Pada Jumat, 29 Agustus 2025, jalanan Kota Bandung mendadak bergolak. Massa memenuhi depan kantor DPRD Jawa Barat (Jabar), yang membuat demonstrasi di sana sejak awal langsung berubah menjadi situasi yang mencekam.
Dalam reportase infoJabar, massa yang terdiri dari mahasiswa, ojol hingga masyarakat biasa itu turun ke jalan untuk menyampaikan tuntutannya. Pemicu utamanya terjadi karena publik geram dengan sikap anggota DPR RI yang terkesan abai atas kesulitan yang dirasakan.
Namun, arena demonstrasi di depan gedung DPRD Jabar sejak awal langsung diwarnai kericuhan. Massa datang sekitar pukul 14.00 WIB, dan kemudian malah menyerang aparat yang sedang berjaga.
Alhasil, tak ada orasi penyampaian tuntutan selayaknya demonstrasi sebagaimana mestinya. Area depan kantor DPRD Jabar saat itu langsung dilanda kericuhan, dan akhirnya memanas yang berujung dengan aksi pembakaran sejumlah fasilitas.
Yang paling fatal, tentu saja saat mess MPR RI habis dibakar. Gedung yang lokasinya berada di seberang kantor DPRD Jabar itu ikut jadi sasaran setelah massa aksi mendapat informasi ada aparat yang menembakkan gas air mata ke arena demonstrasi.
Dari pantauan saat itu, mess MPR RI ini mulai dari sasaran amukan massa sekitar pukul 17.00 WIB. Tadinya, massa yang datang hanya merusak gedung itu dengan ikut memecahkan kaca jendela. Namun tak lama, serangan bom molotov datang dan membuat mess MPR itu terbakar.
Namun menariknya, beberapa pedemo terlihat mencoba menghancurkan sejumlah CCTV yang terpasang di sekitar area DPRD Jawa Barat sekitar pukul 14.00 WIB. infoJabar melihat pedemo memanjat tiang rambu lalu lintas yang dipasangi CCTV. Kemudian kamera tersebut dihantam beberapa kali.
infoJabar pun mendapat kesaksian dari beberapa orang yang ikut turun ke jalan. Meski saat itu demo berujung sudah ricuh sejak awal, tapi ada dugaan kuat pola-pola terstruktur yang membuat demonstrasi di Bandung berujung dengan kerusuhan.
Dalam perbincangannya, ia mengaku demo saat itu memang langsung tak bisa dikenalikan. Massa yang datang malah menargetkan aparat kepolisian yang berjaga, lalu membuat mereka melarikan diri masuk ke area dalam kantor DPRD Jabar.
“Waktu itu saya nyampe ke lokasi jam 2 siang, langsung chaos itu. Massa langsung nyerang polisi, polisinya terus mundur ke Jalan Aria Jipang terus lewat belakang kantor dewan,” kata narasumber tersebut yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pemuda yang berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Bandung ini membeberkan, saat demo itu berjalan, ia dan organisasinya memang tidak begitu antusias mengikuti rangkaian unjuk rasa. Alhasil, ia sendiri datang hanya untuk sekedar memantau juniornya yang pada waktu itu bergabung bersama aliansi BEM Nusantara dan BEM Seluruh Indonesia.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Dalam ceritanya dengan infoJabar, ada alasan kenapa ia tak seantusias ikut demo seperti biasanya. Sejak awal, meski menyadari ada panggilan nurani untuk menyuarakan tuntutan, pemuda ini sudah curiga kosentrasi massa nantinya akan disusupi kelompok perusuh.
Dan, kecurigaannya pun ia rasa ada benarnya. Ketika datang di area kantor DPRD Jabar, demo waktu itu langsung berubah menjadi mencekam. Massa bertindak beringas, termasuk menyerang petugas, lalu membakar sejumlah benda mulai dari ban bekas hingga motor untuk melampiaskan amarahnya di sana.
“Jadi pas aku di sana, aku udah nyuruh anak-anak buat narik pasukan, dikumpulin dulu karena yakin chaos. Massa udah enggak kondusif soalnya, dan karena alasan keamanan makanya aku perintahin buat narik pasukan,” ungkapnya.
“Itu jam 3 atau jam 4 sore, pokoknya pas mulai ada tembakan gas air mata dari arah gedung DPRD. Terus dari awal, kami enggak yakin yang ikut demo itu semuanya murni ojek online. Karena kita dapet info, mereka udah disusupi sama kelompok anarko,” katanya menambahkan.
Sebelum mess MPR RI dibakar, massa telebih dahulu melampiaskan amarahnya dengan menyeret sebuah motor ke tengah kerumunan. Motor itu pun ikut hangus tersambar api, plus lemparan molotov dari kerumunan massa aksi yang tak ada habisnya dilempar ke gedung dewan.
Tak lama setelah kericuhan ini, mess MPR RI pun jadi sasaran. Massa tadinya hanya merusak bangunan di seberang kantor DPRD Jabar itu, tapi kemudian lontaran bom molotov turut bermunculan hingga bangunan tersebut kini hangus terbakar.
Saat pembakaran mess MPR RI terjadi, sumber infoJabar mengaku ikut terkejut dengan tindakan tersebut. Dari beberapa orang di lokasi yang sempat ia tanya, gedung itu dibakar karena diyakini ada aparat yang terlebih dahulu menembakkan gas air mata.
“Pas mess MPR dibakar, aku udah narik anak-anak organisasiku buat mundur. Terus aku nanya lah ke anak anarkonya, itu kenapa dibakar. Katanya ada yang nembak gas air mata dari arah sana,” ucapnya.
Menariknya, sepengalaman sumber infoJabar, mess MPR RI biasanya memang digunakan sebagai tempat singgah aparat yang berjaga jika ada aksi demonstrasi. Aparat itu biasanya akan berkoordinasi tentang jalannya aksi, hingga perkiraan jam berapa aksinya akan selesai.
“Kebetulan, emang biasanya kalau ngobrol sama intel di mess itu,” tuturnya.
Meski demikian, dia mengaku sudah melihat pola-pola terstruktur sebelum mess MPR dibakar maupun tindakan kerusuhan dilakukan. Yang paling kasat mata tentunya CCTV di sekitar area unjuk rasa terlebih dahulu dirusak supaya bisa menghilangkan jejak.
Pola itu terlihat makin mencolok ketika memasuki waktu malam hari. Kelompok perusuh ini mulai menampakkan diri dengan melakukan provokasi, lalu mereka punya logistik alat perlawanan yang mereka siapkan seperti bom molotov hingga kembang api yang tak pernah habis meski berulang kali dilontarkan.
“Intinya gini, kita emang enggak bisa mengidentifikasi mereka ini satu-satu siapa. Cuma, kita udah tahu gimana pola yang mereka lakukan, dan kemarin itu kelihatan. Ciri khas mereka emang teroganisir dan sudah dibaca, kalau kita enggak belajar manajemen aksi, itu susah lihatnya. Karena kita belajar itu, kita tahu,” bebernya.
Sumber infoJabar lainnya, berpendapat serupa soal kelompok perusuh saat demo di Bandung. Ia bahkan mengaku sempat berkeliling ke beberapa tempat, dan menyaksikan akses jalan menuju gedung DPRD Jabar sudah ditutup, termasuk untuk menyulitkan petugas pemadam kebakaran datang.
“Mereka itu bang gimana cara nutup jalan supaya aparat itu enggak punya akses. Terus logistik mereka juga enggak habis-habis,” katanya.
Semakin malam, demo di Bandung pada saat itu memang semakin mencekam. Kerusuhan tak hanya terkosentrasi di DPRD Jabar, tapi juga menyebar ke sejumlah titik dengan membakar sejumlah fasilitas umum seperti pos polisi hingga videotron yang berada di sekitar area Taman Cikapayang.
Di malam itu, polisi yang berjaga pun seakan hanya bisa menyaksikan kerusuhan ini pecah dan menjalar ke mana-mana. Aparat pada saat itu sepertinya diperintahkan hanya untuk bertahan, mengingat ada tragedi meningggalnya Affan Kurniawan yang berpotensi bisa kembali menyulut kemarahan.
“Tipikal mereka itu geraknya dari belakang ke depan. Enggak usah instruksi, mereka udah paham sendiri. Jam segini harus ngapain, terus harus ngapain,” katanya.
“Dari awal pelemparan molotov, mereka emang enggak ada di tengah titik aksi. Mereka lempar itu dari belakang, jadi massa enggak tahu siapa yang lempar. Dan setelah itu dia enggak tahu kemana, berbaur sama massa supaya enggak dicurigai, polanya gitu,” tuturnya.
Semakin malam, massa yang bertahan dan mencoba melawan tembakan gas air mata makin bertindak beringas. Sekitar pukul 21.00 WIB, sebuah mobil yang diketahui terparkir di samping gedung DPRD Jabar, ikut jadi sasaran dan akhirnya hangus terbakar.
Setelah itu, memasuki sekitar pukul 22.00 WIB, massa berpindah ke depan area Gedung Sate. Mereka awalnya mencoba menjebol gerbang kantor Gubernur Jabar, namun akhirnya bisa dipukul mundur pasukan yang berjaga di sana.
Sumber infoJabar pun mengatakan, situasi baru bisa kondusif pada Sabtu (30/8) dini hari sekitar pukul 03.30 WIB. Polisi saat itu melakukan tindakan tegas dengan memukul mundur massa aksi hingga akhirnya bisa membubarkan diri.
Mengenai aksi yang berujung kericuhan ini, dua sumber infoJabar punya pendapatnya yang berbeda. Salah satunya menilai tindakan kelompok perusuh justru merugikan karena tidak fokus terhadap tuntutan yang disampaikan, namun yang satunya lagi menganggap wajar karena ini bagian dari bentuk kemarahan publik.