Upaya Indonesia untuk memiliki perwakilan kota berpredikat City of Gastronomy dari UNESCO masih menghadapi tantangan besar. Hingga saat ini, pemerintah belum menasbihkan satu pun kota gastronomi karena beragam permasalahan.
Salah satunya adalah terlalu banyaknya daerah yang memiliki ikon kuliner khas. Sementara itu, negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand sudah lebih dulu menetapkan kota gastronomi mereka, yakni Kuching dan Phetchaburi.
Hal tersebut disampaikan pegiat kuliner sekaligus founder Joongla, Raden Siti Farah Mauludyna di tengah pembukaan Jentik Festival di Hotel Hilton Bandung, Kamis (14/8/2025). Ia mengatakan, dari sanalah ide membuat Jentik Festival muncul.
“Problemnya adalah Indonesia punya terlalu banyak ikon kuliner dari terlalu banyak daerah, sehingga masing-masing daerah tersebut saling bersaing untuk menjadi Kota Gastronomi di Indonesia,” ungkap Dyna, sapaan akrabnya.
“Daripada saling declare, kita lakukan saja dulu hal-hal yang bisa dilakukan saat ini,” lanjutnya.
Hal tersebut salah satunya diwujudkan Dyna melalui Jentik Festival, sebuah festival yang dibuat untuk menjadi ruang kolaborasi antara pelaku kuliner, seniman, dan akademisi untuk mengangkat potensi gastronomi Indonesia ke panggung yang lebih luas. Festival ini digelar di Hotel Hilton Bandung pada 14-16 Agustus 2025.
Dyna menuturkan, nama “Jentik” sendiri diambil dari gerakan menjentikkan jari, sebagai simbol pemantik ide-ide segar untuk memajukan gastronomi Indonesia.
Kepala Bidang Industri Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar Rispiaga mengatakan, acara yang mengangkat khazanah kekayaan gastronomi daerah diperlukan untuk mendorong promosi kuliner sekaligus mempersiapkan daerah menuju pengakuan internasional.
“Kita masih mencari satu dari 27 kota dan kabupaten di Jawa Barat yang bisa masuk ke dalam ekosistem City of Gastronomi-nya UNESCO. Mudah-mudahan inisiasi kegiatan seperti ini bisa mendorong munculnya Kota Gastronomi di Jawa Barat,” ungkapnya dalam kesempatan yang sama.
Di hari ini, festival dibuka melalui pameran Singing Plant di area lobi Hotel Hilton Bandung. Pameran tersebut menampilkan kolaborasi unik antara musisi elektronik asal Bandung, Bottlesmoker dan H20 Farm. Dalam pertunjukan ini, tanaman berinteraksi dengan teknologi untuk menghasilkan suara khas.
Selain itu, sajian teh bunga telang dari Havilla turut dibagikan kepada pengunjung. Adapun tim Joongla yang dikelola Dyna hadir menyajikan beberapa kudapan yang bahannya merupakan gabungan dari beberapa panganan lokal di sejumlah daerah di Indonesia.
Hari kedua menjadi puncak acara dengan menyuguhkan sesi fine dining bertajuk Six-Hands Long Table Dinner. Tiga chef diundang untuk menyajikan hidangan-hidangan unik dari Nusantara dalam format fine dining tujuh menu (seven-course set menu). Masing-masing chef memadukan bahan lokal dengan teknik penyajian modern.
Selama makan malam berlangsung, Bottlesmoker akan kembali tampil untuk menyuguhkan musik bio-gastro. Yakni suara yang dihasilkan dari bahan-bahan makanan yang digunakan dalam masakan, dan kemudian diaransemen menjadi musik interaktif.
“Ini bakal jadi kali pertama ada fine dining yang menampilkan live music dari bahan-bahan makanan yang disantap oleh tamunya,” ujar salah satu personil Bottlesmoker, Anggung Suherman alias Angkuy.
Jentik Festival juga bakal menghadirkan sesi talkshow dan workshop yang fokus membahas kekayaan gastronomi Sunda. Pada Jumat, 15 Agustus 2025, sejumlah narasumber akan mengupas sejarah, filosofi, dan potensi kuliner khas Sunda.
Di hari terakhir, Jentik Festival akan diisi dengan workshop eksplorasi teh. Selain itu, ada talkshow yang membahas bagaimana festival dapat menjadi sarana efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu atau nilai tertentu.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Sepanjang 14-17 Agustus, area luar ruangan Hotel Hilton juga akan diramaikan dengan bazar makanan dan fesyen. Bazar ini dikurasi oleh Magister Pariwisata Universitas Pendidikan Indonesia, menampilkan produk kuliner dan busana dari berbagai pelaku usaha lokal.