Di tengah derasnya arus teknologi kecerdasan buatan (AI), aplikasi seperti ChatGPT hingga Gemini kini tak hanya dipakai untuk mencari informasi atau membantu pekerjaan. Semakin banyak orang justru menjadikannya teman romantis.
Namun, di balik kisah manis hubungan digital ini, penelitian mengungkap sisi kelam yang bisa berbahaya bagi penggunanya.
Melansir infoInet, sebuah studi terbaru dari Universitas Brigham Young, yang dipublikasikan di Journal of Social and Personal Relationships, menemukan bahwa orang-orang yang berinteraksi dengan chatbot romantis cenderung lebih kesepian dan depresi dibandingkan mereka yang tidak.
Survei melibatkan 2.989 responden. Hasilnya, hampir satu dari lima orang menggunakan chatbot AI simulasi percintaan. Angka itu bahkan lebih tinggi di kalangan dewasa muda berusia 18-29 tahun, yakni mencapai seperempat responden.
Tak berhenti di situ, peneliti juga mencatat sisi gelap penggunaan chatbot ini. Tujuh persen responden mengaku melakukan masturbasi saat ngobrol dengan pendamping AI, dan 13 persen lainnya menonton film porno berbasis AI.
Pria lebih banyak terlibat dalam perilaku ini dibanding wanita, sementara kelompok dewasa muda tercatat dua kali lebih mungkin menjalin interaksi romantis dengan AI dibanding orang dewasa lebih tua.
Alih-alih menjadi solusi untuk mengisi kekosongan, hubungan dengan AI justru memperburuk perasaan terisolasi.
“Kami tidak menemukan bukti bahwa penggunaan AI membantu orang merasa tidak terlalu sendirian atau terisolasi,” kata peneliti Brian Willoughby. Dengan kata lain, lanjutnya, hubungan dengan AI malah memperparah kesendirian.
Temuan ini sejalan dengan riset OpenAI bersama MIT awal 2025 yang juga mengungkap pengguna ChatGPT paling aktif justru cenderung lebih kesepian.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan dewasa. Data Internet Matters menunjukkan 67% anak berusia 9-17 tahun menggunakan chatbot AI secara teratur. Sepertiganya merasa seperti berbicara dengan teman sungguhan, sementara 12 persen mengaku tidak memiliki teman nyata untuk diajak bicara.
Dalam kasus ekstrem, penggunaan chatbot secara obsesif bahkan dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental serius yang kini dikenal sebagai psikosis AI. Beberapa kasus berujung tragis pada bunuh diri hingga tindakan kriminal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meski AI menawarkan kehangatan buatan, hubungan dengan “kekasih digital” bukanlah jalan keluar dari kesepian manusia. Sebaliknya, teknologi bisa menyeret penggunanya semakin dalam ke jurang keterasingan.
Artikel ini sudah tayang di infoInet