Tasikmalaya merupakan kota kelahiran segudang penyanyi dangdut berkualitas yang mewarnai belantika musik Tanah Air.
Nama-nama pedangdut sekaliber Rhoma Irama, Itje Tresnawati, Evie Tamala, Caca Handika, Cucu Cahyati, Vety Vera, Kitty Andriani (Manis Manja Grup), Sona Orama hingga Alam Mbah Dukun, semuanya kelahiran Tasikmalaya.
Kesuksesan para penyanyi itu tentu tak lepas dari kiprah para musisi. Di masa-masa itu banyak sekali orkes melayu (OM) yang menjadi wahana bagi para penyanyi pemula untuk mengasah kemampuan olah vokal.
Satu grup musik dangdut yang menjadi pioner dan paling melegenda di Tasikmalaya adalah OM Sinar Remaja. Grup musik dangdut ini seakan menjadi kawah Candradimuka bagi banyak penyanyi dangdut sukses dari Tasikmalaya. OM Sinar Remaja menjadi grup musik legendaris di Tasikmalaya.
Lebih dari 7 dekade berlalu, OM Sinar Remaja masih bisa bertahan memainkan alunan merdu khas musik dangdut.
Siapa nyana, OM Sinar Remaja awalnya lahir dari sekelompok pekerja pabrik sandal milik Waskon Waskendar di daerah Cempakawarna Kota Tasikmalaya, di awal dekade 1960-an. Di sela aktivitasnya para pekerja pabrik sandal bermain musik dan bernyanyi lagu-lagu melayu. Dengan instrumen seadanya mereka asyik berdendang. Beruntung sang majikan, Waskon tak menegur. Justru dia malah senang, karena dia pun memiliki jiwa seni.
Selain jago bisnis produksi sandal, Waskon juga mahir main akordeon. Maklum Waskon adalah anak dari Abah Rusli, seorang pembeset rebab atau rengek (biola di musik tradisional Sunda).
“Waskon itu bapak saya, saya anak sulungnya. Dulu pabrik sandalnya di daerah Cempakawarna, sekitar tahun 60-an mulai lahir cikal bakal Sinar Remaja,” kata Iwa Somantri (70), Rabu (23/4/2025).
Aktivitas berkesenian antara bos dan pekerjanya itu terus berlanjut. Kondisi masyarakat kala itu yang tergolong masih minim hiburan, membuat aksi “tatabeuhan” untuk kesenangan mereka mulai menarik perhatian.
Akhirnya jadwal bermusik mulai dirutinkan, ini juga bertujuan untuk menjaga agar kegiatan produksi sandal tak terganggu.
Perlahan musikalitas para perajin sandal ini semakin terasah.
Formasi awal grup musik ini terdiri dari Slamet sebagai pencabik bass betot, Dodo penggoyang tamborin atau kecrek, Hikmat Apeng penabuh gendang, Saman pada gitar kopong (akustik), Onyon peniup suling, dan Anung penggesek piul alias violin. Sementara sang bos Waskon Waskendar, bermain akordeon.
Kekompakan yang terjalin dari 7 orang ini mampu menghasilkan harmonisasi nada yang apik.
“Lama-lama mulai ada yang nanggap (mengundang), entah itu acara pernikahan, khitanan atau kegiatan hiburan lainnya,” kata Iwa.
Di awal kemunculan dan ketenaran, grup ini bernama Sinar Harapan. Keterbatasan instrumen dan sistem suara tak menjadi halangan.
Apalagi dia awal-awal mereka tak terlalu berharap bayaran. Sekedar dapat makan dari si empunya hajat saja sudah cukup. Saat itu mereka hanya menyalurkan kesenangan dalam bermusik.
“Ya nggak mikir bayaran, kan mereka punya pekerjaan tetap, punya penghasilan,” kata Iwa.
Seiring berjalannya waktu, permintaan untuk pentas semakin banyak diterima oleh grup musik ini. Tak hanya di sekitar pusat kota, permintaan pentas datang dari daerah-daerah pelosok.
Akhirnya Waskon mulai membentuk manajemen, instrumen diperbaharui, kemampuan musisi terus diasah, menambah vokalis tetap serta menambah perbendaharaan lagu. Selain itu nama grup diganti menjadi Sinar Remaja.
“Sinar Harapan diganti jadi Sinar Remaja, kata bapak alasannya supaya “teu hayoh we harapan, kudu jadi kanyataan” (tak terus-terusan harapan harus jadi kenyataan),” kata Iwa.
