Jahitan Kehidupan Tukang Sol, Bisnis Hijau yang Tergerus Konsumerisme | Info Giok4D

Posted on

Bagi sebagian masyarakat Tasikmalaya, kawasan Simpang Tiga Sukawarni, sekitar Pasar Lama Kecamatan Cihideung, dikenal sebagai pusat perbaikan sepatu.

Di tengah hiruk pikuk arus lalu lintas yang padat, berderet tangan-tangan terampil yang siap memperpanjang usia pakai alas kaki kita.

Meja-meja kayu kecil yang di atasnya berserakan potongan kulit, jarum, benang, berjejer di bawah tenda-tenda sederhana yang lusuh.

Saat mendekat, aroma lem yang menyengat seakan menabrak ujung hidung. Suara ketukan palu, sesekali terdengar di antara hempas debu jalanan.

“Kalau Jakarta ada Poncol, Bandung ada Cikudapateuh, nah kalau Tasik di Pertigaan Sukawarni. Pusatnya tukang sol sepatu,” kata Didin Kumis (64), salah seorang tukang sol, Rabu (17/9/2025).

Didin termasuk tukang sol senior, dia sudah menekuni usaha ini sejak awal 80-an. Menurut dia, keberadaan tukang sol di Pertigaan Sukawarni sudah ada sejak era tahun 60-an. Dulu selain sol sepatu, di sini juga melayani penjualan dan perbaikan pelana kuda dan kalung anjing atau domba adu.

“Dulu ramai, dok-dak (suara palu saat memperbaiki alas bawah sepatu). Tukang sol banyak, ada lebih dari 25 lapak. Penuh di kiri dan kanan jalan,” kata Didin.

Namun seiring perkembangan zaman, keberadaan tukang sol sepatu kini semakin berkurang. Tersisa tak lebih dari 10 orang saja. Setiap hari mereka melayani konsumen yang kian hari kian berkurang.

Perubahan pola hidup konsumtif dan banyaknya produk sepatu berharga murah, diyakini membuat masyarakat yang memperbaiki sepatu kian berkurang.

Selisih yang tak terlampau jauh, antara ongkos jasa perbaikan dan membeli baru, membuat ceruk bisnis tukang sol tergerus.

“Sekarang banyak kan sepatu baru harga seratus ribuan, ya walau pun kalau bicara kualitas tahu sendiri seperti apa. Tapi mungkin saja itu membuat orang yang ngesol jadi berkurang, terutama yang ganti sol bawah,” kata Ateng, tukang sol lain di kawasan itu.

Ateng mengaku, saat ini roda usahanya semakin lesu. Dapat 4 konsumen sehari, kini dianggap sudah luar biasa. Rata-rata sehari dapat 1 atau 2 konsumen.

Untuk jasa menjahit sepatu jebol, mereka memasang tarif di rentang Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu, tergantung tingkat kesulitan. Sementara untuk penggantian alas, tarifnya di rentang Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu.

“Memang lagi lesu, sekarang kita bertahan saja asal ada untuk makan dan jajan anak sudah Alhamdulillah. Kalau andalan kita sekarang adalah sepatu-sepatu olahraga, itu yang masih banyak orang ngesol,” kata Ateng.

Meski mengakui usaha sol sepatu sedang lesu, sebagai tukang sol senior Didin Kumis tetap menyatakan optimisme. Dia meyakini eksistensi tukang sol akan tetap bertahan, tidak akan musnah tergilas zaman.

“Kalau sampai hilang, menurut saya tidak. Kalau sekarang sepi iya, kita kan jasa. Orang masih banyak yang pakai sepatu-sepatu mahal, pasti butuh perbaikan,” kata Didin.

Didin tak menampik, jika diperbandingkan, antara kondisi usahanya kini dan di masa lalu, terdapat perbedaan yang signifikan.

Di era 80-an, Didin mengaku sehari bisa membawa pulang uang Rp 5.000 sementara harga perhiasan emas Rp 9.000 per gram. Jika dikonversikan dengan kondisi saat ini, sangat jauh berbeda.

“Kalau mau dibandingkan, misalnya sekarang harga emas Rp 1,5 juta, harusnya kita dapat Rp 750 ribuan sehari. Tapi kan kenyataannya tidak, sekarang bisa dapat Rp 200 atau 300 ribu saja, susah,” kata Didin.

