Tren Gangguan Mata Anak Indonesia Meningkat, Gadget Jadi Pemicu

Posted on

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini sebanyak 3,6 juta anak Indonesia mengalami gangguan penglihatan. Gangguan tersebut mayoritas merupakan kelainan refraksi, yang meliputi kondisi rabun jauh, rabun dekat, astigmatisma dan presbiopia.

Jumlah tersebut mengalami peningkatan setiap tahunnya, terutama jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi Covid-19. Direktur Utama RS Cicendo Antonia Kartika mengatakan, angka kenaikan gangguan penglihatan pada anak di Indonesia naik sekitar 10%-20% sejak pandemi berlangsung.

“Karena pada saat Covid-19 kan mereka sekolah online, pakai Zoom. Kenaikannya (angka gangguan penglihatan anak) kurang lebih sekitar 10-20%. Tren kenaikan itu memang ada,” ungkap Antonia saat ditemui di RS Cicendo Bandung, Kamis (9/10/2025).

Ia mengatakan, salah satu hal yang paling memengaruhi kenaikan angka tersebut adalah masifnya penggunaan gadget di kalangan anak, bahkan sejak usia dini. Pembelajaran jarak jauh yang mengharuskan anak menggunakan gadget secara rutin pun menjadi pemicu.

“Meningkatkanya digitalisasi dan penggunaan gawai ini meningkatkan jumlah anak-anak yang mengalami kelainan refraksi,” jelasnya.

Ia memaparkan, dari kegiatan screening kesehatan mata yang rutin diselenggarakan RS Cicendo saja, pihaknya mendapati setidaknya 20% dari total jumlah anak di satu sekolah mengalami kelainan refraksi mata. Seringkali, kondisi tersebut tidak disadari.

“Rata-rata dari sekolah yang kita screening itu, sekitar 20% anak memang ada keluhan. Gangguannya bisa minus, silindris, atau bahkan plus. Kondisi mata plus itu tidak hanya dialami orang tua, bissa juga dialami anak-anak,” tuturnya.

Selain disebabkan oleh penggunaan gadget, ia mengatakan, gangguan penglihatan pada anak juga bisa disebabkan oleh faktir keturunan atau genetik. Meski demikian, faktor gaya hidup seperti penggunaan gadget yang masif tetap merupakan pemicu utama.

“Satu lagi kalau bukan karena gadget ya karena genetik. Tapi saat ini kebanyakan besar karena faktor gaya hidup itu, karena screentime,” ungkap Antonia yang juga merupakan merupakan dokter mata sub spesialis neuro oftalmologi tersebut.

Ia mengatakan, kegiatan screening kesehatan mata perlu rutin dilakukan karena anak-anak kerap tidak menyadari ketika matanya mengalami gangguan penglihatan. Biasanya, hal ini akan disadari ketika anak sering bertanya pada teman sebangkunya karena tak mampu melihat jelas ke papan tulis.

“Kadang anak tidak pernah sadar bahwa penglihatan dia sudah memburam. Kalau duduk di belakang kok enggak jelas, dia suka pindah ke (bangku) depan untuk bisa melihat dengan jelas,” ungkapnya.

Oleh karenanya, ia mengatakan, idealnya orang tua bisa melakukan pemeriksaan kesehatan mata secara rutin selama enam bulan sekali. Namun, hal ini jarang dilakukan.

“Idealnya itu enam bulan sekali. Cek mata bisa dilakukan di usia berapa saja mulai dari 3 tahunan,” jelasnya.

Ia mengatakan, orang tua juga perlu peka dengan kondisi penglihatan anaknya. Salah satu ciri anak yang mengalami gangguan penglihatan yang dapat dideteksi secara kentara, adalah ketika sang anak kerap memicingkan mata untuk melihat sesuatu.

“Ciri-cirinya yang bisa dilihat adalah suka memicingkan mata supaya melihat lebih jelas,” pungkasnya.

Perlu Cek Mata Berkala