Betapa rasa geli, takut, dan waspada, bercampur menjadi satu saat kita melihat ular masuk ke dalam rumah. Gerakannya yang cepat, tidak terduga, membuat kita memilih menghindar daripada dipatuk sebab khawatir itu ular berbisa.
Sebagian orang yang mengalami kejadian ini meminta pertolongan Pemadam Kebakaran (Damkar). Namun, kesedihan bagi mereka yang tidak tahu bahwa ular telah masuk ke rumah lebih dulu tanpa diketahui dan mematuk penghuni rumah itu.
Ular masuk rumah sering terjadi di Jawa Barat sekarang ini. Boleh jadi, ini karena habitatnya terganggu oleh aktivitas eksploitatif manusia membangun kompleks perumahan. Kebun bambu yang lembab dan sejuk kesenangan ular, kini menjadi lahan berbeton yang membuat ular ‘gerah’ dan mencari tempat sembunyi yang lebih ‘aman’.
Tetapi, ular masuk rumah sudah ada sejak orang-orang Sunda baheula hidup. Dengan kejadian itu, mereka berhati-hati dan mencoba menafsirkan makna di baliknya. Orang Sunda percaya, kalau ada perjumpaan manusia dengan ular, itu ada maknanya.
Dalam situs SundaDigi Universitas Padjadjaran (Unpad) ada rubrik ‘Peperenian’ yang di dalamnya dimuat sejumlah mitos ‘Titinggal Sepuh’ (peninggalan orang tua). Termasuk, terkait kepercayaan tentang makna pertemuan manusia dan ular. Tulisan ini mengutip situs berbahasa Sunda tersebut.
Kocap tercerita, kalau ada ular masuk ke dalam rumah perlu diwaspadai bahwa ular tersebut punya perbawa panas. Yaitu, bukan berarti udara terasa menjadi panas, namun ada situasi yang akan memanas dampak dari kedatangan ular itu.
Pertama, situasi menjadi panas sebab boleh jadi ular itu membawa penyakit. Dalam basa Sunda, ‘penyakit’ adalah sesuatu keadaan sakit yang bukan berkaitan dengan medis. Sebut saja, sakit karena sihir.
Kedua, ular itu membawa situasi panas karena dapat memicu pertengkaran antara suami dan istri. Hal-hal kecil boleh jadi memicu pertengkaran itu dan itu semua diawali oleh kedatangan ular ke dalam rumah.
Menurut kepercayaan orang tua, ular membawa kesialan. Jika seseorang sedang bekerja, misalnya di ladang, lalu datang ular mendekat kepadanya dari sebelah kiri maka waspada orang tersebut akan mendapat kesusahan.
Lebih parahnya, ular yang datang dari sebelah kiri itu menjadi pertanda kesusahan dalam hal-hal rejeki. Sebutlah, rezeki orang tersebut mungkin akan tersendat. Namun, tidak ada batasnya sampai kapan kesusahan itu terjadi.
Ular sering ganti kulit. Nah, kulit mati ular belang (oray welang) dipercaya bisa menjadi jimat. Tak tanggung, bagi mereka yang bisa memilikinya, kulit ular belang ini bisa dipakai untuk menghilang.
Namun, biasanya, ular welang ketika ganti kulit, segera memakan lagi kulit matinya itu. Karenanya, cukup sukar bagi orang tua Sunda baheula mendapatkan kulit itu untuk digunakan sebagai jimat.
Ular belang jenis jantan dan betina yang sedang kawin bisa dipakai sebagai jimat kemenangan dalam bermain judi atau menang dalam adu lainnya. Misalnya, ngadu hayam (sabung ayam).
Kocap tercerita, kalau bertemu ular welang (Bungarus fasciatus, ular yang berbisa kuat dan berbahaya bagi manusia) yang sedang kawin, ambillah keduanya lalu masukkan ke dalam kain. Kalau sudah terikat kainnya, kedua ular itu siap jadi jimat.
Ada ungkapan: Lamun dina tangkal pare aya sayang nagaan, sok cukul beubeunanganana (kalau pada tanaman padi ada ‘sarang naga’, hasil panennya akan melimpah).
infoJabar mencoba menelusuri apa makna ‘sarang naga’ dalam ungkapan itu. Naga, jelas ular dalam mitologi padi orang Sunda. Orang Sunda mengenal Sanghyang Antaboga, naga yang ‘menelurkan’ Dewi Sri atau Nyi Pohaci, dewi kesuburan. Sarang, adalah tempat bersarang, bersemayam.
Namun, apa yang dimaksud ‘sarang naga’ pada tanaman padi, belum terungkap. Wawancara kepada Hj. Aisyah (85), warga Sumedang yang merupakan keluarga petani padi, mengaku tidak mengenal dan tidak pernah mendengar tentang ‘sarang naga’ pada tanaman padi itu.
