Maraknya kemunculan konten-konten soal kesehatan mental di media sosial menjadikan isu tersebut mulai jamak dibicarakan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya memelihara kesehatan mental pun banyak tumbuh di berbagai kalangan, terutama kaum muda.
Meski demikian, pengetahuan masyarakat terkait akses layanan kesehatan mental masih minim. Hal tersebut disampaikan psikolog klinis asal Kota Bandung, Rahmatika Septina.
Ia mengatakan, antusiasme masyarakat terhadap isu kesehatan mental semakin meningkat. Namun, banyak di antaranya yang belum memahami cara untuk mengakses bantuan profesional, seperti psikolog.
“Mereka kadang enggak tahu bagaimana caranya mengakses psikolog. Tidak tahu nanti harus cerita apa, dan harus bayar berapa kalau konsultasi,” ungkap Tika di sela gelaran workshop Mental Health Check-In di Kawan Kopi Ciumbuleuit, Minggu (18/5/2025).
Padahal, ia mengatakan, konsultasi dengan psikolog dapat dilakukan tanpa harus menunggu ada masalah besar yang dihadapi. Ketika seseorang merasa memerlukan tempat untuk bercerita tanpa dihakimi, atau merasa bingung dengan emosi yang tengah dirasakan, maka berkonsultasi dengan psikolog bisa menjadi salah satu jalan.
“Sebenarnya sama saja seperti check-up kesehatan fisik. Jadi sebelum mau meledak, atau sebelum muncul masalah yang lebih berat, atau bingung dengan perasaannya, nanti psikolog bisa bantu untuk mencari tahu masalahnya,” ungkapnya.
Hal tersebut pulalah yang melatarbelakangi Kawan Kopi untuk menggelar event Kawan Sharing dengan tajuk kesehatan mental. CMO Kawan Kopi Fauker Muhammad mengatakan, riset yang ia lakukan terhadap 100 responden menunjukkan bahwa salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh kaum muda adalah isu kesehatan mental.
“Kita mau cari tau kenapa mereka punya itu (isu kesehatan mental). Mereka juga merasa tidak punya akses ke psikolog, tidak punya informasi, banyak yang menghakimi diri sendiri atau justru takut dihakimi lingkungan bahwa dia sakit mental bila datang ke psikolog,” ungkap Fauker.
Oleh karenanya, ia berinisiatif untuk mendekatkan akses profesional di bidang kesehatan mental, ke tempat yang biasa dikunjungi kaum muda, yakni kafe. Harapannya, suasana yang lebih familiar dan santai dapat menjadi jembatan bagi kaum muda agar bisa merasa nyaman melakukan konsultasi psikologi.
“Kita bikin dengan suasana yang lebih bersahabat dan enjoy untuk mereka. Bagi yang pertama kali datang ke psikolog mungkin akan lebih nyaman datang ke tempat seperti ini dibanding ke biro,” paparnya.
Upaya mendekatkan akses masyarakat ke psikolog tersebut dilakukan dengan menghadirkan psikolog klinis di cabang-cabang Kawan Kopi di Kota Bandung. Sebanyak 24 peserta terpilih kemudian diberikan sesi konsultasi secara gratis.
“Dalam waktu empat hari, total yang daftar sampai 763 orang. Sedikit sekali yang akhirnya bisa kita fasilitasi. Ke depannya kita akan buat acara serpa dengan jumlah psikolog klinis yang lebih banyak,” ungkapnya.
Dari 763 pendaftar yang masuk, Fauker mengatakan bahwa mayoritas adalah dewasa muda di usia sekitar 25 tahun. Masalah yang mendominasi adalah rasa galau atas transisi masa kuliah menuju dunia kerja.
“Paling banyak itu di usia sekitar 25 tahun, biasanya masaah peralihan dari selesai sekolah, kuliah ke dunia kerja karena perlu adaptasi,” terangnya.
Tika mengungkapkan, dari sesi workshop maupun konsultasi yang dijalani, isu yang banyak mencuat adalah soal gangguan kecemasan. Adapun penyebab dan pemicunya beragam. Mulai dari pengasuhan anak, hubungan romantis, dan lain-lain.
“Isu yang paling banyak itu tentang kecemasan, penyebab dan trigger-nya macam-macam. Mulai dari pengasuhan, hubungan romantis, dan lain-lain. Ada juga yang memang sudah didiagnosa gangguan tertentu. Paling banyak itu di usia remaja akhir dan dewasa awal,” ungkapnya.
Salah satu kecenderungan yang jamak ditemui, ia mengatakan, adalah tendensi untuk memendam masalah seorang diri. Hal ini berpotensi menjadi bom waktu yang akan meledak di lain waktu.
“Banyak memendam itu karena kita cenderung mengabaikan emosi, karena merasa sibuk dan tidak ada waktu untuk memikirkan perasaan sendiri. Akhirnya emosi menumpuk seperti gelas yang diis penuh. Sehingga jika ada trigger sedikit, akan tumpah dan pecah,” paparnya.
Oleh karenanya, ia mengimbau masyarakat agar dapat secara berkala memeriksa emosi yang dirasakan secara berkala. Sehingga, emosi-emosi tersebut dapat dikelola dengan sehat.
“Dirasakan dulu emosinya, baru kita tahu langkahnya seperti apa. Dalami, rasakan, agar emosi bisa diproses dan dikelola dengan tepat. Sehingga perilaku kita pun akan adaptif dalam menghadapinya,” tutupnya.