Indikator lain yang menandakan usaha sol sepatu kian lesu adalah semakin berkurangnya tukang sol keliling. Penjaja jasa sol sepatu dengan langgam suaranya yang khas, kini relatif sulit dijumpai di perkampungan.

Setidaknya hal itu diakui Dadang Holis (47) warga Sirnagalih Kecamatan Indihiang, Tasikmalaya. “Iya sekarang jadi jarang tukang sol keliling, terakhir saya ngesol sepatu juga harus ke kota, ke Sukawarni,” kata Dadang.

Malby Abdul Rojak (33) warga Kecamatan Cihideung mengatakan bisnis jasa sol sepatu, sebenarnya merupakan model bisnis hijau alias green business. Eksistensi tukang sol yang memperpanjang usia pakai sepatu, bisa mengurangi produksi sampah yang sulit didaur ulang.

“Ini sebenarnya green business, ini hijau sekali. Jadi kontribusi tukang sol terhadap lingkungan itu besar sekali. Dia mencegah sepatu terbuang. Ini buktinya, sepatu bekas diperbaiki lalu dijual lagi,” kata Malby.

Dia sendiri sedang menjahit sepatu futsal miliknya yang mulai rusak. Usia pakai sepatu berkelir hijau dengan logo macan lompat itu, bisa diperpanjang berkat tangan terampil tukang sol.

“Kalau nggak ada tukang sol, ini sudah ada di tong sampah. Bertambahlah sampah yang sulit didaur ulang. Tapi dengan uang Rp 25 ribu, masih bisa dipakai lagi,” kata Malby.

Dia bahkan mendorong agar pemerintah memperhatikan eksistensi profesi informal yang satu ini. Caranya dengan memfasilitasi lapak usaha yang lebih layak atau diberi bantuan modal.

“Ya kan pemerintah bahkan dunia menggembor-gemborkan soal pola hidup ramah lingkungan, green life, green business dan sebagainya. Nah inilah usaha yang ramah lingkungan. Coba dong diperhatikan, dibuatkan lapak yang layak. Kalau kurang modal, bantu,” kata Malby.

Bisnis Hijau yang Diadang Konsumerisme

Indikator lain yang menandakan usaha sol sepatu kian lesu adalah semakin berkurangnya tukang sol keliling. Penjaja jasa sol sepatu dengan langgam suaranya yang khas, kini relatif sulit dijumpai di perkampungan.

Setidaknya hal itu diakui Dadang Holis (47) warga Sirnagalih Kecamatan Indihiang, Tasikmalaya. “Iya sekarang jadi jarang tukang sol keliling, terakhir saya ngesol sepatu juga harus ke kota, ke Sukawarni,” kata Dadang.

Malby Abdul Rojak (33) warga Kecamatan Cihideung mengatakan bisnis jasa sol sepatu, sebenarnya merupakan model bisnis hijau alias green business. Eksistensi tukang sol yang memperpanjang usia pakai sepatu, bisa mengurangi produksi sampah yang sulit didaur ulang.

“Ini sebenarnya green business, ini hijau sekali. Jadi kontribusi tukang sol terhadap lingkungan itu besar sekali. Dia mencegah sepatu terbuang. Ini buktinya, sepatu bekas diperbaiki lalu dijual lagi,” kata Malby.

Dia sendiri sedang menjahit sepatu futsal miliknya yang mulai rusak. Usia pakai sepatu berkelir hijau dengan logo macan lompat itu, bisa diperpanjang berkat tangan terampil tukang sol.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

“Kalau nggak ada tukang sol, ini sudah ada di tong sampah. Bertambahlah sampah yang sulit didaur ulang. Tapi dengan uang Rp 25 ribu, masih bisa dipakai lagi,” kata Malby.

Dia bahkan mendorong agar pemerintah memperhatikan eksistensi profesi informal yang satu ini. Caranya dengan memfasilitasi lapak usaha yang lebih layak atau diberi bantuan modal.

“Ya kan pemerintah bahkan dunia menggembor-gemborkan soal pola hidup ramah lingkungan, green life, green business dan sebagainya. Nah inilah usaha yang ramah lingkungan. Coba dong diperhatikan, dibuatkan lapak yang layak. Kalau kurang modal, bantu,” kata Malby.

Bisnis Hijau yang Diadang Konsumerisme