Salah satu bencana alam yang sering melanda Cirebon adalah banjir, tidak hanya di masa sekarang, banjir juga sudah melanda Cirebon sejak masa Hindia Belanda. Catatan mengenai banjir di Cirebon dapat dilihat sejak tahun 1858, seperti ditulis oleh surat kabar De Oostpost edisi 22 Februari tahun 1858.
Selama bulan Januari 1858, Cirebon dilanda hujan yang terus menerus yang akhirnya mengakibatkan banjir. Kala itu, banjir di Cirebon menyebabkan berbagai macam kerusakan seperti kerusakan jalan, jembatan, gedung dan juga pernah pohon tumbang.
“Akibat hujan lebat dan banjir yang diakibatkannya, banyak kerusakan terjadi pada jalan dan jembatan. dll. Jalan pos utama dekat stasiun pos Wadana terendam banjir akibatnya sebagian besar tanggul di kiri dan kanan jalan terkikis, sedangkan beberapa pohon di sepanjang jalur telegraf tetap tidak tersentuh, Jalan dan tanggul di Kota Utama Cirebon telah rusak,” tulis surat kabar De Oostpost edisi 22 Februari tahun 1858.
Selain jalan dan tanggul yang rusak, banjir juga menyebabkan beberapa jembatan di Cirebon juga rusak seperti jembatan di dekat desa Astana Gunung Jati arah Indramayu, jembatan sungai Winong dekat pabrik gula, jembatan di jalur pos dari Cirebon sampai Preanger (Parahyangan) juga mengalami kerusakan yang parah.
Awal tahun 1990-an, tepatnya di tanggal 5 Januari 1904, akibat hujan lebat dan sungai di Cirebon meluap menyebabkan beberapa wilayah terkena banjir seperti di Beber, Sindanglaut, Plumbon, Mandirancan. Mengutip surat kabar Het Vaderland edisi 6 Februari 1904. Tidak hanya permukiman pribumi, banjir juga merendam banyak pemukiman penduduk Eropa, Arab dan juga Cina di Kota Cirebon, karena ketinggian air mencapai 3 meter, para penduduk mengungsi ke tempat-tempat yang lebih tinggi.
Banjir yang datang tiba-tiba juga menyebabkan banyak penduduk tidak sempat menyelamatkan barang berharga di rumahnya. Diperkirakan banjir menyebabkan kerugian mencapai f 12.000 gulden. Menurut penduduk, banjir tahun ini merupakan banjir paling parah dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, jalanan rusak, jembatan ambruk dan jaringan telpon terputus.
“Pada sore hari tanggal 5 bulan ini terjadi badai dahsyat yang menyebabkan sungai-sungai meluap. Setengah kota Cheribon terendam air, Air bahkan merembes ke rumah-rumah orang Eropa dan banyak orang harus mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Di rumah-rumah di dataran rendah, ketinggian air mencapai tiga meter. Penduduk desa, serta sebagian besar rumah dagang yang memiliki banyak pengaruh terhadap desa, dirugikan,” tulis surat kabar Het Vaderland edisi 6 Februari 1904.
Disebutkan juga mengenai penyebab banjir, selain karena hujan deras, banjir juga disebabkan karena pembangunan jalur kereta api Semarang-Cirebon, adanya jalur kereta tersebut membuat aliran air dari darat menuju laut menjadi tidak normal.
Tiga tahun setelahnya, yakni pada tahun 1907, dalam surat kabar Nederlandsch-Indische edisi 26 Februari 1907, warga Cirebon melaporkan bahwa terjadi banjir di Kanggraksan, banjir terjadi tersebut menyebabkan perkebunan padi muda di beberapa desa gagal panen karena terkena banjir.
Di Kecamatan Kedawung, beberapa desa terendam banjir yang disertai dengan angin kencang, bencana tersebut menyebabkan 6 rumah warga roboh. Banjir juga menyebabkan beberapa jembatan di Kedawung dan Kanggraksan mengalami kerusakan.
“Warga Cirebon melaporkan pada tanggal 20 bulan ini bahwa perkebunan padi muda seluas 91/2 hektar di beberapa desa di Kecamatan Kanggraksan, Cirebon hancur, sedangkan jembatan desa di sana tersapu banjir. Selanjutnya, beberapa jembatan di Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon dan wilayahnya mengalami kerusakan cukup parah, dan beberapa desa terendam banjir. Di kecamatan tersebut, sebanyak 6 rumah roboh akibat angin kencang,” tulis surat kabar Nederlandsch-Indische edisi 26 Februari 1907.
Pada tahun 1913, banjir juga melanda Losari dan Ciledug dengan ketinggian air mencapai 1 meter, banjir yang disertai tanah longsor tersebut menghanyutkan rel kereta api sepanjang 300 meter. Lalu, pada tahun 1925 mengutip surat kabar Soerabaja Handelsblad edisi 8 Maret 1925, akibat meluapnya sungai Cisanggarung, banjir dengan ketinggian 1.5 meter juga menutup akses Jalur Pantura Cirebon-Brebes.
Sembilan tahun setelahnya, dalam surat kabar De Sumatra Post edisi 20 Maret 1934, disebutkan bahwa pada tahun 1934 akibat meluapnya sungai Cipager ditambah dengan hujan deras yang terjadi menyebabkan banjir di daerah sekitar aliran sungai Cipager seperti Sumber, Megu, Dawuan, Tengah Tani dan juga Plumbon.
Tercatat, banjir yang melanda Kabupaten Cirebon tersebut memiliki ketinggian mencapai 2 meter, bahkan jembatan yang ada di atas sungai Cipager sebagian telah hancur dan hanyut terbawa air.
Selain membuat jembatan tidak berfungsi, banjir juga menyebabkan beberapa ruas jalan ditutup, seperti banjir yang terjadi di perbatasan Kuningan Cirebon, yang menyebabkan ruas jalan Mandirancan – Cirebon ditutup. Jalur Pantura dari Cirebon menuju Tegal juga ditutup akibat banjir dan pohon tumbang.
Banjir juga menyebabkan 7 orang hilang dan 5 orang diantaranya ditemukan tewas terbawa arus banjir sepanjang 15 kilometer, 7 rumah hanyut dan sebuah truk yang melaju ke arah Kuningan terkena tanah longsor dan terlempar ke belakang sampai menabrak pohon.
Mengutip buku Perubahan Eksistensi Sungai dan Pengaruhnya Bagi Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon Masa Hindia Belanda Tahun 1900-1942 karya Anwar Sanusi, Faisal Arif dan Rafan S Hasyim, penyebab sering terjadinya banjir di Cirebon pada masa Hindia Belanda adalah karena sungai di Cirebon banyak mengalami pendangkalan dan tercemar akibat pembuangan limbah sembarangan.
Untuk mengatasi masalah banjir tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan beberapa upaya seperti pengurugan dan normalisasi di beberapa sungai yang sudah tercemar limbah seperti di Kali Bacin, Sungai Sukalila, dan Sungai Dipadu, pembuatan saluran drainase, serta memasang pompa air riol di dekat Pelabuhan Cirebon.