Viral ‘ODGJ Bertemu Orang Waras’ di Bandung, Ini Kata Psikolog Unpad baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Jagat maya di Kota Bandung, Jawa Barat sempat dihebohkan dengan aksi seorang pria berkostum wanita melakukan live joget di persimpangan Jalan Cibaduyut. Bagi warga Cibaduyut dan sekitarnya, pemandangan pria berjoget dengan mengenakan pakaian wanita atau pakaian SD sering dijumpai.

Namun yang membuat heboh, saat ada warganet yang mengabadikan momen orang dengan gangguan kejiwaan atau ODGJ berdiam diri di atas pembatas jalan lampu merah dan terbengong melihat pria yang berjoget-joget itu.

Video itu dibagikan seorang pengguna TikTok dengan nama akun @tuanelvano, video berdurasi 14 info itu diberi judul ‘ODGJ bertemu orang waras’. Sejak diupload, Jumat (8/8) lalu video itu disukai lebih dari 96 ribu pengguna, mendapatkan lebih dari 4 ribu komentar dan dibagikan lebih dari 29 ribu kali.

Video tersebut mendapatkan banyak hujatan, pasalnya pria yang berjoget-joget itu dinilai warganet masih sehat dan tidak layak untuk mengemis, walaupun pria tersebut melakukan aksi joget-joget itu demi mendapatkan saweran dari pengguna TikTok.

Psikolog sekaligus Dosen Psikologi Sosial Unpad Hammad Zahid Muharram, M.Psi., mengatakan, mengemis online dengan menggunakan media sosial (medsos) sudah sering banyak ditemukan, apalagi seiring berkembangnya teknologi informasi dan kemudahan internet. ODGJ melihat orang waras joget-joget, viral di medsos dan mengundang keprihatinan warganet, menurut Zahid sesuatu yang kompleks.

“Nah ini berhubungan sama norma. Kalau secara sosial ada yang disebut norma injungtif sama norma deskriptif gitu. Norma injungtif itu datangnya dari penonton biasanya. Karena sebagai penonton kita tuh harusnya nolong tuh kalau ada yang membutuhkan kayak gitu nolong gitu. Terus kalau norma deskriptifnya adalah ketika ada orang lain yang donasi ke dia, ya saya harus ikut gitu,” kata Zahid kepada infoJabar, Kamis (21/8/2025).

“Sehingga itu pun memicu ya bagaimana kemudian si orang ini memanfaatkan norma-norma yang terjadi di masyarakat Indonesia yang tadi gampang iba gitu, harus nolong gitu. Terus kalau ada orang yang ngasih nanti orang lain akan ikut ngasih gitu dan lain sebagainya,” tambahnya.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Karena awalnya banyak yang iba, sehingga seseorang yang melakukan ngemis online itu mendapatkan banyak gift akhirnya memanfaatkan kondisi tersebut. Dimanfaatkannya menurut Zahid menggunakan aspek yang disebut moral disengagement gitu.

“Moral disengagement itu artinya adalah ketika dia itu melakukan suatu aktivitas, itu kan ada aspek moralnya, kita kan tahu bahwa joget-joget gak jelas gitu, bahkan berkelakuan lebih dari orang gila itu kan kalau secara normatif dia salah gitu. Tapi dia beranggapan bahwa oh saya gak merugikan orang lain kok gitu. Oh yang saya lakukan itu hanya-hanya hiburan kok, jadi orang menikmati aja gitu. Gak usah ngelihat saya sebagai apa dan lain sebagainya, menikmati saja itu pertunjukan yang saya lakukan. Nah itu contoh sebagai moral disengagement gitu,” terangnya.

Jadi menurut Zahid, orang tersebut tidak memiliki engagement terhadap moral. Dia justru meletakkan moral itu di luar dari dirinya.

“Jadi memang dia memanipulasi kenyataan bahwa ya tadi ya kenyataan moralnya bahwa hal yang dilakukan itu ya tidak merugikan orang. Gitu ini hanya hiburan doang. Ini upaya saya untuk menjaga hidup dan lain sebagainya. Jadi mau kaya orang gila punya selama itu gak ngeganggu ya tadi gitu ya. Karena secara moral dia sudah tidak engagement lagi gitu,” tuturnya.

Zahid menyebut, yang namanya moral datang dari satu konstruk sosial. Ketika berbicara moral dan dibedakan dengan kehidupan masyarakat 10 atau 20 tahun lalu, pasti beda karena kehadiran internet belum berkembang pesat.

“Internet itu membuat kita itu punya dualisme moral gitu. Jadi apa yang kita lakukan di dunia maya itu kan misalnya saya bisa komentar apapun gitu ya di postingan dia ngata-ngatain kayak apa dan lain sebagainya. Tapi itu kan dunia maya. Dia tidak menjamin kehidupannya atau seperti apa. Sehingga ya bebas gitu mau di dunia maya tadi dikatain kerja gitu dan lain sebagainya. Ada juga orang lain yang tertarik sehingga dia tentu menjadi kacamata kuda. Kalau bahasa psikologi adalah base standard effect gitu. Jadi dia udah ngikutin itu ya udah dia akan melihat yang sisi yang dia pengen lihat aja. Di dunia maya kan gitu ya,” ucapnya.

Sehingga menurut Zahid, ketika dikaitkan dunia maya dengan dunia nyata pasti berbeda. Di mana dunia nyata menjadi tidak relevan.

“Memang meresahkan karena di Kota Bandung yang indah ini tiba-tiba ada sosok orang tersebut joget-joget di lampu merah gitu, kan harus ditangani secara sosial memang. Tapi itu kan aspek yang lain ya. Kita harus luruskan dulu nih si orang ini tuh standar moralnya yang mana gitu. Dan orang Bandung tadi standar moralnya yang mana. Ya kalau menurut saya justru kalau mau dibikin rekayasa sosialnya maka harus diteliti lebih dahulu. Bagaimana kemudian tadi perspektif masyarakat misalnya tadi terhadap fenomena itu gitu ya,” ujarnya.

Selain dari perspektif moral, harus juga dilihat dari perspektif lainnya misal orang tersebut mengganggu tata kota atau estetika kota, jika memang mengganggu berarti ranahnya masuk pada sistem pemerintahan. Sehingga sistemnya itu yang harus dibuat agar tidak ada orang-orang seperti itu yang melakukan hal tersebut di dalam area publik.

“Kalau dia dilakukan di area personal, private, di kamar kosannya gitu ya mungkin ya udah aja gitu ya. Tapi kalau misalnya di area publik memang itu kan ada kenyamanan bersama gitu yang harus dijaga,” pungkasnya.