Meski dianggap keramat di Kuningan, namun Ikan Dewa ternyata masih bisa diternakkan. Salah satu peternak yang mengembangkan ikan Dewa ada di Desa Pasawahan, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Di sana ikan Dewa dikembangkan dengan nama Ikan Dewa H Sopyan.
Ikan dewa tersebut dikembangbiakkan dalam sebuah kolam yang dikelilingi pipa saluran air yang berasal dari mata air Gunung Ciremai. Di dalam kolam, terlihat puluhan ikan Dewa berwarna hitam pudar berenang ke sana kemari.
Anak H Supyan, Noval memaparkan, bahwa ayahnya sudah mengembangkan ikan Dewa sejak enam tahun lalu. Menurutnya, ikan Dewa yang dikembangkan H Supyan dan dirinya bukan berasal dari Ikan Dewa yang ada di balong keramat yang ada di Kuningan.
“Kebetulan kalau saya itu bibit dan lain sebagainya itu bukan berasal dari tempat keramat atau tempat yang disakralkan seperti di Cibulan atau Cigugur. Kami untuk induknya ngambil dari luar Kuningan,” tutur Noval belum lama ini.
Kala itu, Ikan Dewa merupakan komoditas yang menjanjikan sehingga ada dorongan untuk mengembangkan ikan Dewa di Kuningan.
“Melihat potensi tawaran kerjasama mengenai Ikan Dewa untuk ekspor. Karena di luar negeri itu Ikan Dewa sudah menjadi makanan yang prestise atau makanan yang memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Akhirnya dari Litbang Bogor itu mengajak kerjasama para petani ikan yang ada di desa,” tutur Noval.
Sebagai ikan air pegunungan, membudidayakan ikan Dewa bukan merupakan hal yang mudah. Dalam merawat ikan dewa, kondisi air harus stabil baik dari segi sirkulasi, arus maupun suhu airnya. Menurut Noval, diperlukan ketekunan dan kesabaran dalam merawat ikan Dewa.
“Susah, karena memelihara Ikan Dewa itu, air harus stabil pH-nya, sirkulasi harus jalan terus, lebih baik pakenya air gunung yang pH nya tinggi. Apalagi ikan itu habitatnya di aliran sungai yang deras,” tutur Noval.
Selain itu juga, membutuhkan waktu lama agar ikan Dewa bisa dikembangbiakkan atau dipanen. Karena perkembangan yang lambat juga, membuat ikan Dewa bisa hidup selama puluhan bahkan ratusan tahun.
“Kemudian yang paling sulit itu perkembangannya. Dari bibit ukuran 5 cm sampai 15 cm itu bisa membutuhkan waktu 3 tahun dan itu belum bisa dipanen. Kalau 40 sampai 60 cm itu bisa 6 tahun. Contoh saja ikan yang ada di kolam keramat saja itu usianya bisa ratusan tahun, tapi ukurannya segitu-segitu saja,” tutur Noval.
Meskipun awalnya direncanakan untuk dipasarkan sebagai ikan konsumsi. Namun, seiring berjalanya waktu, Ikan Dewa yang dikembangkan Noval dan ayahnya, kebanyakan diperuntukkan sebagai ikan hias. Untuk satu kilogram Ikan Dewa, Noval jual dengan harga sekitar Rp 700.000 sampai Rp 850.000.
“Sebetulnya kalau lihat potensi ada saja. Apalagi di sini, pasar lokal mulai ramai, kayak untuk hiasan, sekarang mulai naik. Meskipun pas waktu awal segmennya expor, tapi sekarang potensinya di hias,” tutur Noval.
Karena kesulitan dalam mengembangbiakkan nya, ditambah dengan adanya mitos yang masih melekat tentang ikan Dewa. Noval tidak bisa memastikan berapa keuntungan yang diperoleh dalam setahun dari beternak ikan Dewa.
“Kalau panen tuh nggak menentu, kan waktunya panjang. Paling kalau ada permintaan saja. Misal 10 kilo atau 20 kilo, baru kita ambil. Jadi sistemnya nggak kita penen terus kita jual, masih tergantung permintaan,” tutur Noval.
Noval juga memaparkan, ke depan, ada beberapa tantangan yang harus diatasi agar ikan dewa semakin berkembang salah satunya adalah pola pikir dari masyarakat tentang ikan Dewa. Selain itu juga, Noval berharap, agar pemerintah bisa memberikan fasilitas dalam proses pengembangbiakan dan pemasarannya.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Untuk mindset masyarakatnya sendiri terkait mitos ikan Dewa. Ada anggapan kalau ikan dewa dibudidayakan nanti merusak, tidak endemik lagi. Padahal dengan kita membudidayakan ikan nantinya kan tidak punah, justru kalau dibiarkan akan punah. Dengan dibudidayakan juga kita bisa memberikan nilai ekonomi untuk warga desa,” pungkas Noval.