‘Setiap Hujan Kami Tak Bisa Tidur’, Trauma Eneng 50 Tahun Dihantui Banjir

Posted on

“Setiap hujan turun, kami tidak bisa tidur nyenyak,”. Kalimat itu terlontar dari mulut Eneng, warga Kampung Braga RT 2 RW 2, Kota Bandung. Bersama puluhan kepala keluarga lainnya, Eneng sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan banjir yang datang tanpa permisi.

Kampung Braga, yang terletak di bantaran Sungai Cikapundung, telah lama dikenal sebagai salah satu kawasan langganan banjir di Kota Bandung. Letaknya yang berada di dataran rendah, ditambah kondisi lingkungan yang padat, membuat wilayah ini sangat rentan banjir ketika curah hujan meningkat.

Air sering meluap dari sungai, merendam rumah-rumah warga. Meski terbiasa, bukan berarti warga menyerah pada keadaan. Bagi Eneng, tinggal di bantaran sungai memang beresiko. Dia pun menyambut baik wacana relokasi bagi warga yang tinggal di bantaran sungai.

“Kita mah warga yang bermukim di pinggir sungai sudah menyadari risikonya, kalau memang harus direlokasi silahkan,” kata Eneng saat berbincang dengan infoJabar.

Pemerintah Kota Bandung memang telah menyampaikan wacana relokasi bagi warga yang tinggal di zona rawan banjir. Namun, belum ada kejelasan soal waktu, lokasi, maupun fasilitas yang akan disediakan.

Eneng pun berharap pemerintah tidak sekadar menggusur, tapi benar-benar menyediakan hunian yang manusiawi dan terjangkau. “Asal kita minta tempatnya yang layak untuk ditempati dan ada untuk kita usaha, percuma kita dipindah kalau gak ada pemasukan,” ungkap Eneng.

Sudah lebih dari 50 tahun Eneng tinggal di Kampung Braga. Selama itu, sudah beberapa kali rumahnya dilanda banjir bahkan hingga hancur. Eneng terpaksa bisa bertahan karena keterbatasan.

“Kita tahu ini daerah banjir, cuma karena kita memang dari dulu di sini ya kita bertahan. Tapi kalau memang kita harus direlokasi, mau tidak mau ya kita nurut, dengan catatan tadi tempatnya layak dan ada buat usahanya,” tuturnya.

Eneng menceritakan, selama tinggal di Kampung Braga, ada 3 kejadian banjir besar yang masih teringat dalam benaknya. Banjir itu terjadi di tahun 2007, 2015 dan terakhir 2024 lalu.

Saat banjir besar, rumah Eneng yang berada persis di sisi Sungai Cikapundung rusak tergerus derasnya air. Bahkan pada setahun lalu, rumah Eneng hancur karena banjir yang datang tiba-tiba.

“Ada beberapa kali, itu tahun 2007, 2015 sama kemarin 2024. Tapi paling parah 2024 kemarin, yang 2015 cuma bagian belakang jebol, kemarin mah hancur semua sampai gak ada yang sisa,” katanya.

Kini Eneng hanya bisa berharap pemerintah serius dalam menangani masalah banjir, termasuk mencari solusi untuk kehidupan warganya. “Setiap banjir kita trauma, setiap hujan kalau malam kita gak bisa tidur, trauma kita takut banjir lagi. Semua warga pasti ngerasain ini,” ujarnya.

Banjir Parah