perayaan tersebut.
Dalam buku The Tausiyah karya David Alfitri, disebutkan pula bahwa niat baik atau mengisi malam Tahun Baru dengan kegiatan positif tidak serta-merta mengubah hukumnya menjadi halal jika dasarnya adalah meniru tradisi non-Muslim.
Di sisi lain, sejumlah ulama kontemporer memandang bahwa perayaan Tahun Baru Masehi boleh dilakukan, selama tidak mengandung unsur kemaksiatan dan tidak diyakini sebagai bagian dari ajaran agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa merayakan atau mengucapkan selamat Tahun Baru Masehi tidaklah haram secara mutlak. Namun, perayaan tersebut harus dilakukan secara wajar, tidak berlebihan, dan tetap menjaga ketertiban umum.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Syekh Athiyyah Shaqr, mantan Mufti Agung Mesir. Dalam fatwanya, beliau menjelaskan bahwa aktivitas bersenang-senang seperti makan dan minum diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Ia menyatakan:
“Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.”
(Fatawa Al-Azhar, juz X)
Ulama besar dari Haramain ini menegaskan dalam kitab Mafahim Yajibu an Tushahihah bahwa peringatan momen tertentu, termasuk pergantian tahun, masuk dalam kategori adat atau kebiasaan, bukan ritual ibadah.
Karena termasuk urusan adat, perayaan tersebut tidak dikategorikan sebagai sunnah, tetapi juga tidak otomatis bertentangan dengan agama. Yang perlu dihindari adalah keyakinan bahwa perayaan Tahun Baru Masehi merupakan ajaran atau ibadah yang disyariatkan oleh Islam.
Perbedaan pandangan ulama tentang hukum merayakan Tahun Baru Masehi sejatinya bermuara pada satu pertanyaan utama: apakah perayaan tersebut dianggap sebagai ritual keagamaan atau sekadar tradisi budaya?
Bagi umat Islam yang memilih mengikuti pendapat yang membolehkan, ada sejumlah batasan penting yang perlu diperhatikan. Perayaan tidak boleh diisi dengan perbuatan maksiat seperti mabuk-mabukan, pergaulan bebas, perjudian, atau tindakan anarkis. Selain itu, perayaan juga tidak boleh mengganggu ketertiban umum, misalnya dengan konvoi liar atau pesta kembang api berlebihan.
Sebaliknya, momen pergantian tahun dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih positif, seperti muhasabah diri, memperbanyak doa, atau berkumpul bersama keluarga.
Sementara itu, bagi umat Islam yang memilih untuk tidak merayakan Tahun Baru Masehi demi sikap kehati-hatian (ihtiyat), pilihan tersebut juga patut dihormati. Yang terpenting adalah tetap menjaga toleransi, persaudaraan, dan tidak saling menyalahkan dalam menyikapi perbedaan pendapat yang ada.
