Willem Frederik Christiaan Dieben, yang lebih populer dengan nama Willy Derby menulis lirik ‘Hallo Bandoeng’ dengan sangat apik. Lagu yang dirilis pada 1929 itu menggambarkan bagaimana komunikasi jarak jauh antara Belanda dan Hindia bisa terlaksana.
Lagu itu berkisah tentang seorang ibu renta di Den Haag, yang bertahun-tahun menabung untuk bisa menelepon anaknya yang terpisah jarak 12.000 kilometer di Bandung.
Sang anak berjanji empat tahun lagi akan pulang kepada ibunya di Belanda. Namun, ketika sedang dalam perbincangan yang penuh haru itu, apalagi setelah sang ibu mendengarkan bagaimana suara cucunya dari menantu ‘sawo matang’ menyapanya, ibu tua yang terlampau bahagia itu meninggal dunia.
Telekomunikasi berbasis suara itu terlaksana sebagai berkah dari perbuatan Cornelius Johannes de Groot (1883-1927) dengan karya monumentalnya, Stasiun Radio Malabar. de Groot adalah ahli radio yang ditugaskan Belanda untuk menemukan solusi komunikasi yang efektif selain bergantung pada kabel telegraf milik Inggris.
Radio Malabar di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung itu diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Dari sini, radio menjadi semakin populer karena hubungan langsung antara Hindia dan Belanda bisa terlaksana.
Setahun sebelumnya, telah ada pemberitaan di media massa akan adanya kemungkinan keterhubungan Malabar dengan stasiun-stasiun radio di dunia. Misalnya, yang diberitakan De Indische courant (4 Oktober 1922):
“Preangerbode telah mengetahui bahwa suatu penyelidikan telah dimulai terkait kemungkinan pendistribusian stasiun-stasiun radio dunia yang diselenggarakan di Malabar di kalangan pers Hindia.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Pemulihan sistem radio di Malabar telah mencapai titik di mana kepulauan tersebut dapat dilengkapi dengan sinyal radio. Komunikasi dengan Eropa akan segera dimungkinkan kembali.
Gedung stasiun radio Malabar telah selesai pembangunannya pada 1918. Johannes de Groot lalu ditempatkan di situ. de Groot kemudian melakukan berbagai percobaan untuk melakukan komunikasi jarak jauh nirkabel.
Pemerintah Belanda sejatinya membeli dua pemancar dengan merek Telefunken. Satu untuk ditempatkan di Radio Malabar, dan satu lagi adalah untuk stasiun radio di Kootwijk, Belanda. Namun, ketika itu di Radio Malabar sudah ada pemancar yang dibeli oleh uang pribadi de Groot yang menggunakan teknologi Spark dengan merek Arc Poulsen. Malabar-Kootwijk saling memastikan keterhubungan telegrafi.
Tomi T. Prakoso, dosen Ilmu Komunikasi di STBA Yapari-ABA Bandung, sebagaimana dilansir infoJabar menjelaskan, kemampuan dari telegrafi (morse) diubah menjadi telefoni (komunikasi dengan suara).
“(Stasiun) penerimanya kemudian didirikan secara khusus di Rancaekek,” ujar Tomi.
Gedung stasiun radio Malabar sangat besar. Antenanya berupa bentangan kabel sepanjang 2 kilometer yang dipasang di antara celah gunung Haruman dan gunung Puntang. Dibutuhkan daya listrik ribuan kilowatt yang diperoleh dari sebuah pembangkit listrik. Jarak pancaran yang harus ditempuh dari lokasi itu ke Belanda kurang lebih 12 ribu kilometer.
Di Malabar, de Groot bukan hanya menerapkan sebuah teknologi. Ia juga melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika itu dibutuhkan sejumlah komponen yang harus diimpor dari luar negeri. Untuk mendatangkannya diperlukan waktu berbulan-bulan. Tetapi, pesanan sering tidak sampai karena kapal pengangkut kena hadang bajak laut.
“Akhirnya diputuskan beberapa komponen dibuat sendiri, sehingga di Radio Malabar diadakan workshop pembuatan sejumlah komponen radio. Ketika itu dijalankan konon sering terdengar suara ledakan karena digunakannya gas tertentu,” katanya.
Pada workshop tersebut tercatat ada sejumlah warga pribumi yang terlibat. Posisi mereka adalah sebagai pekerja pada Radio Malabar. Hal itu membuat pengetahuan tentang keradioan yang tadinya hanya eksklusif milik warga Belanda akhirnya menyebar ke warga pribumi.
“Workshop yang tadinya khusus diperuntukkan bagi perbaikan Radio Malabar akhirnya menjadi tempat transfer pengetahuan tentang pembuatan komponen radio,” ujar Tomi.
Seperti di dalam lagu ‘Hallo Bandoeng’-nya Willy Derby, bahwa untuk melakukan sambungan suara antara Belanda-Hindia harus ada ongkosnya. Memang, dari sini juga Radio Malabar mendapatkan keuntungan.
Dikutip dari koran De Locomotief (6 Agustus 1929), Radio Malabar meraih keuntungan yang besar pada tahun di mana berita itu dimuat.
“Aneta melaporkan hari ini dari Bandung bahwa Juli merupakan bulan yang memecahkan rekor bagi Radio Malabar. Pendapatannya mencapai 253.000 gulden. Total pendapatan tertinggi sebelumnya dicapai pada bulan Januari tahun ini, yaitu 240.000 gulden.”
Di sisi lain, seiring dengan berkembangnya jaringan radio ini, perusahaan Belanda Koninklijke Philips N.V. juga memproduksi alat elektronik berupa radio untuk mendengarkan siaran-siaran dari stasiun-stasiun dunia.
Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak bisa dilepaskan dari ‘sinyal’ yang disiarkan radio BBC tentang kekalahan Jepang. Tiga hari sebelumnya, Sutan Sjahrir (1909-1966) mendengarkan berita itu dari sebuah radio bekas merek Philips.
Radio itu merupakan bagian dari barang bekas yang diperjual-belikan keponakannya, penyair Chairil Anwar (1922-1949) dan anak angkat Bung Hatta, Des Alwi (1917-2010) yang ketika itu menumpang di rumah Sjahrir, dan diberi modal olehnya untuk berjualan.
Begitu ada berita Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Sjahrir bergegas merumuskan agar segera ada proklamasi kemerdekaan RI.
Jepang sendiri menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, atau pada 15 Agustus 1945 menurut waktu Jepang. Dikutip infoEdu dari Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) oleh Redaksi Pustaka Grhatama, kabar tentang Jepang menyerah pada Sekutu didengar oleh perintis kemerdekaan Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh di Radio BBC.
Para golongan muda tersebut langsung mendesak golongan tua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sjahrir berharap, Mohammad Hatta dapat melihat ini jadi peluang Indonesia untuk merdeka.
Setelah pergolakan yang sengit dalam beberapa hari, proklamasi kemerdekaan RI pun dilaksanakan. Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, pagi. Semua upaya menyatakan kemerdekaan ini tak lepas dari radio Chairil Anwar dan Des Alwi.
Dikutip infoEdu dari pameran arsip Seratus Tahun Chairil Anwar: Aku Berkisar Antara Mereka oleh Komunitas Salihara dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dikuratori Cecil Mariani dan Laksmi Pamuntjak, di Salihara Arts Center, Desember 2022, diketahui bahwa Chairil dan Des Alwi dimodali Sjahrir untuk jualan barang bekas karena keduanya pengangguran ketika itu. Salah satu temuan mereka adalah radio bekas merek Philips yang kelak bersejarah tersebut.
Berkat radio gelap Chairil Anwar dan Des Alwi tersebut, Sjahrir dapat memantau perkembangan situasi dunia yang penting, termasuk mendengar kabar tentang kekalahan Jepang oleh Sekutu. Tanpa informasi tersebut, proklamasi kemerdekaan Indonesia berisiko tidak terjadi.
Kini, Stasiun Radio Malabar yang megah, indah, dan canggih itu tinggal secuil puing bangunannya saja. Menurut versi paling masyhur, bangunan itu dihancurkan warga untuk menghindari digunakannya aset komunikasi tersebut oleh tentara Jepang.
Ada satu monumen yang terkait dengan Radio Malabar ini, yang dibangun di pusat Kota Bandung, di Taman Citarum (Tjitaroemplein). Monumen itu berupa sebuah bola yang merupakan lambang dari bola dunia diapit oleh dua patung pria.
Satu patung pria dibuat dengan tangan kanan di mulutnya seolah sedang berteriak, sementara patung pria lainnya memiliki tangan kanan yang ditaruh di telinga, seolah sedang mendengar.
Dari sudut tertentu, bagian yang paling terlihat dari patung tersebut adalah bagian belakang tubuhnya. Karena keduanya didesain tanpa busana.
Pada perjalanannya, monumen itu juga dihancurkan. Namun bukan karena kekhawatiran yang sama akan dimanfaatkan Jepang, melainkan atas nama ‘kesusilaan’. Di atas Taman Citarum, kini berdiri Masjid Istiqamah.
