Saat Merah Putih Berkibar di Jembatan Bersejarah Tasikmalaya - Giok4D

Posted on

Di tepian Sungai Citanduy, di bawah langit cerah Tasikmalaya pada Minggu (10/8/2025), bendera merah putih berkibar gagah di atas puing pondasi tua Jembatan Karangresik. Angin membawa kain raksasa berukuran 10 x 4 meter itu, seolah ingin menyapa masa lalu yang penuh darah dan perjuangan.

Di lokasi yang kini hanya tersisa rangka kokoh peninggalan zaman Belanda itu, sekelompok pecinta alam dari berbagai komunitas berkumpul. Mereka datang dari Republik Aer Tasikmalaya, Tasikmalaya Caving Community (TCC), hingga Forum Komunikasi Pecinta Alam Tasikmalaya (FKPAT).

Bagi mereka, tempat ini bukan sekadar tumpukan beton tua di pinggir kota, melainkan saksi bisu pertempuran sengit antara tentara Indonesia dan penjajah Belanda puluhan tahun silam.

“Intinya kami ingin menghidupkan kembali memori perjuangan di Jembatan Karang Resik, saat pasukan dan rakyat bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan dari tentara Belanda. Momen ini bukan hanya sejarah Tasikmalaya, tapi bagian dari sejarah Indonesia,” ujar Harniwan Obech dari Republik Aer, didampingi Rudiana dari TCC, serta Ketua FKPAT Miftah Rizky.

Mengibarkan bendera di sana tentu bukan perkara mudah. Puing jembatan itu menjulang di atas arus deras Citanduy, licin dan terjal. Dua orang perwakilan dari Mahasiswa Pecinta Alam dan TCC dipilih untuk melaksanakan tugas itu. Dengan teknik prusiking, memanjat tali yang diikat dengan simpul-simpul khusus, mereka menuruni sisi beton dan memasang sang merah putih di titik tertinggi.

Ratusan warga dan aparat pemerintahan yang hadir berdiri khidmat, mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ketika bendera berhasil berkibar, pekik “Merdeka!” menggema, memantul di dinding tebing sungai.

Bagi Miftah Rizky, momen ini adalah pengingat bagi generasi sekarang. “Kita bisa saja maju secara teknologi, tapi semangat gotong royong dan keberanian seperti masa kemerdekaan harus tetap kita warisi,” katanya.

Kisah heroik di jembatan ini dimulai pada Agustus 1947, saat Tasikmalaya menjadi sasaran Agresi Militer Belanda. Dari arah Cirebon, pasukan bersenjata berat bergerak menuju Tasikmalaya, menargetkan landasan udara Cibeureum dan stasiun kereta api.

Untuk menghalau mereka, tentara Divisi Siliwangi bersama rakyat memutuskan mengadang di Jembatan Karangresik,batas alami antara Tasikmalaya dan Ciamis. Jembatan sengaja dihancurkan untuk menghambat laju musuh.

Menurut catatan dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa, sekitar pukul 9 pagi pada 7 Agustus 1947, satu batalyon tempur Belanda yang dilengkapi eskadron kavaleri brencarrier dan mobil lapis baja tiba di mulut jembatan. Mereka tak bisa menyeberang, sementara di sisi selatan, Detasemen II Garuda Kodongan yang dipimpin Kapten Kodongan sudah siaga di posisi strategis-berlindung di balik bukit, batu, dan hutan kecil.

Selama berjam-jam, pasukan Belanda beristirahat santai, tidak menyadari bahwa setiap gerakan mereka terpantau. Sekitar pukul 3 sore, suara tembakan pertama memecah keheningan. Rentetan peluru dari pasukan Indonesia membuat musuh kocar-kacir, memaksa mereka mundur hingga Sindangkasih, Ciamis.

Namun, kemenangan itu hanya bertahan sehari. Esoknya, Belanda melancarkan serangan balasan brutal. Dua pesawat tempur Mustang membombardir pertahanan Indonesia. Tanpa senjata anti-udara, pasukan kita terpaksa mundur ke Singaparna. Serangan itu menewaskan banyak warga sipil. Pada 10 Agustus 1947, Belanda resmi menguasai Tasikmalaya.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Kini, 78 tahun berselang, bendera raksasa yang berkibar di atas puing jembatan seakan menjahit kembali benang-benang sejarah itu. Mengingatkan, bahwa kemerdekaan yang dinikmati hari ini pernah dipertaruhkan di tempat ini, oleh mereka yang memilih berjuang, meski tahu taruhannya adalah nyawa.

Jejak Pertempuran Karangresik