Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor tidak berada di luar pusaran kekuasaan daerah. Ia hadir di ruang-ruang rapat, menjadi bagian dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), dan terlibat dalam pembahasan percepatan pembangunan. Namun bagi Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor Denny Achmad, posisi itu justru menuntut satu sikap utama, yaitu menjaga jarak dengan kesalahan.
“Kita ini bagian dari tim pemerintah, penyelenggaraan pemerintahan. Tapi keakraban itu tidak boleh dipakai untuk menyimpang,” ujar Denny dalam perbincangan dengan infojabar, awal pekan ini.
Alumnus Fakultas Hukum UI 1997 ini menegaskan, kejaksaan bekerja berdasarkan tugas dan fungsi yang harus linier dengan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang daerah, termasuk kebijakan strategis pemerintah pusat. Namun sejak awal, ia memberi batas yang jelas antara kerja sama dan kompromi hukum.
Pendampingan hukum menjadi pendekatan utama yang ditempuh Kejari Bogor. Jaksa hadir untuk memberi arahan dan mengingatkan aturan agar pembangunan tidak melenceng. Namun Denny menolak keras anggapan bahwa pendampingan berarti perlindungan.
“Rekomendasi kita itu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kita hanya menyarankan. Mau dijalankan, bagus. Tapi kalau tidak dijalankan dan tetap melanggar, ya kita tindak,” tegasnya.
Menurut Denny, banyak persoalan hukum justru muncul karena kesalahan dibiarkan sejak awal. Ia menyebut, proyek sering dipaksakan lewat analisis kebutuhan yang tidak jujur, perencanaan yang direkayasa, hingga pengadaan yang dikondisikan.
“Kalau proyek dilihat dari belakang, pasti ribut. Tapi kalau dilihat dari awal, kelihatan semua di mana salahnya,” katanya.
Karena itu, Kejari Bogor memilih membaca pembangunan secara menyeluruh. Dari analisis kebutuhan, persiapan pengadaan, proses lelang, pelaksanaan kontrak, hingga penyerahan hasil pekerjaan. Bagi Denny, kegagalan di satu tahapan hampir pasti berujung pada persoalan hukum di akhir.
Namun ia juga mengingatkan, tidak semua kesalahan adalah kejahatan. Ada penyimpangan administratif, perdata, pidana umum, dan pidana khusus. Masing-masing memiliki jalur penyelesaian yang berbeda.
“Kalau administratif, obatnya dibenahi. Kalau perdata, ya ganti rugi. Kalau pidana umum, itu kewenangan aparat lain. Kalau pidana khusus yang ada kerugian negara, baru kita lanjutkan,” jelas ayah tiga anak ini.
Pembacaan berlapis ini, menurut Denny, penting untuk mencegah kriminalisasi kebijakan. Kejaksaan terikat pada mekanisme hukum, termasuk SKB Tiga Menteri, agar penindakan dilakukan secara proporsional dan bertahap.
Dalam konteks Forkopimda, posisi ini kerap menuntut ketegasan. Target pembangunan, tekanan waktu, dan kepentingan politik sering berjalan beriringan. Namun bagi Denny, kedekatan struktural tidak boleh mengaburkan fungsi kontrol.
“Gue bisa akrab sama siapa pun. Tapi sepanjang itu tidak dipakai untuk hal lain. Kalau sudah salah, ya harus ditindak,” ujarnya.
Ia menyadari sikap tersebut tidak selalu nyaman. Namun pembiaran, menurutnya, jauh lebih berbahaya. Pendampingan tetap menjadi prioritas, tetapi penindakan selalu disiapkan sebagai konsekuensi.
“Pendampingan itu bukan berarti kebal hukum,” pungkasnya.
Bagi Denny Achmad, keberhasilan pembangunan tidak diukur dari seberapa cepat proyek selesai, tetapi dari apakah hasilnya bisa dimanfaatkan masyarakat tanpa meninggalkan masalah hukum. Cara pandang itu membentuk pendekatan Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor dalam mengawal pembangunan daerah.
“Kalau proyek itu berhasil, penyerahannya jelas dan bisa dimanfaatkan masyarakat. Tidak menimbulkan masalah hukum di belakang,” kata jaksa yang malang melintang bertugas di lintas satuan kerja di Korps Adhyaksa.
Pengawalan dimulai dari tingkat desa. Dengan ratusan desa dan wilayah yang luas, Kejari Bogor tidak mengandalkan pengawasan konvensional. Aplikasi Jaga Desa dimanfaatkan untuk memantau penggunaan dana desa secara administratif.
“Anggaran berapa, dipakai untuk apa, laporannya bagaimana, sampai foto kegiatan, semua bisa dimonitor,” ujarnya.
Namun Denny menekankan bahwa teknologi bukan solusi tunggal. Tantangan utama desa justru ada pada pemahaman hukum aparatur yang beragam dan regulasi yang kerap berubah.
“Peraturan ini cepat sekali berubah. Kalau tidak disosialisasikan, orang bisa salah menerjemahkan,” katanya.
Karena itu, pencegahan dimaknai sebagai proses edukasi. Kesalahan administratif diarahkan untuk diperbaiki. Tidak semua penyimpangan harus dibawa ke ranah pidana.
“Tidak semua penyimpangan itu korupsi,” ujar Denny. “Makanya kita lihat dulu sifatnya apa.”
Di tingkat pemerintah daerah, pengawasan diarahkan pada persoalan aset. Denny menyebut ribuan aset daerah, termasuk PSU dan fasilitas umum, masih bermasalah secara administrasi akibat pembiaran bertahun-tahun.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Karena pembiaran, aset negara jadi berantakan pencatatannya,” katanya.
Banyak aset tidak tersertifikasi, tidak tercatat dengan baik, atau berubah peruntukan tanpa kejelasan hukum. Kondisi ini membuka ruang penyalahgunaan dan potensi kerugian negara.
Pembenahan dilakukan secara bertahap dan berbasis kasus. Tidak semua diselesaikan dengan pidana. Namun ketika ditemukan indikasi penggelapan atau pengurangan hak negara akibat perubahan site plan, jalur hukum menjadi pilihan.
“Setiap titik itu case by case,” tegas Denny.
Dalam proyek percepatan pembangunan, kejaksaan juga berada di dalam satgas bersama pemerintah daerah dan unsur Forkopimda lainnya. Perannya memberi rekomendasi hukum agar percepatan tidak berubah menjadi gejolak sosial akibat minimnya legalitas dan sosialisasi.
“Keputusan tetap di kepala daerah. Tapi kalau rekomendasi diabaikan dan melanggar hukum, tanggung jawab juga melekat,” ujarnya.
Bagi Denny, mengawal pembangunan berarti menjaga tujuan awaln yaitu kesejahteraan masyarakat. Pembangunan harus berjalan, tetapi harus lurus.
“Kejaksaan itu hadir untuk memastikan tidak ada kebolongan sejak awal,” katanya.
Ia menegaskan, pengawalan bukan kompromi. Pencegahan menjadi prioritas, tetapi penindakan tetap menjadi ujung jalan ketika hukum dilanggar.
“Kalau sudah ada perbuatan melawan hukum, ya tetap kita laksanakan,” Denny memungkasi.