Dari sinilah nama besar OM Sinar Remaja berkibar, merajai panggung-panggung hiburan di Tasikmalaya dan sekitarnya.
Grup musik ini sempat menelurkan album piringan hitam bertajuk Pantai Pangandaran. Sebagai bukti karya orisinal dari kreativitas musisi yang tak hanya piawai membawakan lagu orang lain.
Iwa yang saat itu masih anak-anak, sering diajak bapaknya pentas di banyak daerah.
Iwa mengaku terkenang dengan masa-masa itu, betapa keterbatasan tak menyurutkan semangat para musisi. Di sisi lain antusiasme masyarakat terhadap pentas musik sangat tinggi. “Ah “wararaas” (terkenang),” kata Iwa.
Dia mengatakan saat itu sistem suara atau sound system di atas panggung, hanya memakai speaker jenis membran yang diikatkan pada pohon kelapa. Speaker membran adalah pengeras suara berbentuk corong atau biasa disebut toa masjid.
“Kalau speaker membran gitu kan boro-boro ada suara bass. Tapi di masa itu terdengarnya enak saja, ya mungkin telinga kita juga belum tahu yang enak seperti sekarang,” kata Iwa.
Untuk sumber listrik kebutuhan pentas disuplai oleh accu, tak kurang 10 kotak accu disiagakan untuk kebutuhan pentas.
“Accu ada 10 unit lebih, habis pentas pagi-paginya di-charge sampai sore, jadi kalau besok malamnya ada pentas di tempat lain bisa dipakai lagi,” kata Iwa.
Antusiasme masyarakat terhadap para musisi dan penyanyi pun cukup tinggi. Mereka diidolakan, hingga memiliki fans fanatik yang setia mengikuti setiap pertunjukan.
Sinar Remaja kerap menjadi pengisi hiburan puncak di perhelatan tingkat Kabupaten Tasikmalaya, seperti event Tasik Festival atau acara-acara bersponsor.
Iwa sendiri pada akhirnya mulai ikut bermain musik. Dia menjadi musisi di Sinar Remaja sebagai pemain keyboard.
“Saya pemain Sinar Remaja generasi ketiga, saya mulai main di awal tahun 80-an,” kata Iwa.
Kemudian di tahun 1989, Iwa membentuk sendiri grup orkes melayu yang diberi nama Kelana Remaja. Langkah ini untuk memenuhi permintaan pentas Sinar Remaja yang semakin padat, sekaligus menjadi tempat bagi Iwa untuk mengekspresikan idealisme bermusiknya.
“Jadwal pentas Sinar Remaja semakin banyak hingga ke luar provinsi, ke Banten, Jawa Tengah sampai Jawa Timur juga pernah,” kata Iwa.
Di masa itu Sinar Remaja berada di puncak kejayaannya, mengiringi ketenaran penyanyi-penyanyi kondang yang terus bermunculan.
Tapi pada akhirnya roda zaman berputar, teknologi berkembang pesat dan cara masyarakat mendapatkan hiburan semakin mudah dan beragam.
Job manggung orkes melayu semakin sepi. Menghadirkan dangdut live dengan formasi lengkap, dianggap terlampau mahal. Organ tunggal atau electone dianggap lebih efisien, murah meriah.
Di sisi lain pamor musik dangdut di awal tahun 2000-an meredup akibar gempuran musik pop berirama melayu.
“Kalau menurut saya musik dangdut tidak redup, antusiasme masih tinggi. Hanya kalau untuk orkes melayu atau dangdut live memang dianggap agak berat, mahal. Semua lari ke organ tunggal,” kata Iwa.
“Organ tunggal kan tidak perlu panggung dan sound system besar, di teras rumah juga jadi. Seorang pemain tambah satu dua orang penyanyi, jadi dangdutan,” imbuh Iwa.
Meski demikian Iwa mengatakan, saat ini pihaknya masih siap jika Sinar Remaja atau Kelana Remaja diminta pentas. Peralatan dan pemain selalu siaga. Termasuk melayani organ tunggal pun siap.
Terlepas dari Sinar Remaja yang masih bisa eksis hingga saat ini, Iwa tak menampik jika ada beberapa mantan pemain Sinar Remaja yang terpaksa turun ke jalan, mengamen agar bisa bertahan hidup.
Salah satunya dilakoni Soma, mantan gitaris Sinar Remaja yang kini berkeliling mengamen sambil bermain gitar dan bernyanyi.
“Soma adalah gitaris Sinar Remaja generasi kelima, ya kabarnya mengamen,” kata Iwa.