Sejumlah peristiwa terjadi di Jawa Barat (Jabar) hari ini, Kamis (30/10/2025). Mulai dari karyawan kampus di Bandung tewas usai melompat dari lantai 6 hingga buruh di Jabar menuntut kenaikan upah minimum.
Berikut rangkuman Jabar hari ini:
Rahmat Permana (49) warga Haurwangi, Kabupaten Bandung dilaporkan meninggal dunia. Korban diduga mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri dan melompat dari lantai enam di Kampus Widyatama, Kota Bandung.
Dari informasi yang diterima infoJabar, kejadian ini terjadi, Selasa (28/10) kemarin sekitar Pukul 20.00 WIB.
“Di halaman Gedung B Halaman Foodcourt Universitas Widyatama telah ditemukan seorang laki-laki meninggal dunia diduga bunuh diri,” kata Kasi Humas Polrestabes Bandung AKP Nurindah dalam keterangan yang diterima, Kamis (30/10/2025).
Indah sapaan karib Nurindah menyebut, kejadian ini sudah ditangani tim Inafis Satreskrim Polrestabes Bandung. Dalam kejadian ini, korban mengalami sejumlah luka.
“Selanjutnya dilakukan olah TKP oleh Unit Inafis Polrestabes Bandung dengan hasil korban diduga sementara bunuh diri dengan mengalami luka di bagian pinggul belakang, patah di bagian pinggul, lutut dan pergelangan kaki sebelah kiri, luka di bagian kening patah di bagian sikut sebelah kiri dagu, jidat dada sebelah kiri dan luka gores di perut,” jelasnya.
Kejadian ini dibenarkan Sekretaris Universitas Widyatama Marisa Astuti. Marisa mengatakan, korban bernama Rahmat Permana (49).
“Benar, memang ada kejadian tersebut, dua hari lalu, beliau itu adalah staf dari Biro Fasilitas bernama Rahmat Permana. Beliau juga sudah lama bekerja di kami kurang lebih 25 tahunan,” kata Marisa.
Marisa menyebut, lokasi kejadian ada di Gedung B Lantai 6. Korban dipastikan melompat dilihat dari CCTV yang ada di lokasi kejadian.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“CCTV ada dan kalau tidak salah sudah disampaikan ke pihak polisi. Semuanya yang diperlukan dan diminta oleh pihak polisi. Kami sudah sampaikan yang diperlukan. Sampai saksi-saksi juga sudah diwawancara oleh pihak polisi,” ungkapnya.
Beberapa wilayah di Kota Cirebon diwaspadai karena dinilai rawan banjir dan longsor saat musim hujan. Kecamatan Lemahwungkuk, Kecamatan Pekalipan, dan Kecamatan Harjamukti menjadi daerah yang disebut sering terdampak banjir, sementara Argasunya termasuk kawasan rawan longsor.
Menyikapi potensi bencana tersebut, Pemerintah Kota Cirebon menetapkan siaga bencana. Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Cirebon.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Cirebon, Andi, menjelaskan status siaga bencana berlaku mulai dari Oktober 2025 hingga Maret 2026.
“Pemerintah Kota Cirebon telah menetapkan SK Wali Kota terkait siaga bencana. Mulai Oktober sampai Maret 2026, kita sudah menetapkan siaga bencana,” kata Andi, Kamis (30/10/2025).
Andi memprediksi puncak musim hujan akan terjadi pada Desember 2025 hingga Januari 2026. Sejalan dengan itu, pihaknya telah memetakan wilayah-wilayah yang dinilai rawan bencana berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir, seperti banjir dan longsor.
“Kita berkaca pada tahun lalu, ada beberapa titik yang rawan banjir, seperti di wilayah Kecamatan Lemahwungkuk, Kecamatan Pekalipan, Kecamatan Harjamukti,” kata dia.
Untuk potensi longsor, Andi menyebut wilayah Argasunya sebagai kawasan yang perlu mendapat perhatian. “Beberapa tahun terakhir, banyak kejadian terkait tanah longsor yang terjadi di wilayah Argasunya,” tambahnya.
