Penyelesaian utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penolakannya terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung beban utang proyek tersebut.
Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Rosan Perkasa Roeslani, menyampaikan bahwa proses pengkajian opsi penyelesaian utang masih berlangsung. Menurutnya, langkah restrukturisasi belum memiliki keputusan final.
Rosan menjelaskan, pembahasan dilakukan secara menyeluruh karena proyek kereta cepat melibatkan banyak kementerian dan lembaga (K/L). Ia menegaskan, penyelesaian harus dilakukan secara komprehensif agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
“Jadi kita akan presentasikan agar penyelesaiannya adalah penyelesaian yang komprehensif. Bukan hanya penyelesaian yang sifatnya bisa potensi ‘oh problem lagi’, nggak. Kita mau komprehensif. dan ini tidak hanya dari finansial,” kata Rosan di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2025).
Ia menargetkan kajian internal tersebut rampung sebelum akhir tahun, sehingga skema penyelesaian utang dapat segera ditetapkan setelahnya.
Selain melakukan kajian internal, Danantara juga terus berkoordinasi dengan pihak China, khususnya National Development and Reform Commission (NDRC) atau Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional. Komunikasi ini penting karena proyek Whoosh merupakan bagian dari program strategis Presiden China, Xi Jinping.
“Dan ini (kajian) tidak hanya dari finansial, tapi kita juga komunikasi dengan pemerintah China, dengan NDRC-nya, karena ini juga buat mereka menjadi hal yang sangat penting, karena ini adalah program dari Presiden Xi Jinping pada waktu itu,” ujarnya.
Rosan turut menyinggung dampak penyelesaian utang terhadap PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, yang merupakan pemimpin konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), pemegang saham terbesar (60%) di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
“Jadi, tolong bersabar. Ini opsi saja kita sedang kaji semua. Dan bukan hanya dari semata-mata, kalau saya bilang dari finansial saja bukan seperti itu. Ini kelanjutannya seperti apa, dari segi supaya ke depannya ini berjalan dengan baik,” kata dia.
“Dan juga dampaknya ke KAI juga positif. Karena ini kan kalau nanti dampaknya ke KAI, dampaknya ke pelayanan KA yang lainnya,” sambungnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak keras penggunaan APBN untuk membayar utang proyek KCJB yang dikelola KCIC. Ia menilai, tanggung jawab penyelesaian utang berada di bawah Danantara sebagai holding BUMN investasi.
“Kan KCIC di bawah Danantara kan, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage dari situ, jangan ke kita lagi, karena kalau enggak, ya, semuanya ke kita lagi, termasuk dividennya,” kata Purbaya secara online dalam Media Gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Ia menegaskan, tidak adil jika APBN harus menanggung utang tersebut, sementara keuntungan BUMN telah dikelola oleh Danantara.
“Jadi kalau pakai APBN dulu agak lucu, karena untungnya ke dia (Danantara), susahnya ke kita. Harusnya kalau diambil, ambil semua,” ujar Purbaya, ditemui di Tempat Pemeriksaan Fisik Terpadu (TPFT) Graha Segara, Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (13/10/2025).
Berdasarkan catatan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung memperoleh pinjaman dari China Development Bank (CDB) untuk menutup cost overrun atau pembengkakan biaya proyek sebesar Rp 6,98 triliun, hampir mencapai Rp 7 triliun.
Artikel ini telah tayang di .