Setelah Bogor, tiga kota lain yakni Bandung, Cianjur, dan Jakarta dinilai layak mencantumkan nama Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo di salah satu jalannya. Sosok yang dikenang sebagai Perintis Pers Indonesia itu memiliki jejak sejarah yang kuat di kota-kota tersebut.
“Mumpung dua gubernur sekarang ini punya kepedulian tinggi terhadap sejarah,” kata RM Joko Prawoto Mulyadi-yang akrab disapa Okky Tirto atau Muhammad Fikry-saat berbincang dengan Komunitas JAPAS (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Minggu (7/12/2025).
Ia merujuk pada Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, dan Pramono Anung, Gubernur DKI Jakarta. Di Bogor, Jalan Tirto Adhi Soerjo menggantikan Jalan Kesehatan sejak 10 November 2021. Titik itu dipilih karena ada kantor PWI dan Kesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik).
Okky adalah cicit Tirto dari istri pertama, Raden Ayu Siti Suhaerah, perempuan bangsawan di Cianjur. Ia bersama para cucu dan cicit Tirto dari istri yang lain menemani sekitar 30 anggota Komunitas JAPAS berziarah ke makam Tirto. Juga napak tilas ke tempat-tempat yang pernah disinggahi Tirto semasa menetap di Bogor.
Tirto wafat pada 7 Desember 1918 di kamar di Hotel Samirono di daerah Kramat Raya, Jakarta. Hotel itu sebelumnya kepunyaan Tirto yang diberi nama Hotel Medan Prijaji, sama seperti nama surat kabar dan perusahaan media yang dikelolanya sejak 1907. Atas siasat tertentu, Raden Goenawan yang nota bene muridnya di Medan Prijaji mengambilalih hotel tersebut.
Sebelum memiliki hotel, lewat bendera N.V. Medan Prijaji, Tirto menerbitkan beberapa surat kabar seperti Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan pada 1907, serta Poetri Hindia (1908). Percetakannya ada di Jalan Naripan, Bandung yang kini menjadi kantor Yayasan Pusat Kebudayaan, tempat pertunjukan seni tari, lukis, dan teater.
Medan Prijaji tercatat sebagai surat kabar nasional pertama yang seluruhnya dikelola oleh pribumi, dari redaksi hingga percetakan, dan ditulis dalam bahasa Melayu. Koran itu mendapat dukungan finansial dari Oesman Sjah, kakak kandung istri ketiga Tirto, Boki Fatimah.
Empat tahun sebelum meneribitkan Medan Prijaji, pada 7 Februari 1903 – 1905, Tirto menerbitkan Soenda Berita di Cianjur. Koran itu mendapat pendanaan 1000 gulden dari Bupati Cianjur, Raden Adipati Aria Prawiradiredja II. Sang bupati masih berkerabat dengan keluarga Raden Ayu Siti Suhaerah, istri pertama Tirto yang dinikahi pada 1903. Bahkan, Tirto kemudian menikahi Siti Habibah, putri Prawiradiredja.
“Jadi Eyang Tirto itu bisa disebut cikal bakal konglomerat di industri pers, seperti dilakukan pendiri Kompas dan media lainnya. Dia punya media, punya hotel,” kata Okky, tersenyum.
Bersamaan dengan semangat menyadarkan kaum pribumi lewat tulisan-tulisannya yang tajam di surat kabar, Tirto menggagas pendirian Sjarekat Dagang Islamijjah (SDI) di Bogor. Organisasi itu menjadi wadah yang menghimpun kaum saudagar dan masyarakat Muslim untuk “menjaga kepentingan Kaoem Moeslimin di Hindia”.
“Langkah ini bukanlah reaksi tandingan terhadap S.D.I di Solo, seperti yang kerap disalahpahami, melainkan ekspresi dari idealismenya untuk memajukan rakyat tanpa bergantung pada kaum bangsawan atau pejabat colonial,” ungkap Abdullah Abubakar Batarfie yang memandu Komunitas JAPAS.
Bagi Tirto, kemajuan sejati hanya mungkin dicapai bila rakyat jelata, “kaoem terprentah” yang disebutnya sebagai “seperempat manusia”, mampu berdiri di atas kaki sendiri, mandiri secara ekonomi dan berpikir bebas.
Kemunduran SDI Bogor terjadi setelah akhir 1912, menurut Abdullah, ketika Tirto dibuang ke Maluku. Sebelumnya, pada awal 1910, ia sempat dipenjara dua bulan karena dituduh menghina pemerintah lewat tulisannya. Tirto juga sempat dituding oleh Belanda, bahwa S.D.I bentukannya terafiliasi dengan gerakan Pan-Islamisme, tuduhan yang tak pernah terbukti.
Atas dasar itu, Okky juga melontarkan usul agar SDI (Sarikat Dagang Islamijah) menjadi nama jalan di Tanjakan Empang, karena di situ ada bangunan tempat Tirto dan kawan-kawan merumuskan AD/ART SDI Bogor. Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim yang bergabung dengan Komunitas di tengah perjalanan menyatakan tak dapat serta-merta memenuhinya.
Ia menyarankan kepada pihak keluarga, komunitas, maupun masyarakat sejarah yang peduli membuat kajian akademis dan membukukannya. “Nanti ada Tim yang mengkaji lebih lanjut sebelum diputuskan layak tidaknya,” kata Dedie.
