Keputusan Pemprov Jawa Barat (Jabar) untuk menghentikan sementara pemberian izin pembangunan perumahan di Bandung Raya kini tidak bisa diganggu gugat. Selain penghentian penerbitan izin baru, izin yang telah terbit juga bakal dievaluasi secara menyeluruh.
Tadinya, berdasarkan Surat Edaran Nomor: 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM yang diteken langsung Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tertanggal 6 Desember 2025 menyatakan bahwa penghentian pemberian izin sementara pembangunan perumahan berlaku sampai adanya hasil kajian risiko bencana dari masing-masing kabupaten/kota. Namun kemudian, aturan itu makin diperketat termasuk dengan izin-izin pembangunan yang telah diberikan.
Pemprov Jabar ingin wilayah Bandung Raya siaga menghadapi potensi bencana. Alhasil, pemberian izin pembangunan perumahan pun kini sedang dievaluasi total untuk memetakan kembali soal fungsi tata ruang.
“Pak Gubernur sudah menerbitkan surat edaran tentang pengendalian pembangunan gedung dan permukiman, intinya, walaupun sudah keluar izin mohon dievaluasi oleh kabupaten kota,” kata Sekda Jabar Herman Suryatman, Selasa (9/12/2025).
Ia tidak memungkiri jika alih fungsi lahan menjadi salah satu faktor penyebab bencana, seperti banjir dan tanah longsor di Kabupaten Bandung beberapa hari lalu. Karena itu, Herman menegaskan, pemerintah perlu mengevaluasi seluruh izin yang berkaitan dengan tata ruang.
“Kalau tidak sesuai tentu sudah jelas itu harus dilarang, tidak boleh ada pembangunan, yang sudah keluar izinnya pun mohon untuk dievaluasi, kendalikan pembangunan, perhatikan keberlanjutan, perhatikan lingkungan jangan sampai kita menyesal,” tegasnya.
“Fakta lapangan sekarang menunjukkan, salah satunya ya, selain curah hujan yang tinggi pemantik bencana banjir dan longsor adalah ahli fungsi lahan,” sambungnya.
Kepada pengembang, Herman meminta, mereka untuk mengerti dengan langkah yang diambil pemerintah terkait penghentian sementara penerbitan izin perumahan. Menurutnya tujuan utama pemerintah mengeluarkan kebijakan ini demi kepentingan mitigasi bencana.
“Jangan lupa keselamatan rakyat di atas segala-galanya. Apalagi situasinya sekarang musim penghujan yang sangat tinggi, kemungkinan sampai Februari (2026),” ungkapnya.
Di sisi lain, Herman menjelaskan, kelanjutan pembangunan rumah subsidi yang jadi salah satu program prioritas pemerintah pusat. Dia memastikan, program itu akan tetap berjalan dengan mempedomani kaidah lingkungan.
“Jadi semuanya harus berjalan, tapi tetap dalam koridor kaidah lingkungan, harus menjamin keselamatan masyarakat. Ya harus bijaklah,” jelasnya.
“Atensi utama di Bandung Raya untuk evaluasi pengendalian pembangunan gedung dan permukiman, karena tadi pertumbuhan pembangunan jangan sampai mengorbankan keselamatan masyarakat,” tutup Herman.
Kebijakan ini tak ayal mendapatkan sorotan dari pihak pengembang. Ketua DPD REI Jabar Norman Nurdjaman menyatakan keputusan tersebut membuat para pengembang terkejut dan menimbulkan kegelisahan di industri properti.
“Kita cukup terkejut dengan berita itu. Mungkin ini berkaitan dengan masalah bencana alam, tapi kan harus melihat dong ini apa, bencana di Sumatera ini apa penyebabnya. Jangan gara-gara bencana alam terus serta-merta semua perizinan dicabut,” ujarnya saat dihubungi infoJabar, Selasa (9/12/2025).
Norman mempertanyakan alasan kebijakan tersebut hanya berlaku untuk Bandung Raya. Menurutnya, sejumlah wilayah lain di Jawa Barat seperti Garut, Bogor, dan Sukabumi memiliki karakter tanah dan kondisi alam yang serupa. “Kenapa hanya Bandung Raya? Bandung Raya kalau kayak Cimahi itu kan aman ya, Kota Bandung juga mungkin aman, kecuali Bandung Barat mungkin,” katanya.
