Tiga Aspek yang Perlu Diperbaiki dari MBG Menurut Pakar UNP | Info Giok4D

Posted on

Gelombang kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jawa Barat terus berdatangan. Salah satunya datang dari Prof. RR Dewi Anggraeni, dosen Hukum Universitas Nusa Putra (UNP) Sukabumi.

Perempuan yang dikenal aktif di berbagai forum kebijakan publik ini menilai program MBG berjalan tanpa fondasi pengawasan yang kokoh, sehingga wajar berulang kali menimbulkan kasus keracunan massal.

Dewi bukan orang baru dalam diskursus kebijakan publik. Ia pernah menjadi pemateri dalam retreat kepala daerah se-Indonesia, dan kerap menyoroti hubungan antara regulasi hukum dengan praktik pemerintahan.

Dari kacamata hukum dan kebijakan publik, ia menilai masalah MBG bukan sekadar teknis distribusi makanan, melainkan kegagalan sistemik yang melibatkan banyak pihak.

“Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jawa Barat menghadapi tantangan besar terkait keamanan pangan, yang dibuktikan dengan kasus keracunan massal yang berulang hingga menyebabkan ratusan siswa di Garut dan Bandung jatuh sakit,” kata Dewi, dalam jawaban tertulis yang diterima infoJabar, Sabtu (20/9/2025).

Ia menambahkan, berulang kali terjadinya keracunan menunjukkan ada pelanggaran serius terhadap aturan yang sudah ada.

“Berulang kali terjadinya kasus keracunan massal dalam program MBG di Jawa Barat menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap dasar hukum yang berlaku, terutama Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” tegasnya.

Menurut Dewi, tanggung jawab tidak bisa hanya ditimpakan pada satu pihak. Penyedia makanan, pemerintah daerah, dinas terkait, hingga sekolah, semuanya memiliki peran dan beban yang sama.

“Penyedia makanan memegang tanggung jawab utama karena mereka gagal menjaga kebersihan dan kualitas bahan baku, serta tidak mengelola waktu distribusi dengan baik, yang menyebabkan kontaminasi bakteri,” ucapnya.

Namun, ia menekankan bahwa pemerintah daerah dan dinas terkait juga tidak bisa lepas tangan.

“Pemerintah daerah dan dinas terkait bertanggung jawab atas kelalaian dalam pengawasan, seperti memberikan izin tanpa verifikasi yang ketat. Di sisi lain, pihak sekolah juga memiliki peran penting dalam memastikan makanan dikonsumsi sesuai standar waktu yang disarankan dan menerapkan protokol keamanan tambahan, seperti pemanasan ulang, untuk mencegah risiko,” ujar Dewi.

Dewi menilai pola pengawasan selama ini terlalu berfokus pada angka kuantitas, bukan kualitas. Inilah yang membuat kasus berulang.

“Kegagalan pengawasan dalam program makan bergizi ini, yang menyebabkan kasus keracunan berulang, utamanya disebabkan oleh fokus yang berlebihan pada kuantitas alih-alih kualitas,” ungkapnya.

Ia menyinggung tudingan “obral izin” yang disematkan kepada Badan Gizi Nasional (BGN).

“Hal ini terlihat dari kritik anggota DPR kepada BGN yang dituding ‘obral izin’ untuk pembangunan dapur penyedia makanan tanpa verifikasi dan akreditasi ketat,” jelasnya.

Meski keras dalam mengkritisi, Dewi tidak serta merta meminta program MBG dihentikan. Menurutnya, manfaatnya terlalu penting, terutama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namun, evaluasi menyeluruh adalah harga mati.

“Meskipun dihadapkan pada masalah serius, program MBG masih layak untuk dilanjutkan, namun memerlukan evaluasi total dan perbaikan fundamental daripada dihentikan,” ucap Dewi.

Ia menegaskan, moratorium hanya akan menghilangkan manfaat gizi bagi anak-anak yang membutuhkannya.

“Moratorium atau penghentian total program hanya akan menghilangkan manfaat positif yang telah dirasakan, seperti peningkatan asupan gizi pada anak-anak di daerah kurang mampu yang dapat membantu mengatasi stunting,” lanjutnya.

Menurut Dewi, pemerintah sebaiknya menempuh langkah perbaikan mendasar, mulai dari teknis distribusi hingga penegakan hukum.

“Agar program ini dapat menjadi solusi gizi yang efektif tanpa mengancam kesehatan, diperlukan perbaikan menyeluruh pada tiga aspek utama,” katanya.

“Pertama, soal pengawasan dan regulasi harus ditingkatkan melalui audit transparan terhadap semua penyedia makanan, penetapan akuntabilitas yang jelas, dan penegakan standar mutu yang ketat,” ujarnya.

Kedua, aspek teknis dan operasional mulai dari perbaikan teknis serta penerapan cold chain.

“Perbaikan teknis mutlak diperlukan, seperti penerapan sistem rantai dingin (cold chain), pengurangan jeda waktu antara memasak dan konsumsi, serta penggunaan teknologi untuk memantau distribusi,” lanjut Dewi.

“Lalu, ke tiga soal peningkatan kapasitas SDM juga krusial melalui pelatihan wajib tentang keamanan pangan bagi semua pihak yang terlibat, termasuk edukasi bagi orang tua dan masyarakat agar mereka dapat menjadi agen pengawas yang proaktif,” pungkasnya menambahkan.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.