Dalam menghadapi potensi bencana, BPBD Kota Cirebon akan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk TNI, Polri, serta instansi lain yang berperan dalam penanganan bencana.
Di sisi lain, Andi juga mengimbau kepada masyarakat untuk ikut berperan dalam pencegahan banjir dengan tidak membuang sampah sembarangan.
“Kami selalu mengimbau kepada teman-teman untuk selalu mengingatkan masyarakat, apalagi masyarakat di wilayah yang rawan banjir, untuk selalu menjaga lingkungan, dengan membuang sampah pada tempatnya, dan selalu membersihkan saluran-saluran,” kata dia.
Fakta baru terungkap dalam kasus siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) berinisial AK (14) di Kabupaten Sukabumi yang meninggal dunia diduga karena mengakhiri hidupnya sendiri. Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sukabumi mengungkap bahwa korban sempat mengalami perselisihan dengan kakak kelasnya sebelum peristiwa tragis itu terjadi.
Kasubbag TU Kemenag Kabupaten Sukabumi, Agus Santosa mengatakan, hasil koordinasi bersama sejumlah instansi mengidentifikasi adanya komunikasi yang kurang baik antara korban dan kakak kelasnya. Namun, masalah tersebut disebut telah diselesaikan oleh pihak sekolah melalui guru Bimbingan Konseling (BK).
“Dari sisi surat wasiat, memang ada sedikit perselisihan antara siswa kelas VIII dan IX. Ada pernyataan dari almarhum, kemudian kakak kelas merasa tidak enak. Tapi permasalahan itu sudah diselesaikan oleh guru BK dan tidak sampai pada kekerasan fisik,” ujar Agus kepada wartawan usai mengadakan pertemuan dengan Forkopimda di kantor Kemenag Kabupaten Sukabumi, Kamis (30/10/2025).
Agus menjelaskan, pertemuan koordinasi yang digelar bersama Komisi IV DPRD Kabupaten Sukabumi juga melibatkan unsur Disdik, DP3A, Polres Sukabumi, dan pihak MTsN 3 Sukabumi. Forum tersebut menjadi wadah evaluasi bersama agar peristiwa serupa tidak terulang.
“Forum ini tidak mencari siapa yang salah dan benar, tapi menjadi evaluasi bersama agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Kita berkolaborasi dengan Forkopimda, DP3A, kepolisian, dan Komisi IV untuk langkah pencegahan dan edukasi terhadap bahasa-bahasa perundungan,” jelasnya.
Menurut Agus, perundungan atau ejekan di lingkungan sekolah sering kali dianggap hal lumrah oleh pelajar, padahal bisa berdampak besar pada psikologis anak.
“Ada bahasa-bahasa yang dikira komunikasi biasa, tapi sebenarnya bentuk perundungan verbal. Misalnya menyebut teman dengan kata yang tidak pantas, dianggap bercanda, padahal bisa menyakiti perasaan orang lain,” katanya.
Hujan yang mengguyur Kota Bandung tak menyurutkan langkah buruh dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) untuk berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kamis (30/10/2025) siang.
Dengan jas hujan seadanya dan bendera biru yang basah kuyup, mereka meneriakkan tuntutan agar pemerintah menghapus sistem outsourcing dan menaikkan upah minimum di Jawa Barat untuk tahun 2026.
Ketua DPD SPN Jawa Barat Dadan Sudiana menyatakan, aksi ini merupakan bentuk solidaritas demi memperjuangkan hak-hak buruh. Dadan mengatakan, ada empat tuntutan yang dibawa dalam aksi ini.
“Ini adalah aksi terkait tuntutan kita pertama hapus outsourcing dan tolak upah murah. Kedua, kenaikan upah minimum kabupaten kota di Jabar minimal 8,5 persen hingga 10,5 persen,” ucap Dadan saat diwawancarai.
“Ketiga, kita ingin UU Ketenagakerjaan sesuai amanah konstitusi segera disahkan tanpa omnibus law, dan di Jawa Barat dikeluarkan upah sektoral,” sambungnya.
Menurut Dadan, tuntutan kenaikan upah sebesar 8,5 hingga 10,5 persen adalah bentuk rasionalitas. Ia mengaitkannya dengan kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini tumbuh positif.
