infoers, debt collector merupakan sebuah profesi yang akrab dengan masyarakat luas di Indonesia. Para debitur atau peminjam uang kepada sebuah lembaga keuangan namun macet dalam pembayarannya boleh dipastikan akan berjumpa dengan debt collector.
Dalam kemacetan pembayaran yang diistilahkan dengan kredit macet ini para kreditur yakni pemberi pinjaman akan melakukan penagihan. Meski lembaga punya divisi ‘collection’ yang bertugas melakukan penagihan, tak dimungkiri ada juga yang pada akhirnya menggunakan jasa debt collector.
Para DC, debt collector, atau lazim juga disapa mata elang (Matel) yang dari penampilannya saja sudah membuat seram, akan bisa menemukan alamat debitur dan melakukan penagihan. Mereka bekerja dengan target waktu, karenanya, tak jarang prosedur penagihan dilanggar agar para debitur segera membayar utangnya.
Apa sebenarnya profesi informal debt collector dan sejak kapan pekerjaan ini muncul? Simak artikel ini sampai tuntas yuk!
Istilah ‘debt collector’ berasal dari bahasa Inggris. Dikutip dari studi yang diunggah repository.unair.ac.id, kata debt collector jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah debt yang berarti utang dan collector yang berarti pemungut. Lebih jelasnya, debt collector adalah ‘individu atau sekumpulan orang yang memberikan jasa penagihan utang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka’.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang cukup tua. Menurut studi tersebut, profesi penagih utang dapat direntang mundur ke 5.000 tahun lalu. Yakni, ketika pemerintah di sejumlah wilayah mulai memungut pajak dan adanya praktik utang antar individu.
Dahulu, pemerintah memerlukan pajak untuk menjaga keamanan demi terciptanya kestabilan ekonomi di setiap city state (negara yang merupakan satu kota). Sementara fungsi city state sendiri adalah sebagai kota pedagang, kota produksi, dan lebih ramai lagi fungsinya sebagai kota pasar.
Memang pajak penting, tapi bagaimana cara penagihannya? Di satu sisi, pemerintah punya keterbatasan pegawai. Maka yang dilakukan adalah pemerintah menugaskan orang atau pihak ketiga untuk menarik pajak.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Studi itu mengutip pendapat D. Graber yang menyebutkan pelibatan pihak ketiga juga dilakukan pada transaksi antara dua pihak. Jika salah satu ingkar (wanprestasi), maka pihak ketiga yang bertugas mengingatkannya.
Pada permulaannya, pajak dibayar dengan barang berharga dan transaksi antar individu dilakukan dengan sistem barter (bertukar barang senilai). Kemudian secara bertahap sistem ekonomi berkembang dan menjadikan uang sebagai nilai tukar yang sah atas barang yang diperlukan.
Yang berubah hanya cara bertransaksi, sementara kebutuhan manusia akan jual-beli dan melakukan pinjaman tetap ada. Karena aktivitas transaksi ada, maka profesi debt collector juga bertahan mengiringi peradaban ini. Terlebih, di zaman ini, kejadian-kejadian kredit macet selalu ada meski pihak kreditur telah melakukan berbagai upaya pemberian tenggat waktu, masih ada saja kasus debitur tidak membayar utangnya.
Dalam kondisi yang ‘memusingkan’ ini para kreditur tiada pilihan selain menggunakan jasa debt collector untuk melakukan penagihan. Orang atau lembaga DC ini punya teknik khusus dalam melakukan penagihan yang tak jarang debitur jadi membayar utang yang sebelumnya macet itu.
Sebagai keuntungan bagi DC, ada persentase tertentu yang diberikan perusahaan pengguna jasa mereka. Persentase tersebut sesuai kesepakatan perusahaan dan pihak debt collector.
Orang-orang dari wilayah Indonesia Timur, yang mengacu pada warga Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua sering diidentikkan dengan profesi debt collector. Perawakan dan warna kulit yang berbeda dengan warga di Pulau Jawa menjadi satu di antara alasan stigma ini.
Padahal nyatanya, DC tidak selalu identik dengan Orang Timur. Ada juga orang Sunda yang dikenal ramah berprofesi menjadi DC. Melekatkan profesi DC kepada orang-orang dari Indonesia Timur adalah stigma.
Fakta ini dibedah oleh Achmad Dion Perdana dalam skripsi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta berjudul ‘Stigmatisasi Terhadap Orang Timur pada Film Dokumenter Dinasti Penagih Utang dari Timur: The Debtfather Karya Vice Indonesia’ (2022).
Dion membongkar narasi bahwa DC identik dengan Orang Timur. Menurutnya, itu adalah sebuah stigma. Menurut KBBI stigma adalah ‘ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya’. Dion menggunakan teori Erving Goffman, bahwa stigma adalah atribut-atribut yang dapat memperburuk citra seseorang.
Erving Goffman, sebagaimana dikutip Dion membuat tiga klasifikasi stigma. Yaitu, stigma bisa didasarkan pada tiga hal ini:
1. Abomination of Body
Abomination of body (ketimpangan fisik), yakni stigma yang berkaitan dengan fisik misalnya kecacatan fisik seperti pincang, tuli, dan sebagainya. Dalam hal stigma terhadap orang Timur yang bekerja sebagai DC di pulau Jawa, warna kulit yang gelap menjadi stigma terhadap mereka.
2. Blemishes of Individual Character
Blemishes of individual character adalah stigma yang berkaitan dengan karakter buruk seseorang, misalnya pemabuk, pemerkosa, pecandu narkoba, dan lain sebagainya. Menurut Dion, dalam hal framing terhadap orang Timur penagih utang, dilekatkan pada mereka kegiatan-kegiatan yang dekat dengan kriminalitas misalnya mabuk.
3. Tribal Stigma
Tribal Stigma yakni stigma berkaitan dengan suku, agama, dan bangsa. Inilah yang paling berbahaya. Yakni, stigma ras yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Orang di pulau Jawa mungkin akan selalu terngiang bahwa orang Timur itu adalah penagih utang yang dari sisi perawakan membuat seram dan dekat dengan kriminalitas.
Mereka yang memberi stigma kepada seseorang atau kelompok oleh Erving Goffman diberi nama sebagai The Normals atau orang-orang normal. Orang-orang normal ini tidak terkena stigma, dan menganggap mereka yang terkena stigma adalah ‘tidak normal’.
Memang seperti drama, para debt collector sesungguhnya ‘memerankan’ tugas kreditur dalam melakukan penagihan kepada debitur yang macet bayar. Sehingga mereka harus bisa berperan sebagai ‘aktor’ penagihan yang handal.
Studi yang diunggah repository.unair.ac.id menjelaskan sejatinya pada debt collector itu ada kehidupan yang ganda: Ketika berperan sebagai penagih utang (frontstage) dan ketika mereka dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana umumnya orang biasa (backstage).
Ketika di depan debitur yang membandel, peran penagih utang akan menentukan berhasil atau tidaknya proses penagihan. Misalnya, peran ini didukung dengan penampilan dan pola komunikasi yang mengandung teknik-teknik jitu penagihan.
Berlainan halnya ketika tugas penagihan selesai, pembawaan sebagai ‘aktor’ itu akan ditanggalkan dan para debt collector kembali kepada kesejatian dirinya, menjalani kehidupan yang biasa.