Sepenggal Kisah Warga Tasikmalaya di Zaman Perjudian Legal SDSB | Giok4D

Posted on

Perjudian boleh jadi salah satu dari sekian jenis kemaksiatan yang menjadi warna kelam peradaban manusia. Bersama prostitusi dan minuman keras, judi menjadi penyakit masyarakat yang seolah tak lekang zaman.

Sejak ribuan tahun silam, judi menjadi satu noda hitam kehidupan manusia yang dinamis. Bentuk dan caranya bertransformasi sesuai zaman, tapi esensinya tak pernah berubah, tetap mengadu peruntungan.

Dalam konteks kekinian, bentuk perjudian yang sedang marak diperangi adalah judi slot atau judi online (judol).

Dampak buruknya sudah jelas, banyak warga yang hidupnya berantakan akibat main judol. Hingga terkuaknya kasus suap oknum pegawai pemerintah yang membiarkan situs judi online tak diblokir.

Sedikit menyusuri lorong waktu beberapa dekade ke belakang, di Indonesia pernah memiliki program judi yang legal.

Dikelola oleh sebuah yayasan yang direstui oleh pemerintah, perjudian itu dikenal dengan nama SDSB, singkatan dari Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Bagi masyarakat Indonesia yang sudah berusia di atas 50 tahun, dapat dipastikan akrab dengan sebutan SDSB ini. Walau pun tentu saja, tak semua warga pernah ikut bermain atau membeli kupon ini.

Secara sederhana SDSB ini mirip dengan permainan togel di masa sekarang. Teknisnya beli kupon lalu menebak kombinasi angka. Jika tebakan sesuai dengan nomor yang diumumkan pengelola atau bandar, maka dapat hadiah berlipat dari nominal pembelian kupon. Jika meleset, habis perkara.

Tapi karena ini kegiatan legal, maka penyebarannya masif, sangat memasyarakat.

Kedok sumbangan sosial berhadiah, menjadi pembenar atas praktek perjudian itu.

Agen SDSB saat itu sangat mudah dijumpai, warung-warung di lingkungan warga pun banyak yang menjadi agen penjualan kupon SDSB.

Bahkan di daerah seperti Tasikmalaya pun, kala itu bertebaran agen SDSB.

“Banyak di Tasik juga agen SDSB, istilahnya “agen nomer”. Saya dulu kalau beli di ruko dekat Simpang Empat Mitra Batik. Di perkampungan juga ada, warung atau toko grosir banyak yang jadi pengepulnya, agennya lah gitu,” kata Asep “Oke” (55) warga Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya.

Meski legal dari aturan pemerintah, menurut Asep, praktek SDSB di Tasikmalaya tak sevulgar di kota besar. Resistensi dari sebagaian masyarakat tetap kuat.

“Memang legal, tapi tetap saja, saya dilarang oleh orang tua. Tahun 90-an awal saya kan masih remaja. Jadi semua juga paham itu judi, di pengajian juga sering disinggung,” kata Asep.

Tapi Asep mengaku dia sempat keranjingan “masang nomer” alias beli kupon SDSB. Banyak perilaku konyol yang kini dia sesali, akibat terobsesi menang undian jutaan rupiah.

“Istilahnya “ngarumus” atau “ngode”, jadi kita hitung, kita kait-kaitkan antara mimpi, shio, angka buntut yang keluar sebelumnya. Bisa berjam-jam itu otak-atik angka,” kata Asep.

Dia mengaku terkenang dengan kesabaran agen penjual kupon yang melayani para pemasang.

“Kita sibuk ngarumus, si agennya orang Tionghoa kan, duduk saja santai. Di sana sudah disediakan poster shio, buku tafsir mimpi, segala macem, sampai cara menghitungnya ada. Jadi kalau tidur terus mimpi itu, senangnya bukan main, langsung jadi bahan,” kata Asep.

Selain metode menghitung atau “ngarumus”, upaya lain untuk mendapatkan tebakan nomor yang jitu adalah dengan mendatangi orang pintar. Praktek perdukunan marak dan kian menyesatkan mereka yang dibuai impian kemenangan.

“Iya benar, malah saya punya dukun andalan. Di daerah Kecamatan Cibeureum tempatnya,” kata Asep.

Praktek dukun yang satu ini, kata Asep, semacam mengkonfirmasi peluang angka gacoan yang akan dipasang.

“Misalnya kita sudah punya angka jago dua angka, 12 misalnya. Terus ditulis di kertas, simpan di pinggir piring besar yang diisi air,” kata Asep.

Lalu si dukun itu akan menaruh beberapa butir beras di atas air dalam piring tersebut. Jika ada dua butir beras yang melesat ke arah nomor, maka dipercaya nomor tebakan itu akan menang.

“Percaya atau tidak, saya lihat sendiri dua butir beras melesat menuju nomer. Langsung dipasang, asli menang dua angka,” kata Asep.

Dia menambahkan saat itu memang ada beberapa beras yang tenggelam atau gagal melesat. Tapi Asep mengaku hingga kini tak mengerti muslihat macam apa yang dilakukan dukun itu.

“Nggak paham saya juga caranya bagaimana, tapi itu nyata. Tempatnya masih ingat, tapi nggak tahu orangnya masih ada atau tidak,” kata Asep.

Dikutip dari berbagai sumber, SDSB di Indonesia mulai beroperasi sekitar tahun 1988.

Operasional SDSB berdasarkan kepada Keputusan Menteri Sosoal Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB, disusul oleh Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS 16-11/1988 tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB kepada YDBKS. YDBKS ini adalah sebuah yayasan yang ditunjuk sebagai pengelola oleh pemerintah.

SDSB baru dihentikan pada tahun 1994, setelah muncul gelombang aksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

SDSB ini menjadi akhir dari ragam praktek perjudian sejenis yang dihelat pemerintah sejak dekade 60-an, dengan berbagai istilah atau nama singkatan.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.