“Kita ingat kenaikan tahun lalu 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi kita tetap stabil, malah lebih bagus. Pertumbuhan ekonomi kita sekarang 5,12 persen, inflasi 2,6 persen, kalau ditotal 7,7 persen,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa terdapat indeks tertentu, yang dapat menjadi formula penghitungan kenaikan upah. Menurut Dadan, SPN menggunakan penghitungan indeks tertentu sebesar 1,4 persen, atau naik dari tahun sebelumnya sebesar 0,9 persen.
“Indeks tertentu ya kita mengacu 1,4 persen, tahun kemarin kan 0,9 persen. Hari ini dengan pertumbuhan ekonomi bagus, 1,4 adalah angka yang rasional,” jelasnya.
SPN juga menegaskan penolakan terhadap praktik outsourcing yang dianggap sebagai bentuk ketidakadilan modern. Bagi para buruh, sistem kerja kontrak tanpa jaminan kesejahteraan hanyalah rantai baru dari ketimpangan.
Dadan menyebut, aksi ini adalah permulaan. Mereka akan menunggu kebijakan pemerintah dalam penentuan besaran upah pada akhir November nanti. Jika tuntutan itu tidak digubris, Dadan memastikan aksi lebih besar akan kembali dilakukan.
“Kita berencana akan mogok nasional (jika tuntutan tidak dipenuhi). Upah minimum provinsi akan ditetapkan 25 November, kabupaten kota 30 November. Kalau setelah itu tidak dipenuhi, kita akan mogok nasional,” tandasnya.
Populasi hewan jenis Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) dan kucing hutan di Taman Wisata Alam (TWA) Cagar Alam Pananjung, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, kini mulai langka. Berdasarkan pemantauan pengelola, jumlah kedua satwa ini terus berkurang.
Kedua hewan tersebut kini jarang terlihat di permukaan. Namun, jika menjelajah hingga ke kawasan yang lebih dalam, pengelola masih dapat menemukan satu atau dua ekor.
Kepala Resor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pangandaran, Kusnadi, mengatakan hasil laporan survei bulanan menunjukkan Kukang Jawa dan kucing hutan menjadi dua satwa yang paling langka di kawasan tersebut.
“Itu yang paling langka. Sementara yang lain seperti rusa, lutung, landak, merak, dan elang Jawa yang memang asli sini, masih dalam tahap aman,” ujar Kusnadi kepada infoJabar belum lama ini.
Menurutnya, populasi kukang kini hampir punah. Berdasarkan data penyerahan dari masyarakat, hanya tersisa 17 ekor kukang dari dulu hingga sekarang.
“Padahal sebelumnya pernah ada puluhan,” katanya.
Kusnadi menjelaskan, Kukang Jawa biasanya ditemukan di area yang banyak ditumbuhi bambu. Dahulu, mereka banyak bersarang di kawasan Cikamal.
“Perkiraan kami dulu ada sekitar 60-70 ekor. Entah mereka keluar kawasan atau berpindah tempat, tapi habitatnya memang mulai berkurang,” ujarnya.
Sementara itu, populasi kucing hutan juga semakin jarang terlihat. “Kadang muncul di area basecamp, tapi tidak sempat kami foto karena cepat sekali menghilang,” katanya.
Dari sisi ketersediaan pakan, menurut Kusnadi, seharusnya tidak ada masalah. “Kecuali memang dimangsa atau karena kondisi ekosistemnya. Bisa saja yang tersisa hanya betina atau sebaliknya,” jelasnya.
Kusnadi menambahkan, sejak dulu jumlah kucing hutan di TWA memang tidak banyak dan hanya tinggal di area tertentu.
“Hasil survei terakhir menemukan dua ekor kucing hutan di cagar alam. Mudah-mudahan bisa berkembang biak lagi. Jenis kelaminnya belum diketahui karena pengamatannya harus dengan cara yang aman. Hewan itu cukup berbahaya,” ungkapnya.
Ukuran kucing hutan, kata Kusnadi, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kucing peliharaan biasa. “Ukurannya normal seperti kucing pada umumnya, hanya saja liar. Kadang orang mengira seperti macan,” tuturnya.
