Nama Raya sebenarnya sudah lama tercatat dalam pengawasan gizi oleh petugas desa di Kampung Padangenyang, Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Bocah perempuan berusia empat tahun itu dikenal sebagai salah satu anak dengan status BGM (bawah garis merah), istilah medis untuk kondisi gizi buruk. Karena itu, Raya menjadi perhatian utama dalam pelayanan posyandu setempat.
“Ya kebetulan Raya itu sering ke posyandu, sehingga berat badannya kita kontrol. Memang sejak kecil Raya termasuk BGM itu di bawah garis merah, benar-benar terpantau kalau untuk berat badannya,” ujar Cisri Maryati selaku Bidan Desa Kabandungan saat ditemui infoJabar beberapa waktu lalu ketika kasus Raya baru pertama viral.
Berbagai intervensi telah dilakukan untuk mendukung tumbuh kembang Raya. Pemerintah desa memberikan bantuan gizi tambahan secara rutin, baik dari program reguler maupun dana desa.
“Jadi sehingga bantuan dari desa pun tetap kita prioritaskan untuk Raya, ada seperti susu, telor, ayam, buahan, itu dapat Raya. Terus kemarin itu ada program PMT lokal, untuk Raya itu dapat 60 hari, jadi terpantau setiap harinya, berat badannya juga kita pantau. Udah ada kenaikan berat badannya waktu kemarin dapat PMT lokal,” tutur Cisri.
Raya juga tercatat sebagai penerima obat cacing rutin setiap enam bulan sekali dalam program kesehatan anak. “Sebetulnya obat cacing kalau untuk Raya dan semua anak-anak itu dapat setiap 6 bulan sekali, setiap bulan Februari dan Agustus. Jadi untuk Raya juga terakhir dapat itu bulan Februari itu obat cacing,” jelasnya.
Namun, kendala muncul ketika upaya merujuk Raya ke Puskesmas untuk konsultasi ahli gizi tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua. “Sudah berkali-kali untuk konsultasi minimal dengan ahli gizinya. Cuman memang kalau jawaban dari ibunya, nggak bisa. Mang Rizalnya nggak bolehin, katanya begitu,” kata Cisri.
Kasus Raya menjadi perhatian luas setelah video kondisinya saat dirawat di rumah sakit beredar di media sosial. Dalam video itu, terlihat tubuh Raya mengeluarkan cacing dalam jumlah besar. Pihak desa pun segera dikabari oleh relawan.
“Ada, tahu. Karena dari pihak relawannya juga menghubungi kami, jadi kita diberitahukan kondisi Raya seperti ini, dirawat di RS Bunut, kondisinya seperti ini, cacingnya banyak. Waktu itu udah dapat 1 Kg kalau tidak salah,” imbuh Cisri.
Upaya lain juga sebenarnya sudah dilakukan Kepala Desa Cianaga, Wardi Sutandi, ia menjelaskan bahwa pihaknya telah sejak lama memperhatikan kondisi keluarga Raya. Pemerintah desa, kata dia, bahkan mengalokasikan bantuan secara khusus untuk mendukung gizi anak tersebut.
“Kita sudah beberapa kali memberikan bantuan. Bahkan ketika ada program PMT lokal kita prioritaskan, karena memang dia masuk anak BGM. Kita juga rutin pantau di posyandu. Cuman memang kendalanya ada di keluarga, ketika mau dirujuk ke puskesmas sering tidak diizinkan,” ungkap Wardi.
Ia mengatakan, keluarga Raya masuk dalam kategori masyarakat tidak mampu dan sempat memiliki kendala administratif, yang turut mempersulit layanan lanjutan.
“Karena keluarga ini masuk tidak mampu, kita upayakan juga bantu lewat bantuan desa dan program dari Dinsos. Tapi mereka ini memang agak tertutup, dan kadang sulit diajak komunikasi. Jadi memang tidak selalu mudah,” ujarnya.
Camat dan kepala desa pun ikut memantau kondisi Raya, meski terdapat keterbatasan dalam menjangkau keluarga. Pelaksana tugas (Plt) Camat Kabandungan Budi Andriana
mengakui koordinasi sempat terkendala, terutama karena pola asuh keluarga yang membuat petugas kesulitan melakukan pendekatan lanjutan.
“Sebetulnya itu terkait pola asuh, memang terkait pola asuh bukan kewenangan kami, karena terkait dengan keluarga. Ya mungkin tadi ketika ada kasus seperti itu, kami pun awalnya tidak tahu. Alhamdulillah dengan koordinasi sebetulnya sudah berjalan,” kata Budi.
Ia menyebutkan, sejak usia dua bulan, Raya sebenarnya telah masuk catatan petugas desa.
“Terkait informasi yang diperoleh, ketika usia dua bulan ada laporan. Ya kebetulan keluarganya ada kurang, mohon maaf, jadi ketika dua bulan suka dibawa ke gunung mencari kayu bakar atau apa,” ujarnya.
Ketika kecamatan hendak membantu pembaruan administrasi kependudukan keluarga, orang tua Raya sempat tidak bisa ditemui selama dua hari.
“Tanggal 15 Juli malam saya terima kabar, terus tanggal 16 Juli kita perintahkan untuk membawa keluarga dari pada Udin (Ayah Raya) beserta semuanya untuk melakukan pengecekan administrasi kependudukan. Itu menghilang dua hari, sehingga hari Senin baru bisa dilakukan,” ujarnya.
Budi menegaskan, dari pemerintah desa dan kecamatan, berbagai upaya sudah dilakukan. “Yang kedua, sebetulnya sudah ada berbagai upaya. Hanya saja tadi itu kita sampaikan, mohon maaf, ada kekurangan daripada keluarga. Yang saya khawatirkan, ketika diberi obat dari Puskesmas terkait dengan cacing atau apa, itu tidak diberikan. Tapi alhamdulillah dari kejadian itu menjadi pantauan kami secara berjenjang,” katanya.
Pemerintah kecamatan juga sempat meminta laporan kepada relawan yang membawa Raya ke rumah sakit, namun tak mendapat respons yang diharapkan.
“Pertama kenapa akhirnya kita tahunya, dan waktu itu juga saya minta kepada orang yang mengantarnya dari yayasan itu coba saya minta untuk laporan dan untuk koordinasi ke berbagai stakeholder. Tetapi tidak diberikan. Intinya seperti itu dengan alasan ini cukup dari kami, dan tidak akan disebarkan,” ujarnya.
Padahal, foto dan video kondisi Raya kemudian tersebar luas dan menjadi viral.
“Yang jelas kami pun dari pemerintah, baik desa, kecamatan, ataupun yang lainnya yang ada di Kabupaten Sukabumi tidak pernah menerima informasi dan tidak tahu ada foto seperti itu, dan memang informasi tidak diberikan,” tambahnya.
Kisah Raya memperlihatkan bahwa upaya pemerintah desa dan kecamatan dalam memantau kondisi anak dengan gizi buruk telah dilakukan sejak dini. Namun, tantangan pengasuhan dalam keluarga tetap menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan program kesehatan di lapangan.
Meski demikian, perhatian dari desa dan kecamatan terhadap Raya tidak surut. Kini, setelah mendapat perawatan intensif, ia menjadi perhatian lintas sektor. Sebuah pengingat bahwa perlindungan anak membutuhkan kerja bersama yang tak boleh terputus.