Empat helai rambut itu masih menjadi tanda tanya. Sejak diserahkan warga Desa Sukadamai, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, pada Juli 2022 lalu, sampel yang diduga berasal dari harimau tersebut seolah menghilang di lorong birokrasi. Hampir tiga tahun berlalu, hasil uji laboratorium yang dinanti tak pernah benar-benar tiba.
Di desa yang berbatasan dengan area perkebunan itu, ingatan soal dugaan kemunculan harimau belum pudar. Warga masih membicarakannya, sementara kepastian ilmiah yang dijanjikan belum juga terdengar. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat menjadi tumpuan harapan, namun hingga kini tak ada keterangan resmi yang disampaikan ke publik.
Kebuntuan inilah yang kemudian memantik kritik dari Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Nasional. Organisasi tersebut mempertanyakan komitmen dan transparansi BBKSDA Jabar dalam menindaklanjuti temuan warga.
Ketua FK3I Nasional Dedi Kurniawan tak menutupi rasa kecewanya. Apalagi, penyerahan sampel dilakukan pada Kamis (28/7/2022), sehari menjelang peringatan Hari Harimau Sedunia, sebuah momen simbolik bagi upaya perlindungan satwa liar.
Menurut Dedi, masyarakat saat itu menyerahkan empat helai rambut dengan harapan dapat dipastikan apakah benar berasal dari satwa dilindungi.
“Waktu itu pihak BBKSDA menyampaikan akan meneliti kebenarannya. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar apa pun. Ini sudah hampir tiga tahun,” kata Dedi, Jumat (26/12/2025).
Bagi FK3I, ketiadaan informasi bukan sekadar soal teknis penelitian. Dedi menilai lambannya penyampaian hasil mencerminkan lemahnya pelayanan publik, terutama terhadap warga yang justru menunjukkan kepedulian terhadap konservasi.
Ketidakpastian itu, lanjutnya, berpotensi menimbulkan keresahan. Tanpa kepastian ilmiah, keberadaan harimau di wilayah tersebut terus berada di wilayah spekulasi.
Ia menegaskan bahwa pengecekan laboratorium dan penyampaian hasil kepada publik merupakan bagian dari tugas dan fungsi BBKSDA.
“Harusnya diapresiasi, bukan dibiarkan menggantung. Hasilnya perlu dibuka ke publik supaya tidak ada spekulasi,” tegasnya.
Karena tak kunjung menemukan titik terang, FK3I pun meminta Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) turun tangan. Sebagai atasan langsung Unit Pelaksana Teknis seperti BBKSDA, KSDAE dinilai memiliki kewenangan untuk memastikan persoalan ini tidak berlarut.
“Jangan sampai semangat warga menjaga satwa liar justru padam karena birokrasi yang lamban,” ujar Dedi.
Di tengah kegelisahan yang mengendap itu, harapan sempat muncul dari pemerintah pusat. Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki menyatakan akan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan keberadaan harimau di Sukabumi.
“Tentunya setiap laporan dari masyarakat atau pihak lain akan kami tindak lanjuti,” kata Rohmat usai pelepasan Elang Jawa bernama Raja Dirgantara di kawasan Situgunung, Sukabumi, pertengahan Desember lalu.
Janji tersebut menjadi angin segar, meski belum sepenuhnya menjawab tanda tanya yang tersisa sejak 2022.
Empat helai rambut yang kini menjadi pusat perhatian itu pertama kali diserahkan warga Desa Sukadamai kepada petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk diteliti lebih lanjut. Penyerahan dilakukan di Kantor Desa Sukadamai dan diwakili Kepala Desa Rudi Hartono.
Rambut tersebut ditemukan di saung milik Baed, seorang petani yang mengaku melihat sosok diduga harimau di sekitar area kebun.
“Rambut kami serahkan agar bisa dipastikan berasal dari hewan apa,” ujar Rudi saat itu.
Setiap helai rambut dikemas dalam plastik klip. Warnanya beragam, mulai dari oranye hingga gradasi cokelat tua, putih, dan hitam. Berdasarkan laporan warga, dugaan kemunculan harimau terjadi pada 18 Juli 2022.
Cerita itu bermula dari Sugandi (55), warga Kampung Salagombong, Desa Sukadamai. Dialah orang pertama yang mengaku melihat langsung hewan yang diduga harimau di Bukit Pasir Kantong, area garapan perkebunan warga.
Dengan lugas, pria yang akrab disapa Gani itu menyebut sosok yang dilihatnya sebagai Harimau Siliwangi. Jaraknya amat dekat, hanya sekitar lima meter. Bahkan, menurut pengakuannya, ia sempat saling bertatapan selama dua menit.
“Saya yang pertama melihat harimau itu, kejadiannya sekitar 3 bulan yang lalu. Saat itu saya sedang ke kebun melihat timun, sekitar jam 17.00 WIB. Saya sangat dekat jaraknya sekitar 5 meteran hewan itu tepat di hadapan saya, harimau kayak (Harimau) siliwangi,” kata Gani kepada infoJabar, Rabu (20/7/2022) lalu.
Lokasi pertemuan itu tak jauh dari saung tempat para petani biasa beristirahat. Awalnya, Gani hanya melihat kaki hewan tersebut dari bawah gubuk. Saat mengangkat kepala, sosok itu terlihat lebih jelas.
“Masuknya dari tempat saya duduk, pas kakinya ketahuan masuk ke tengah ada saya. Terdapat tanaman dekat saung saya, dari sana nggak kelihatan. Dari saat itu sampai sekarang agak takut kalau ke kebun sendiri. Warnanya agak kurang jelas ya, kekuning-kuningan ada belang tapi bukan hitam jadi agak keputihan. Bentuknya kayak kucing tapi tinggi itu, ekornya sampai ke tanah melengkung,” ucap Gani.
Hingga kini, cerita Gani dan empat helai rambut itu masih menggantung. Di antara ingatan warga dan janji birokrasi, satu pertanyaan tetap bertahan: apakah benar harimau masih menapakkan jejaknya di Sukabumi?