Ia memastikan praktik perburuan satwa di kawasan Cagar Alam saat ini sudah tidak ada lagi. “Perburuan saya pastikan sudah tidak ada,” tegasnya.
Namun, Kusnadi menyebut sebelum pelarangan permanen diberlakukan, praktik penangkapan kalong atau kelelawar dengan layangan masih sempat terjadi.
“Kami selalu patroli, dan sekarang praktik menangkap kalong pakai layangan sudah tidak ada lagi. Tapi di luar kawasan, masih sesekali terpantau,” katanya.
Menurutnya, populasi kalong banyak ditemukan di beberapa titik, baik di dalam kawasan cagar alam maupun di Pantai Barat Pangandaran.
“Jumlahnya tidak bisa dihitung pasti. Kalau ada masyarakat yang mengambil kalong sore hari pakai layangan, kami langsung dekati, karena kalau diambil terus bisa habis,” ujarnya.
Kusnadi menambahkan, kalong sering diburu untuk dijual atau dijadikan obat. “Pernah saat penangkapan, saya tanya, katanya kalong itu untuk obat, diambil ampedunya saja, untuk obat sesak napas,” tutupnya.
Karyawan Kampus Widyatama Tewas Usai Lompat dari Lantai 6 Kampus
Pemkot Cirebon Tetapkan Siaga Bencana
Eneng Sempat Berselisih dengan Kakak Kelas Sebelum Akhiri Hidup
Buruh Jabar Tuntut Kenaikan Upah dan Hapus Outsorsing
Populasi Kukang Jawa dan Kucing Hutan di Pangandaran Terancam Punah
Hujan yang mengguyur Kota Bandung tak menyurutkan langkah buruh dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) untuk berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kamis (30/10/2025) siang.
Dengan jas hujan seadanya dan bendera biru yang basah kuyup, mereka meneriakkan tuntutan agar pemerintah menghapus sistem outsourcing dan menaikkan upah minimum di Jawa Barat untuk tahun 2026.
Ketua DPD SPN Jawa Barat Dadan Sudiana menyatakan, aksi ini merupakan bentuk solidaritas demi memperjuangkan hak-hak buruh. Dadan mengatakan, ada empat tuntutan yang dibawa dalam aksi ini.
“Ini adalah aksi terkait tuntutan kita pertama hapus outsourcing dan tolak upah murah. Kedua, kenaikan upah minimum kabupaten kota di Jabar minimal 8,5 persen hingga 10,5 persen,” ucap Dadan saat diwawancarai.
“Ketiga, kita ingin UU Ketenagakerjaan sesuai amanah konstitusi segera disahkan tanpa omnibus law, dan di Jawa Barat dikeluarkan upah sektoral,” sambungnya.
Menurut Dadan, tuntutan kenaikan upah sebesar 8,5 hingga 10,5 persen adalah bentuk rasionalitas. Ia mengaitkannya dengan kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini tumbuh positif.
“Kita ingat kenaikan tahun lalu 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi kita tetap stabil, malah lebih bagus. Pertumbuhan ekonomi kita sekarang 5,12 persen, inflasi 2,6 persen, kalau ditotal 7,7 persen,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa terdapat indeks tertentu, yang dapat menjadi formula penghitungan kenaikan upah. Menurut Dadan, SPN menggunakan penghitungan indeks tertentu sebesar 1,4 persen, atau naik dari tahun sebelumnya sebesar 0,9 persen.
“Indeks tertentu ya kita mengacu 1,4 persen, tahun kemarin kan 0,9 persen. Hari ini dengan pertumbuhan ekonomi bagus, 1,4 adalah angka yang rasional,” jelasnya.
SPN juga menegaskan penolakan terhadap praktik outsourcing yang dianggap sebagai bentuk ketidakadilan modern. Bagi para buruh, sistem kerja kontrak tanpa jaminan kesejahteraan hanyalah rantai baru dari ketimpangan.
Dadan menyebut, aksi ini adalah permulaan. Mereka akan menunggu kebijakan pemerintah dalam penentuan besaran upah pada akhir November nanti. Jika tuntutan itu tidak digubris, Dadan memastikan aksi lebih besar akan kembali dilakukan.
