Publik dibuat geger dengan terjadinya kekerasan di sebuah sekolah. Kasus ini melibatkan seorang guru, sedangkan korbannya adalah siswa kelas V SD.
Beberapa hari setelah kejadian ini, siswa tersebut berakhir meninggal. Kini, sang guru yang jadi pelaku penganiayaan harus menghadapi jerat hukum.
Berikut ini rangkuman kasus guru yang menganiaya siswa hingga berujung meninggal dunia:
Korban dalam kejadian ini bernama Rafito (10). Ia merupakan siswa kelas V SD Inpres One di Desa Poli, Kecamatan Santian, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan pelaku adalah Yafet Nokas. Ia merupakan guru olahraga di sekolah tersebut.
Insiden penganiayaan ini terjadi di halaman sekolah SD Inpres One pada Jumat, 26 September 2025. Saat itu, Yafet memanggil Rafi dan sembilan temannya karena tidak mengikuti gladi upacara serta tidak masuk sekolah minggu.
Setelah mengumpulkan mereka, Yafet mengambil batu dan memukul Rafi bersama delapan temannya di bagian kepala sebanyak empat kali.
Akibat penganiayaan yang dilakukan sang guru olahraga, Rafi mengalami penderitaan selama beberapa hari. Ia mengeluh sakit di kepala dan pulang ke rumah. Keesokan harinya, Rafi tidak masuk sekolah karena demam tinggi.
“Saat sakit baru korban menceritakan penganiayaan yang dialaminya kepada orang tuanya,” tutur Kapolres TTS, AKBP Hendra Dorizen kepada infoBali.
Rafi mengalami demam dan sakit kepala terus-menerus hingga Senin (29/9/2025). Salah satu keluarga yang merawatnya, Sarlina Toh, melihat adanya luka memar dan bengkak di kepala korban.
Setelah ditanya, Rafi mengaku dipukul batu oleh gurunya. Namun, korban menolak dibawa ke Puskesmas untuk mendapat perawatan medis. Ia akhirnya meninggal di rumah.
Rafi dimakamkan pada Minggu (5/10/2025) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Poli. Namun, polisi melakukan ekshumasi untuk autopsi pada Sabtu (11/10/2025).
Keluarga korban kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polsek Boking. Polisi menetapkan Yafet Nokas sebagai tersangka dan menahannya.
“Setelah pemeriksaan para saksi, terlapor, olah TKP dan gelar perkara, kami menetapkan pelaku sebagai tersangka dan langsung ditahan pada Jumat (10/10/2025) setelah dilakukan gelar perkara,” terang Hendra.
Polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk batu yang digunakan untuk menganiaya korban dan seragam sekolah yang dikenakan Rafi saat kejadian.
“Terkait kasus itu, kami sudah periksa 12 orang saksi, yaitu kepala desa, kepala sekolah, tersangka, dan teman-teman korban,” urai Hendra.
Polisi menjerat Yafet dengan Pasal 80 Ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Selain jerat pidana, Yafet juga terancam kehilangan pekerjaannya sebagai ASN. Jika itu terjadi, hal tersebut membuat hukumannya menjadi ganda.
Bupati TTS Eduard Markus Lioe mengatakan pihaknya menunggu putusan hukum yang berkekuatan tetap sebelum memutuskan pemberhentian Yafet sebagai aparatur sipil negara (ASN).
“Semua proses masih berjalan, karena sudah masuk dalam ranah hukum. Untuk menindaklanjuti kejadian ini (pemecatan), menunggu putusan hukum,” ujar Eduard saat diwawancarai di Kupang, Rabu (15/10/2025).
Korban dan Pelaku
Pemicu
Penderitaan Korban
Keluarga Lapor Polisi, Pelaku Ditangkap
Ancaman Hukuman
Rafi dimakamkan pada Minggu (5/10/2025) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Poli. Namun, polisi melakukan ekshumasi untuk autopsi pada Sabtu (11/10/2025).
Keluarga korban kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polsek Boking. Polisi menetapkan Yafet Nokas sebagai tersangka dan menahannya.
“Setelah pemeriksaan para saksi, terlapor, olah TKP dan gelar perkara, kami menetapkan pelaku sebagai tersangka dan langsung ditahan pada Jumat (10/10/2025) setelah dilakukan gelar perkara,” terang Hendra.
Polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk batu yang digunakan untuk menganiaya korban dan seragam sekolah yang dikenakan Rafi saat kejadian.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
“Terkait kasus itu, kami sudah periksa 12 orang saksi, yaitu kepala desa, kepala sekolah, tersangka, dan teman-teman korban,” urai Hendra.
Polisi menjerat Yafet dengan Pasal 80 Ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Selain jerat pidana, Yafet juga terancam kehilangan pekerjaannya sebagai ASN. Jika itu terjadi, hal tersebut membuat hukumannya menjadi ganda.
Bupati TTS Eduard Markus Lioe mengatakan pihaknya menunggu putusan hukum yang berkekuatan tetap sebelum memutuskan pemberhentian Yafet sebagai aparatur sipil negara (ASN).
“Semua proses masih berjalan, karena sudah masuk dalam ranah hukum. Untuk menindaklanjuti kejadian ini (pemecatan), menunggu putusan hukum,” ujar Eduard saat diwawancarai di Kupang, Rabu (15/10/2025).