Suara riuh tepuk tangan menggema di panggung milangkala Paguyuban Padjajaran Anyar ke-7.
Di tengah sorot lampu dan aroma laut Palabuhanratu yang menyusup ke sela-sela tenda acara, sosok berambut gimbal lengkap dengan kupluk warna-warni khas reggae naik ke panggung. Gaya itu tak asing bagi para penggemar reggae.
Namanya Varid Dwi Wahyu Peristiawan, putra dari mendiang Mbah Surip. Setelah hijrah dari kampung halamannya di Jawa Timur, kini dia tinggal di Bekasi bersama keluarga kecilnya. Dia datang ke Sukabumi sebagai tamu undangan.
“Pokoknya Sukabumiku, I love you!” seru Varid sembari menyapa penonton.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Ia tak sekadar tampil sebagai guest star. Di panggung itu, ia membawa potongan warisan budaya pop Indonesia yang khas, musik reggae ala Mbah Surip, lengkap dengan humor, kritik sosial, dan cerita rakyat yang dikemas dengan jenaka.
Varid tumbuh bersama irama dan tawa sang ayah. Sejak muda, ia telah akrab dengan panggung, tampil di acara Karang Taruna hingga peringatan 17-an. Kini, ia mewarisi sekitar 200 lagu dari almarhum Mbah Surip.
Beberapa sudah dikenal luas, seperti Tak Gendong, Bangun Tidur, hingga Gadis Sawo Matang. Tapi banyak juga yang baru kini muncul ke permukaan dinyanyikan Varid dengan aransemen versi dirinya sendiri.
“Warisan dari beliau masih banyak, seperti Reggae Nusantara, Aku Bisa Ngaji, dan Gadis Pantai Selatan. Lagu Mak Erot juga ada, itu kan dulu heboh banget karena Mak Erot dari Cisolok, Sukabumi,” ungkap Varid kala ditemui infoJabar.
Tak semua lagu adalah milik sang ayah. Beberapa ditulis sendiri oleh Varid, termasuk lagu berbahasa Inggris berjudul Jus Melon. Ia menyebut, beberapa lagu berbahasa Sunda juga tengah dipersiapkan untuk direkam.
“Sebagian memang warisan dari Bapak, tapi saya juga coba buat lagu sendiri. Alhamdulillah sekarang sudah ada album Varid Warna-Warni,” katanya.
Di balik gimbal yang jadi identitas genre reggae, Varid mengaku, tetap disambut hangat oleh publik. “Kadang ada yang kayak ngidam pengen megang rambut saya,” katanya terkekeh.
Kini ia menetap di Bekasi bersama istri dan dua anaknya. Tapi panggung-panggung kecil seperti di Palabuhanratu selalu punya tempat tersendiri di hatinya.
Acara milangkala ini sendiri digelar oleh Paguyuban Padjajaran Anyar, sebuah komunitas budaya yang digawangi oleh Abah Firman Hidayat.
Tahun ini perayaan lebih meriah dari biasanya ada bazar UMKM lokal, wahana permainan, dan tentu saja panggung budaya yang jadi magnet pengunjung.
Varid menjadi pengingat bahwa warisan budaya bisa tetap hidup, bahkan makin berwarna, ketika diteruskan oleh generasi setelahnya.
Dan malam itu, di antara tiupan angin laut selatan dan irama reggae, lagu-lagu Mbah Surip kembali menemukan rumahnya.