“Kita berencana akan mogok nasional (jika tuntutan tidak dipenuhi). Upah minimum provinsi akan ditetapkan 25 November, kabupaten kota 30 November. Kalau setelah itu tidak dipenuhi, kita akan mogok nasional,” tandasnya.
Populasi hewan jenis Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) dan kucing hutan di Taman Wisata Alam (TWA) Cagar Alam Pananjung, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, kini mulai langka. Berdasarkan pemantauan pengelola, jumlah kedua satwa ini terus berkurang.
Kedua hewan tersebut kini jarang terlihat di permukaan. Namun, jika menjelajah hingga ke kawasan yang lebih dalam, pengelola masih dapat menemukan satu atau dua ekor.
Kepala Resor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pangandaran, Kusnadi, mengatakan hasil laporan survei bulanan menunjukkan Kukang Jawa dan kucing hutan menjadi dua satwa yang paling langka di kawasan tersebut.
“Itu yang paling langka. Sementara yang lain seperti rusa, lutung, landak, merak, dan elang Jawa yang memang asli sini, masih dalam tahap aman,” ujar Kusnadi kepada infoJabar belum lama ini.
Menurutnya, populasi kukang kini hampir punah. Berdasarkan data penyerahan dari masyarakat, hanya tersisa 17 ekor kukang dari dulu hingga sekarang.
“Padahal sebelumnya pernah ada puluhan,” katanya.
Kusnadi menjelaskan, Kukang Jawa biasanya ditemukan di area yang banyak ditumbuhi bambu. Dahulu, mereka banyak bersarang di kawasan Cikamal.
“Perkiraan kami dulu ada sekitar 60-70 ekor. Entah mereka keluar kawasan atau berpindah tempat, tapi habitatnya memang mulai berkurang,” ujarnya.
Sementara itu, populasi kucing hutan juga semakin jarang terlihat. “Kadang muncul di area basecamp, tapi tidak sempat kami foto karena cepat sekali menghilang,” katanya.
Dari sisi ketersediaan pakan, menurut Kusnadi, seharusnya tidak ada masalah. “Kecuali memang dimangsa atau karena kondisi ekosistemnya. Bisa saja yang tersisa hanya betina atau sebaliknya,” jelasnya.
Kusnadi menambahkan, sejak dulu jumlah kucing hutan di TWA memang tidak banyak dan hanya tinggal di area tertentu.
“Hasil survei terakhir menemukan dua ekor kucing hutan di cagar alam. Mudah-mudahan bisa berkembang biak lagi. Jenis kelaminnya belum diketahui karena pengamatannya harus dengan cara yang aman. Hewan itu cukup berbahaya,” ungkapnya.
Ukuran kucing hutan, kata Kusnadi, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kucing peliharaan biasa. “Ukurannya normal seperti kucing pada umumnya, hanya saja liar. Kadang orang mengira seperti macan,” tuturnya.
Ia memastikan praktik perburuan satwa di kawasan Cagar Alam saat ini sudah tidak ada lagi. “Perburuan saya pastikan sudah tidak ada,” tegasnya.
Namun, Kusnadi menyebut sebelum pelarangan permanen diberlakukan, praktik penangkapan kalong atau kelelawar dengan layangan masih sempat terjadi.
“Kami selalu patroli, dan sekarang praktik menangkap kalong pakai layangan sudah tidak ada lagi. Tapi di luar kawasan, masih sesekali terpantau,” katanya.
Menurutnya, populasi kalong banyak ditemukan di beberapa titik, baik di dalam kawasan cagar alam maupun di Pantai Barat Pangandaran.
“Jumlahnya tidak bisa dihitung pasti. Kalau ada masyarakat yang mengambil kalong sore hari pakai layangan, kami langsung dekati, karena kalau diambil terus bisa habis,” ujarnya.
Kusnadi menambahkan, kalong sering diburu untuk dijual atau dijadikan obat. “Pernah saat penangkapan, saya tanya, katanya kalong itu untuk obat, diambil ampedunya saja, untuk obat sesak napas,” tutupnya.
