Suasana sunyi terasa di kawasan tambak garam Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Di awal musim kemarau, petani belum bersiap menggarap tambak lantaran masih ada hujan.
Hamparan luas tambak garam di Kampung Garam Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu masih tertidur. Lahan tambaknya terlihat masih dipenuhi genangan air. Bahkan, beberapa sudah ditumbuhi rumput liar.
Suara burung terdengar keras diantara riuhnya kincir tambak yang masih berputar. Gubuk hingga peralatan tambak garam berserakan tak terurus.
Ditemui infoJabar, salah seorang petambak garam Ibah (51) menyebut, produksi garam tahun ini bisa dikatakan molor. Sebab, di awal musim kemarau ini, petani belum memulai penggarapan.
“Tahun kemarin sudah mulai bulan 5 tuh. Karena masih banyak hujan jadi belum mulai,” kata Ibah, Sabtu (10/5/2025).
Selain faktor cuaca, sebagian petaninya pun masih sibuk di lahan persawahan. Ya mereka mayoritas masih menunggu musim panen padi.
Sehingga, diprediksi awal produksi garam akan digelar di bulan Juni mendatang. “Paling nanti bulan 6 sudah pada siap produksi. Panen raya nanti bulan 9 kalau garam tuh,” ujarnya.
Namun, kata Ibah, tidak sedikit pengelola yang mencoba memfungsikan lahan tambaknya. Ada yang mengalihkan sementara untuk budidaya udang dan ikan.
“Ada yang tanam udang, bandeng sebelum produksi garam. Kan banyak yang beli buat mancing tuh,” katanya.
Meski stok garam sedang menipis, namun hukum pasar seolah kurang berlaku. Sebab, harga garam saat ini dinilai masih rendah.
“Stok di petani mah nggak ada. Kalau sekarang pastinya naik ya harganya. Misal pas panen harga Rp700 per kilogram. Sekarang per kilogram sekitar Rp850,” ucapnya.
Di sisi lain, petani yang rencananya akan menggarap tambak mulai mengumpulkan modal. Sebab, di awal produksi, petani harus menyiapkan lahan hingga kebutuhan peralatan.
“Ya kalau persiapan awal Rp2 juta mah ada dari gegaleng, selenderan,” kata Ito (37).
Selain itu, kincir angin yang juga sebagai jantung bagi tambak garam harus diperhatikan. Biasanya petani hanya memperbaiki setiap bagian kincir yang rusak.
“Kincir paling diperbaiki aja. Satu kincir harganya Rp1,5 juta. Kalau kecil Rp300 ribu,” ungkapnya.
Sejauh ini, mayoritas petambak garam di Losarang masih menggunakan cara tradisional. Artinya belum menggunakan metode tunnel atau alat plastik geomembran.
“Iya rata-rata di sini masih pakai manual. Soalnya kalau lagi puncaknya (panen raya) cara manual itu bisa lebih banyak hasilnya. Kalau pakai geomembran memang sekarang pun bisa mulai garap,” terangnya.