Balada Kebijakan Rombel 50 Siswa di SMA Negeri Sukabumi | Info Giok4D

Posted on

Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menetapkan jumlah rombongan belajar (rombel) menjadi 50 siswa per kelas mulai diterapkan di sejumlah SMA/SMK di Sukabumi. Namun, program ini memunculkan tantangan tersendiri bagi para siswa dan guru di ruang kelas.

Salah satunya dirasakan Gina, siswi kelas X F di SMA Negeri 3 Sukabumi. Ia mengaku cukup kewalahan dengan suasana kelas yang cenderung gaduh karena jumlah siswa yang padat dalam satu ruangan.

“Ya kendalanya berisik aja, karena 50 orang itu banyak kan. Suka dibilang jangan berisik, jangan berisik, tapi tetep aja ribut. Sampai kadang dimarahin guru juga,” kata Gina saat ditemui infoJabar usai jam pelajaran, Jumat (25/7/2025).

Meski begitu, ia menilai kondisi udara di kelasnya tidak terlalu pengap. “Ventilasinya lumayan banyak sih, jadi nggak terlalu sesak,” tambahnya.

Namun Gina berharap ada peningkatan fasilitas penunjang belajar. Ia menyebut beberapa kursi dan meja sudah mulai rusak dan kurang nyaman digunakan untuk belajar sehari-hari.

“Pengennya sih kursi meja diperbaiki. Kalau ruang kelasnya lumayan cukup. Tapi AC juga butuh banget, soalnya kalau siang ya tetap gerah,” ujarnya.

Sementara itu, Humas sekaligus guru SMAN 3 Kota Sukabumi, Asep Rahmat Kurniawan mengatakan, aturan penambahan rombel yang tertuang dalam Kepgub nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Penanggulangan Anak Putus Sekolah (PAPS) ini dinilai terlalu mendadak.

Di tingkat siswa baru, SMAN 3 memiliki jumlah rombongan belajar atau kelas sebanyak 12. Pada umumnya tiap kelas berisi 36 siswa. Kemudian, pada tahap kedua penerimaan siswa baru, kebijakan ini pun diluncurkan.

“Menjelang tahap kedua, tiba-tiba saja ada aturan PAPS. Tiba-tiba plak aja dikasih. Intinya ini dalam rangka mengakomodir atau mengantisipasi anak putus sekolah tetapi data yang tidak lolos di tahap seleksi ini masih tersimpan dan masuk ke data PIPS. Padahal tidak semua yang tidak lolos itu masuk kriteria PAPS,” kata Asep.

Adapun kriteria siswa yang masuk dalam program PAPS ini di antaranya murid dari keluarga ekonomi tidak mampu, murid dari panti asuhan yang terdaftar pada dinas sosial, murid yang terdampak bencana alam dan murid Bina Lingkungan Sosial Budaya.

Singkat cerita, pihak sekolah mampu memenuhi kuota 50 orang untuk 12 kelas. Namun dalam perjalanannya, beberapa siswa mengundurkan diri dan memilih untuk pindah ke sekolah lain.

Pembelajaran pertama dengan suasana rombel 50 siswa pun sudah dimulai pada Senin (21/7) lalu. Selama lima hari ini, baik guru dan siswa harus menjalani adaptasi baru. Guru pun dituntut untuk tetap dapat memberikan metode pembelajaran yang efektif.

“Kalau kami akan mengefektifkan, tapi di siswa nggak efektif. Kenapa? Lihat dari sisi kesehatan, jumlah 50 kondisi sekarang ini, desakan, berebut, oksigen, kalau mau cerita tentang kesehatan. Kemudian kedua, yang masuk ke sekolah, ke kelas itu tidak semuanya punya motivasi yang sama, ada yang main game, tenaga kita juga terbatas,” ungkapnya.

Di sisi lain, bantuan AC atau pendingin ruangan pun dapat menambah beban pengeluaran baru bagi sekolah. Dia berharap, kebijakan ini dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

“Kebijakannya seperti itu ya kita ikuti, tapi mudah-mudahan ada solusi dan evaluasi ke depannya,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *