Catatan Pinggir di Balik Warna-warni Lembur Katumbiri Bandung

Posted on

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan meresmikan kawasan Lembur Katumbiri yang berada di Jalan Siliwangi, RT 03 RW 12 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Pemukiman dengan rumah berwarna-warni ini berdiri di lereng Sungai Cikapundung.

Di balik keindahan permukiman yang berwarna-warni, Aktivis Lingkungan Sungai Cikapundung Aqil Syahbana meminta kepada Pemkot Bandung tak hanya membenahi permukiman warga, melainkan juga harus membenahi aliran Sungai Cikapundung.

“Karena dengan reaktivasi kampung Pelangi rebranding jadi Lembur Katumbiri di satu sisi jadi daya tarik yang terkini, ditambah dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi warga sekitar terutama warga Tjibarani dan Lembur Katumbiri itu,” kata Mang Aqil sapaan karib Aqil Syahbana kepada infoJabar, Kamis (8/5/2025).

Ketika berbicara ekonomi yang mengorbankan lingkungan, Mang Aqil menyebut, itu kurang etis dan jika diibaratkan masih jauh panggang dari api ketika lingkungan itu harus dicapai, sementara sisi lain dengan mengaktivasi Lembur Katumbiri yang didandani dengan beragam warna cat, ada yang luput dari perhatian pemerintah Kota Bandung, secara tidak langsung abai terhadap Sungai Cikapundung.

“Kenapa? Seolah-olah melegitimasi warga bantaran untuk buang air ke sungai, karena mayoritas warga di sepanjang bantaran baik Kampung Pelangi atau kampung Tjibarani masih banyak buang air sembarangan, meskipun tidak jongkok langsung di pinggir sungai atau di atas batu seperti zaman dulu, ini pembiaran ketika pemerintah mendahulukan kosmetik, sisi estetika, sementara sisi etik masih kurang,” ungkapnya.

Penanganan dan memulaikan sungai dari pemerintah masih kurang. Menurutnya, infrastruktur itu harus didahulukan di samping daya tarik dan di satu sisi lain menurutnya wisata kampung kota cenderung menjadi ajang bagi pengunjung baik kelas menengah dan atas untuk mempertontonkan kekumuhan, hal ini harus menjadi perhatian pemerintah kota karena abai dengan perencanaaan dan tata ruang, karena menrutu regulasi bantaran harus terbebas dari pembangunan.

“Bagimana juga mitigasi bencana, amit-amit misalnya terjadiu bencana karena gempa atai kebakaran sejauh mana ketahanan masyarakat di Lembur Katumbiri dan itu harus dipikirkan pemerintah wisata yang mempertontonkan permukiman yang padat dan tidak sesuai etika lingkungan akan menambah beban yang panjang dan PR yang berat di masa mendatang,” jelasnya.

“Kami melihat mempertontonkan kemiskinan meskipun didandani, melanggar hak asasi manusia,” tambahnya.

Pihaknya berharap dalam program pembangunan baik jangka pendek dan panjang harus berkesinambungan dengan pemerintah sebelumnya dan pemerintah yang akan datang.

“Kami berharap pemerintah tidak hanya sekedar mendahulukan hal estetis tapi harus mengedepankan hal yang lebih subtansial dan krusial. Fasilitas yang mendukung agar sungai ini dimuliakan antara lain pembangunan septic tank komunal,” ujarnya.

Tak hanya warga Lembur Katumbiri dan Tjibarani, seluruh permukiman yang ada di sepanjang aliran Sungai Cikapundung harus disedikan septic tank komunal.

“Tidak bisa dibenarkan mengokupansi bantaran sungai, apalagi dengan kontur yang sangat curam, ketika sudah terlanjur padat seperti ini pembangunan septic tank akan sangat menyulitkan. daripada meluas setiap bantaran ikut-ikutan untuk membangun rumah semacam di Kampung Pelangi, sebelum jauh lebih panjang dan berat lagi harapan pemerintah harus memonitor bagaimana masyarakat berkontribusi terhadap kerusakan Sungai Cikapundung,” jelasnya.

Mang Aqil juga menuturkan jika sumber air yang ada di aliran Sungai Cikapundung kondisinya mengkhawatrirkan dan sudah tercemar.

“Dan juga sumber mata air di kawasan bantaran Sungai Cikapundung di segmen tengah di wilayah perkotaan sudah banyak yang tercemar oleh limbah sungai itu sendiri, seperti terjadi di kawasan sekitar aliran Cikapundung Kolot, sekitar Kiaracondong dan Gumuruh, warga masyarakat di sana mengeluhkan air sumurnya itu sudah berwarna dan juga sudah tidak berkualitas, artinya sudah berpolutan, itu terjadi sejak lama dan meluas,” terangnya.

“Pemerintah harus menertibkan ketika sudah mengokupansi bantaran sungai, kemudian diperhatikan juga bahwa ada faktor resiko yang berat ketika masyarakat harus menghuni di lereng yang curam, itu langkah yang harus dipikirkan dulu oleh pemerintah, langkah itu dulu perlu diprioritaskan, karena dari regulasi sudah lengkap tinggal tindaklanjut saja,” tambahnya.

Menurutnya, pariwisata juga menyumbang kontribusi cukup besar untuk kerusakan lingkungan, apalagi over tourism, ketika viral, pengunjung datang karena viral kemudian datang sementara pengunjung tidak paham prinsip di mana bumi dipijak langit dijunjung.

“Mereka datang bisa jadi meninggalkan sampah, jadi yang terdampak warga sekitar yang dipaksa atau terpaksa dititipkan sampah yang dibawa mereka, sementara persoalan sampah di tempat tersebut kewalahan dan belum terselesaikan,” paparnya.

Hadirnya pariwisata ada dampak menggeser sampah di pusat kota masuk ke kampung dan itu jadi tugas yang tidak kalah pelik ketika persoalan sampah di Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap dan Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong penanganan sampahnya masih belum optimal.

“Kami menyarankan Pemerintah Kota dan SKPD nya, terutama DLH dan Dinas Pariwsiata agar pengunjung yang mengunjungi kawasan ini itu diimbau dan diwajibkan untuk membawa keluar sampahnya masing-masing,” pungkasnya.

Harus Dibangun Septic Tank Komunal

Sumber Air Tercemar

Wisata Bisa Datangkan Sampah Baru