Norman menyayangkan keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang kembali menghentikan izin aktivitas pembangunan setelah sebelumnya memutuskan moratorium tambang. Ia menilai kedua kebijakan itu menekan ekosistem industri konstruksi dan properti. “Gubernur ini 4 bulan yang lalu moratorium juga izin-izin tambang. Akibatnya seluruh pembangunan baik perumahan maupun di luar perumahan itu semuanya terhambat,” ucapnya.
“Kita kan butuh tambang itu dari mulai tanah untuk urugan, pasir, batu dan lain-lain. Itu repot banget sekarang ini,” sambungnya.
Ia menambahkan, efek domino dari kebijakan ini sangat besar karena industri perumahan memiliki keterkaitan dengan ratusan sektor usaha lainnya. “Ini dampaknya kan kalau industri perumahan ini kan punya 187 multiplayer efek ke industri lain. Dari mulai batu, bata, genteng, kusen, aluminium, besi, sampai mebel dan elektronik,” ucap Norman.
Menurut Norman, kebijakan mendadak ini menimbulkan kepanikan di kalangan pengembang yang tengah mengajukan izin atau sudah terlanjur menginvestasikan modal.
“Cukup ramai lah. Banyak yang lagi ngajuin izin yang masih sepotong tiba-tiba kan harus dihentikan, padahal dia sudah investasi. Sebagian uangnya dapat kredit dari bank yang bank enggak mau tahu, ini cicilan, bunga, pokok harus dibayar,” jelasnya.
Ia mengatakan REI Jabar masih mendata jumlah proyek yang terdampak kebijakan tersebut. “Ini kita lagi data sekarang karena ada yang udah ngadu, beberapa ada yang belum. Kemarin hari Minggu saya tahu berita ini jadi ini kita masih data,” kata Norman.
Ia menegaskan, kebijakan tersebut juga berpotensi mengganggu program nasional pembangunan 3 juta rumah serta percepatan penyerapan FLPP yang sedang digenjot Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). “Ini benar-benar menghambat juga program presiden 3 juta rumah,” katanya.
Menjawab narasi bahwa bencana terjadi akibat maraknya perumahan di kawasan rawan, Norman menegaskan bahwa pengembang saat ini justru menghindari wilayah berlereng atau kawasan dengan kontur ekstrem. “Kalau kita pengembang sudah hampir jarang banget ngebangun di daerah lereng, di Bandung Utara sudah jarang banget,” tuturnya.
Menurutnya, alasan ekonomi dan aturan kawasan membuat pengembang enggan ke wilayah ketinggian. “KDW-nya kecil, berarti luasan tanahnya harus gede. Harga jualnya jadi enggak menarik,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa pembangunan perumahan subsidi justru umumnya membutuhkan lahan datar seperti area persawahan, sehingga kebijakan terkait Lahan Sawah Dilindungi (LSD) justru menjadi tantangan baru bagi pengembang.
“Lahan sawah dilindungi itu lebih bermasalah buat perumahan subsidi karena rumah subsidi ini kebanyakan dibangun di area yang flat, lebih mudah tinggal ngurug doang langsung bangun kan,” tegasnya.
Norman berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan untuk menyelaraskan kebijakan tata ruang dengan kebutuhan industri.
“Kita harus duduk bersama, mungkin lintas stakeholder: Kementerian Pertanian, Kementerian PKP, Gubernur, pemangku kebijakan di kabupaten/kota harus sama. Kita harus satu visi,” katanya.
Ia menekankan bahwa kebijakan yang berdampak besar harus dikaji ulang secara lebih komprehensif. “Kita harus satu visi, kalau misalnya aturan memang itu merugikan banyak pihak dan tadi punya multiplayer efek terhadap terlalu banyak industri yang lain ya mohon ditinjau ulang itu,” tutup Norman.
Kebijakan ini tak ayal mendapatkan sorotan dari pihak pengembang. Ketua DPD REI Jabar Norman Nurdjaman menyatakan keputusan tersebut membuat para pengembang terkejut dan menimbulkan kegelisahan di industri properti.
“Kita cukup terkejut dengan berita itu. Mungkin ini berkaitan dengan masalah bencana alam, tapi kan harus melihat dong ini apa, bencana di Sumatera ini apa penyebabnya. Jangan gara-gara bencana alam terus serta-merta semua perizinan dicabut,” ujarnya saat dihubungi infoJabar, Selasa (9/12/2025).
