5 Larangan Malam 1 Suro dalam Tradisi Jawa dan Pandangan Ulama baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Malam 1 Suro dikenal sebagai malam yang sakral bagi masyarakat Jawa. Dalam kalender Islam, malam ini bertepatan dengan 1 Muharram, bulan pertama dalam penanggalan Hijriah. Namun bagi masyarakat Jawa, terutama di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, hingga sebagian Jawa Barat, malam ini sarat akan makna spiritual dan tradisi turun-temurun.

Sebagian besar masyarakat masih meyakini adanya pantangan atau larangan di malam tersebut, yang dipercaya bisa membawa nasib buruk jika dilanggar. Bahkan, beberapa wilayah di Jawa Barat menyebut bulan Muharram sebagai bulan Kapit atau Apit, karena berada di antara dua momen besar yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Lalu, apa saja larangan yang dimaksud? Dan bagaimana Islam memandang keyakinan-keyakinan ini?

Tradisi dan kepercayaan lokal yang berkembang di masyarakat menyebut malam Satu Suro tidak boleh diisi dengan sembarang aktivitas. Berikut 5 larangan malam 1 Suro yang paling dikenal di kalangan masyarakat Jawa dikutip dari Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo), Vol. 1, No. 1, March 2024, karya Galuh Kusuma Hapsari:

Masyarakat Jawa banyak yang memilih untuk tidak keluar rumah di malam Satu Suro. Diyakini bahwa malam tersebut “angker” dan rawan dengan hal-hal gaib. Oleh sebab itu, banyak keluarga yang berkumpul dan berdiam diri di rumah sambil berdoa atau berzikir.

Pernikahan, khitanan, pindahan rumah, dan acara besar lainnya biasanya dihindari pada bulan Suro, terutama malam pertamanya. Ada kepercayaan jika mengadakan hajatan pada malam itu bisa mendatangkan kesialan, masalah rumah tangga, hingga musibah yang tak terduga.

Di beberapa keraton seperti Yogyakarta dan Surakarta, malam Satu Suro dirayakan dengan ritual Tapa Bisu Mubeng Benteng, yaitu berjalan mengelilingi benteng tanpa bicara sepatah kata pun. Ini mencerminkan kepercayaan bahwa malam Suro adalah malam untuk hening, introspeksi, dan menjaga diri dari ucapan yang tidak perlu.

Ujaran yang negatif dan kasar dipercaya dapat membawa pengaruh buruk pada diri sendiri di malam tersebut. Karena itu, masyarakat dianjurkan untuk menjaga tutur kata, menghindari konflik, serta memperbanyak doa dan dzikir.

Bulan Suro dianggap bukan waktu yang tepat untuk memulai sesuatu yang besar seperti membangun rumah atau pindah tempat tinggal. Masyarakat percaya jika langkah tersebut dapat membawa kesialan atau ketidakberkahan di kemudian hari.

Meskipun banyak mitos beredar, para ulama menekankan jika bulan Muharram yang identik dengan bulan Suro justru merupakan bulan yang dimuliakan dalam Islam.

Dalam kanal YouTube resmi Al-Bahjah TV, Prof KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia khususnya Jawa, kerap menganggap bulan Muharram atau Suro adalah bulan keramat. Pada momen tertentu itu, mereka menghentikan hal yang bersifat hajatan besar, perjalanan jauh,dan dianggap hari nahas atau hari sial.

Buya Yahya menegaskan tidak ada hari buruk dalam Islam. Yang menjadikan hari itu buruk adalah saat manusia melakukan maksiat, bukan karena waktunya. Beliau menegaskan bulan Muharram adalah bulan yang penuh rahmat, bukan bulan sial.

“Dalam Hadits Qudsi, Allah itu senang dengan yang berprasangka baik supaya dapat kebaikan. Hari Allah semuanya baik, hari jelek hanya ada satu, yakni saat anda bermaksiat. Menikah itu hari baik, syukuran. Nggak tahu kenapa, di Jabar juga ada Bulan Kapit, di Jatim ada Bulan Suro yang dianggap malapetaka, padahal kebalikannya, yakni bulan penuh rahmat,” ucap Buya Yahya.

“Dari 12 bulan Allah, empat di antaranya bulan haram salah satunya adalah Muharram, itu adalah bulan yang dimuliakan, bukan bulan petaka. Ndak ada itu, jangan dipercaya. Itu adalah suudzon pada Allah. Bulan Muharram itu justru istimewa, malah lakukan puasa. Sebaik-baik puasa setelah Bulan Ramadhan adalah di Muharram. Dulu Nabi menyuruh para sahabat berpuasa, 10 Muharram hendaknya puasa. Sunnah berpuasa di 9 atau 11 Muharram untuk membedakan hari agung kaum Yahudi. Wallahu A’lam bishawab,” lanjutnya.

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, Pimpinan Ponpes Darush Sholihin melalui laman Rumaysho menyebut bulan Muharram adalah satu dari empat bulan haram (bulan suci) dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Pada bulan haram (suci) termasuk Muharram, umat Islam dianjurkan memperbanyak amal baik dan menjauhi perbuatan dosa, bukan menjauhinya karena takut sial.

“Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis. Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik,” tulis Ustad Muhammad Abduh.

Ustad Muhammad Abduh pun mengungkap bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang, atau tempat tertentu. Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

5 Larangan Malam 1 Suro dalam Kepercayaan Jawa

1. Tidak Boleh Keluar Rumah Saat Malam

2. Dilarang Menggelar Hajatan Besar

3. Tidak Boleh Berisik atau Ramai

4. Menjaga Lisan: Jangan Mengucapkan Kata Kasar

5. Tidak Disarankan Membangun atau Pindah Rumah

Pandangan Ulama

Buya Yahya

Ustadz Abduh Tuasikal