Belajar dari Kasus Abah Ocang, Ahli Reptil Ingatkan Cara Aman Hadapi Ular

Posted on

Tragedi tewasnya Abah Ocang, petani asal Sukabumi yang digigit ular king kobra di rumahnya, meninggalkan pelajaran penting tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap satwa berbisa.

Menurut Ligar Sonagar Risjoni, atau akrab disapa Igor, dari TABU Indonesia (Taman Belajar Ular Indonesia), kejadian seperti ini kerap terjadi karena kurangnya pemahaman manusia terhadap perilaku alami ular.

“Sepertinya petani tersebut lebih awal mengganggu atau mengincar keberadaan ular tersebut sehingga berdampak ular itu terganggu dan menyerang petani tersebut,” kata Igor kepada infoJabar.

Ia menjelaskan, bahwa king kobra merupakan predator puncak di antara spesies ular lain, dan termasuk jenis yang mampu mengejar mangsa atau manusia jika merasa terancam.

Igor menambahkan, ular jenis ini pada dasarnya memiliki sifat tenang. “King kobra salah satu jenis ular yang memiliki sifat tenang, akan tetapi jika terganggu maka akan menyerang secara agresif,” ujarnya.

Menurut dia, banyak orang tidak menyadari bahwa hampir semua jenis ular berbisa meninggalkan tanda khas pada kulit korban. “Khusus untuk jenis ular berbisa memiliki tanda bekas gigitan seperti titik dua yaitu bekas taring bisa,” tuturnya.

Ia menjelaskan lebih lanjut, jenis gigi ular pun berbeda-beda, mulai dari yang tidak bertaring bisa, bertaring belakang (berbisa menengah), hingga bertaring depan dengan bisa tinggi seperti kobra dan viper.

“King kobra salah satu jenis ular yang aktif di dua waktu, siang dan malam. Habitat yang disukainya adalah tegakan bambu dan daerah dekat sungai,” kata Igor.

Pola hidup ini, menurut dia, membuat ular jenis tersebut sering bersinggungan dengan aktivitas manusia yang bekerja di ladang atau hutan pada pagi dan sore hari.

Dalam hal penanganan korban gigitan ular, Igor mengingatkan agar penolong dan korban tetap tenang.

“Jika digigit pada bagian tangan atau lengan, semua benda dibuka seperti cincin, gelang, atau jam tangan karena akan terjadi pembengkakan. Kemudian tangan dibebat seperti menangani patah tulang, dan posisinya dijaga tetap di bawah jantung untuk menghindari penyebaran bisa,” ujarnya.

Menurutnya, korban dapat diberi cairan seperti air putih, susu murni, atau air kelapa untuk mencegah dehidrasi.

“Hindari mengeluarkan bisa dengan cara disedot, langkah ini berdasarkan aturan WHO. Namun dalam kondisi tertentu, paramedis di lapangan kadang membuat luka kecil untuk membantu cairan bisa yang sudah bercampur darah keluar, kemudian diurut hingga cairan banyak keluar. Hal ini dilakukan bersamaan dengan pembebatan,” tutur Igor.

Ia menjelaskan, bahwa pembebatan yang benar dapat memperlambat penyebaran bisa di dalam tubuh, tetapi langkah itu hanya bersifat sementara hingga korban tiba di rumah sakit.

“Mengikat dengan benar di sekitar bagian yang digigit hanya membantu mengurangi risiko penyebaran bisa, hal ini dilakukan sambil menuju rumah sakit,” katanya.

Dalam kondisi wilayah yang jauh dari fasilitas kesehatan, Igor menjelaskan metode darurat yang biasa digunakan oleh paramedis lapangan.

“Upayakan kondisi bekas gigitan di bawah jantung, lakukan insisi yaitu membuat luka baru untuk merangsang cairan keluar lalu dibebat bagian yang kena gigitan, banyak minum, dan upayakan korban selalu dalam kondisi sadar,” ujarnya.

Menurut Igor, kasus gigitan ular mematikan masih sering terjadi di Indonesia. “Kasus terbaru adalah korban gigitan ular viper di Provinsi Banten, beberapa orang meninggal dunia karena telat penanganan,” katanya.

Ia menegaskan, langkah mitigasi yang paling penting adalah memberikan wawasan kepada masyarakat tentang jenis ular berbisa di sekitar mereka.