Membuat Komponen Sendiri
Radio yang Untung Pesat
‘Sinyal’ Kemerdekaan RI
Radio Malabar Kini
Seperti di dalam lagu ‘Hallo Bandoeng’-nya Willy Derby, bahwa untuk melakukan sambungan suara antara Belanda-Hindia harus ada ongkosnya. Memang, dari sini juga Radio Malabar mendapatkan keuntungan.
Dikutip dari koran De Locomotief (6 Agustus 1929), Radio Malabar meraih keuntungan yang besar pada tahun di mana berita itu dimuat.
“Aneta melaporkan hari ini dari Bandung bahwa Juli merupakan bulan yang memecahkan rekor bagi Radio Malabar. Pendapatannya mencapai 253.000 gulden. Total pendapatan tertinggi sebelumnya dicapai pada bulan Januari tahun ini, yaitu 240.000 gulden.”
Di sisi lain, seiring dengan berkembangnya jaringan radio ini, perusahaan Belanda Koninklijke Philips N.V. juga memproduksi alat elektronik berupa radio untuk mendengarkan siaran-siaran dari stasiun-stasiun dunia.
Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak bisa dilepaskan dari ‘sinyal’ yang disiarkan radio BBC tentang kekalahan Jepang. Tiga hari sebelumnya, Sutan Sjahrir (1909-1966) mendengarkan berita itu dari sebuah radio bekas merek Philips.
Radio itu merupakan bagian dari barang bekas yang diperjual-belikan keponakannya, penyair Chairil Anwar (1922-1949) dan anak angkat Bung Hatta, Des Alwi (1917-2010) yang ketika itu menumpang di rumah Sjahrir, dan diberi modal olehnya untuk berjualan.
Begitu ada berita Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Sjahrir bergegas merumuskan agar segera ada proklamasi kemerdekaan RI.
Jepang sendiri menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, atau pada 15 Agustus 1945 menurut waktu Jepang. Dikutip infoEdu dari Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) oleh Redaksi Pustaka Grhatama, kabar tentang Jepang menyerah pada Sekutu didengar oleh perintis kemerdekaan Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh di Radio BBC.
Para golongan muda tersebut langsung mendesak golongan tua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sjahrir berharap, Mohammad Hatta dapat melihat ini jadi peluang Indonesia untuk merdeka.
Setelah pergolakan yang sengit dalam beberapa hari, proklamasi kemerdekaan RI pun dilaksanakan. Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, pagi. Semua upaya menyatakan kemerdekaan ini tak lepas dari radio Chairil Anwar dan Des Alwi.
Dikutip infoEdu dari pameran arsip Seratus Tahun Chairil Anwar: Aku Berkisar Antara Mereka oleh Komunitas Salihara dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dikuratori Cecil Mariani dan Laksmi Pamuntjak, di Salihara Arts Center, Desember 2022, diketahui bahwa Chairil dan Des Alwi dimodali Sjahrir untuk jualan barang bekas karena keduanya pengangguran ketika itu. Salah satu temuan mereka adalah radio bekas merek Philips yang kelak bersejarah tersebut.
Berkat radio gelap Chairil Anwar dan Des Alwi tersebut, Sjahrir dapat memantau perkembangan situasi dunia yang penting, termasuk mendengar kabar tentang kekalahan Jepang oleh Sekutu. Tanpa informasi tersebut, proklamasi kemerdekaan Indonesia berisiko tidak terjadi.
Kini, Stasiun Radio Malabar yang megah, indah, dan canggih itu tinggal secuil puing bangunannya saja. Menurut versi paling masyhur, bangunan itu dihancurkan warga untuk menghindari digunakannya aset komunikasi tersebut oleh tentara Jepang.
Ada satu monumen yang terkait dengan Radio Malabar ini, yang dibangun di pusat Kota Bandung, di Taman Citarum (Tjitaroemplein). Monumen itu berupa sebuah bola yang merupakan lambang dari bola dunia diapit oleh dua patung pria.
Satu patung pria dibuat dengan tangan kanan di mulutnya seolah sedang berteriak, sementara patung pria lainnya memiliki tangan kanan yang ditaruh di telinga, seolah sedang mendengar.
Dari sudut tertentu, bagian yang paling terlihat dari patung tersebut adalah bagian belakang tubuhnya. Karena keduanya didesain tanpa busana.
Pada perjalanannya, monumen itu juga dihancurkan. Namun bukan karena kekhawatiran yang sama akan dimanfaatkan Jepang, melainkan atas nama ‘kesusilaan’. Di atas Taman Citarum, kini berdiri Masjid Istiqamah.