Norman mempertanyakan alasan kebijakan tersebut hanya berlaku untuk Bandung Raya. Menurutnya, sejumlah wilayah lain di Jawa Barat seperti Garut, Bogor, dan Sukabumi memiliki karakter tanah dan kondisi alam yang serupa. “Kenapa hanya Bandung Raya? Bandung Raya kalau kayak Cimahi itu kan aman ya, Kota Bandung juga mungkin aman, kecuali Bandung Barat mungkin,” katanya.
Norman menyayangkan keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang kembali menghentikan izin aktivitas pembangunan setelah sebelumnya memutuskan moratorium tambang. Ia menilai kedua kebijakan itu menekan ekosistem industri konstruksi dan properti. “Gubernur ini 4 bulan yang lalu moratorium juga izin-izin tambang. Akibatnya seluruh pembangunan baik perumahan maupun di luar perumahan itu semuanya terhambat,” ucapnya.
“Kita kan butuh tambang itu dari mulai tanah untuk urugan, pasir, batu dan lain-lain. Itu repot banget sekarang ini,” sambungnya.
Ia menambahkan, efek domino dari kebijakan ini sangat besar karena industri perumahan memiliki keterkaitan dengan ratusan sektor usaha lainnya. “Ini dampaknya kan kalau industri perumahan ini kan punya 187 multiplayer efek ke industri lain. Dari mulai batu, bata, genteng, kusen, aluminium, besi, sampai mebel dan elektronik,” ucap Norman.
Menurut Norman, kebijakan mendadak ini menimbulkan kepanikan di kalangan pengembang yang tengah mengajukan izin atau sudah terlanjur menginvestasikan modal.
“Cukup ramai lah. Banyak yang lagi ngajuin izin yang masih sepotong tiba-tiba kan harus dihentikan, padahal dia sudah investasi. Sebagian uangnya dapat kredit dari bank yang bank enggak mau tahu, ini cicilan, bunga, pokok harus dibayar,” jelasnya.
Ia mengatakan REI Jabar masih mendata jumlah proyek yang terdampak kebijakan tersebut. “Ini kita lagi data sekarang karena ada yang udah ngadu, beberapa ada yang belum. Kemarin hari Minggu saya tahu berita ini jadi ini kita masih data,” kata Norman.
Ia menegaskan, kebijakan tersebut juga berpotensi mengganggu program nasional pembangunan 3 juta rumah serta percepatan penyerapan FLPP yang sedang digenjot Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). “Ini benar-benar menghambat juga program presiden 3 juta rumah,” katanya.
Menjawab narasi bahwa bencana terjadi akibat maraknya perumahan di kawasan rawan, Norman menegaskan bahwa pengembang saat ini justru menghindari wilayah berlereng atau kawasan dengan kontur ekstrem. “Kalau kita pengembang sudah hampir jarang banget ngebangun di daerah lereng, di Bandung Utara sudah jarang banget,” tuturnya.
Menurutnya, alasan ekonomi dan aturan kawasan membuat pengembang enggan ke wilayah ketinggian. “KDW-nya kecil, berarti luasan tanahnya harus gede. Harga jualnya jadi enggak menarik,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa pembangunan perumahan subsidi justru umumnya membutuhkan lahan datar seperti area persawahan, sehingga kebijakan terkait Lahan Sawah Dilindungi (LSD) justru menjadi tantangan baru bagi pengembang.
“Lahan sawah dilindungi itu lebih bermasalah buat perumahan subsidi karena rumah subsidi ini kebanyakan dibangun di area yang flat, lebih mudah tinggal ngurug doang langsung bangun kan,” tegasnya.
Norman berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan untuk menyelaraskan kebijakan tata ruang dengan kebutuhan industri.
“Kita harus duduk bersama, mungkin lintas stakeholder: Kementerian Pertanian, Kementerian PKP, Gubernur, pemangku kebijakan di kabupaten/kota harus sama. Kita harus satu visi,” katanya.
Ia menekankan bahwa kebijakan yang berdampak besar harus dikaji ulang secara lebih komprehensif. “Kita harus satu visi, kalau misalnya aturan memang itu merugikan banyak pihak dan tadi punya multiplayer efek terhadap terlalu banyak industri yang lain ya mohon ditinjau ulang itu,” tutup Norman.