“Mitigasi yang penting adalah memberikan wawasan tentang mengenal jenis ular berbisa di sekitar rumah, membantu mengurangi rasa takut secara psikologis terhadap ular,” ujar Igor.

Selain itu, perlu ada pemetaan yang lebih serius terhadap konflik antara ular dan manusia. “Untuk pemetaan konflik ular dengan manusia saat ini belum terselesaikan, kemudian kasus gigitan yang lapor ke rumah sakit cukup sedikit,” katanya.

Dari berbagai kasus yang pernah terjadi, Igor menyimpulkan satu hal sederhana, manusia tidak perlu panik apalagi menyerang ketika bertemu ular.

“Pelajaran utama adalah tidak perlu mengganggu ular, hindari jika bertemu ular, harus tenang karena ular menyerang benda bergerak,” ujarnya.

Ia menambahkan, ketersediaan serum antibisa ular di fasilitas kesehatan juga sangat penting.

“Ketersediaan serum anti bisa ular perlu dilakukan dalam upaya mengurangi dampak negatif akibat gigitan ular, kemudian perlu ada upaya edukasi terhadap masyarakat terutama yang berdekatan dengan kawasan habitat ular,” kata Igor.

Menurutnya, korban dapat diberi cairan seperti air putih, susu murni, atau air kelapa untuk mencegah dehidrasi.

“Hindari mengeluarkan bisa dengan cara disedot, langkah ini berdasarkan aturan WHO. Namun dalam kondisi tertentu, paramedis di lapangan kadang membuat luka kecil untuk membantu cairan bisa yang sudah bercampur darah keluar, kemudian diurut hingga cairan banyak keluar. Hal ini dilakukan bersamaan dengan pembebatan,” tutur Igor.

Ia menjelaskan, bahwa pembebatan yang benar dapat memperlambat penyebaran bisa di dalam tubuh, tetapi langkah itu hanya bersifat sementara hingga korban tiba di rumah sakit.

“Mengikat dengan benar di sekitar bagian yang digigit hanya membantu mengurangi risiko penyebaran bisa, hal ini dilakukan sambil menuju rumah sakit,” katanya.

Dalam kondisi wilayah yang jauh dari fasilitas kesehatan, Igor menjelaskan metode darurat yang biasa digunakan oleh paramedis lapangan.

“Upayakan kondisi bekas gigitan di bawah jantung, lakukan insisi yaitu membuat luka baru untuk merangsang cairan keluar lalu dibebat bagian yang kena gigitan, banyak minum, dan upayakan korban selalu dalam kondisi sadar,” ujarnya.

Menurut Igor, kasus gigitan ular mematikan masih sering terjadi di Indonesia. “Kasus terbaru adalah korban gigitan ular viper di Provinsi Banten, beberapa orang meninggal dunia karena telat penanganan,” katanya.

Ia menegaskan, langkah mitigasi yang paling penting adalah memberikan wawasan kepada masyarakat tentang jenis ular berbisa di sekitar mereka.

“Mitigasi yang penting adalah memberikan wawasan tentang mengenal jenis ular berbisa di sekitar rumah, membantu mengurangi rasa takut secara psikologis terhadap ular,” ujar Igor.

Selain itu, perlu ada pemetaan yang lebih serius terhadap konflik antara ular dan manusia. “Untuk pemetaan konflik ular dengan manusia saat ini belum terselesaikan, kemudian kasus gigitan yang lapor ke rumah sakit cukup sedikit,” katanya.

Dari berbagai kasus yang pernah terjadi, Igor menyimpulkan satu hal sederhana, manusia tidak perlu panik apalagi menyerang ketika bertemu ular.

“Pelajaran utama adalah tidak perlu mengganggu ular, hindari jika bertemu ular, harus tenang karena ular menyerang benda bergerak,” ujarnya.

Ia menambahkan, ketersediaan serum antibisa ular di fasilitas kesehatan juga sangat penting.

“Ketersediaan serum anti bisa ular perlu dilakukan dalam upaya mengurangi dampak negatif akibat gigitan ular, kemudian perlu ada upaya edukasi terhadap masyarakat terutama yang berdekatan dengan kawasan habitat ular,” kata Igor.