Ruang kelas di SMA dan SMK Taman Siswa Bandung kini tak lagi dipenuhi suara tawa dan langkah kaki siswa baru. Sebagian meja kursi tampak tak tersentuh. Tak ada juga suara perkenalan siswa baru di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Informasi dari pihak yayasan, di ruang kelas SMA, hanya lima kursi yang terisi dari kapasitas lebih dari 30. Sementara di SMK, tak satu pun siswa baru yang hadir.
Padahal, sekolah ini bukan sembarang sekolah. Taman Siswa Bandung dikenal luas sebagai tempat lahirnya atlet-atlet besar Tanah Air seperti Taufik Hidayat, Eka Ramdani, Ferdinand Sinaga, hingga Siti Nurjanah.
Namun tahun ajaran 2025/2026 ini, sekolah legendaris itu menghadapi kenyataan pahit karena pendaftar yang nyaris tak ada. Pihak yayasan menyebut, kondisi ini disebabkan karena kebijakan penambahan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri.
“Kondisi tahun ini belum memenuhi harapan karena dampak daripada kebijakan Gubernur yang mengizinkan sekolah negeri menerima sampai 50 siswa per rombel,” ujar Anwar Hadja, Ketua Bidang Organisasi dan SDM Yayasan Perguruan Taman Siswa saat ditemui, Kamis (17/7/2025).
Anwar mengungkapkan sebelumnya sempat ada delapan pendaftar untuk jenjang SMA dan lima untuk SMK. Namun menjelang masa MPLS, jumlah itu menyusut drastis.
“Dari 8 orang yang daftar di SMA, 3 orang ditarik ke sekolah negeri. Yang SMK, kelimanya sudah bayar, sudah daftar, tapi juga ditarik ke negeri. Jadi mengalami penyusutan,” kata Anwar.
Saat ini, MPLS pun belum bisa dimulai. Pihak sekolah masih menunggu hingga akhir Juli, berharap akan ada gelombang pendaftar susulan seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun suasana di sekolah tetap mengkhawatirkan.
“Kondisinya mengkhawatirkan. Kita masih berharap agar kebijakan itu dicabut, atau setidaknya dievaluasi dengan memperhitungkan sekolah swasta. Sekolah swasta sudah ada sejak zaman penjajahan, sebelum sekolah negeri ada,” tegas Anwar.
“Jangan dianggap kompetitor, tapi mitra. Harus ada distribusi siswa yang adil, jangan sampai sekolah swasta tutup hanya karena kebijakan yang tidak berpihak,” tambahnya.
Meski siswa baru belum datang, kegiatan belajar untuk kelas XI dan XII masih berjalan. Untuk SMA, tercatat 20 siswa aktif, sedangkan SMK memiliki 15 siswa. Namun minimnya jumlah siswa membuat jam mengajar guru menjadi berkurang.
“Guru-guru yang punya sertifikat masih mengajar, karena juga mengajar di tempat lain. Tapi tetap was-was. Kalau jumlah siswa makin sedikit, jam mengajar juga berkurang. Untuk guru honorer, kalau muridnya habis, ya mereka harus cari tempat lain,” ujar Anwar.
Anwar menjelaskan, masa kejayaan Sekolah Taman Siswa ada di periode 1980 hingga 2010 dimana jumlah siswanya mencapai ribuan dan banyak melahirkan atlet-atlet berbakat.
Namun semuanya berubah saat kebijakan zonasi diterapkan. Jumlah siswa di Sekolah Taman Siswa terus menurun.
“Puncaknya ya sekarang ini. Pukulan telak bagi kami adalah kebijakan terbaru soal rombel itu. Dulu kami berharap setelah pergantian menteri, zonasi jadi domisili itu membawa angin segar. Tapi ternyata malah muncul kebijakan yang makin memberatkan,” ujarnya.
Menghadapi situasi ini, Yayasan Taman Siswa tak tinggal diam. Selain mempertahankan jenjang pendidikan yang ada, mereka berencana membuka jalur pendidikan non-formal seperti sekolah keterampilan atau paket C.
“Kami ingin mengulangi kejayaan Taman Siswa. Kami sadar banyak yang perlu diperbarui secara internal, dan kami akan mulai dari sana,” kata Anwar.
Ia pun menitipkan harapan kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar lebih bijak dalam mengambil kebijakan pendidikan. “Pemerintahan harus memperhatikan sekolah swasta, itu harapan kita semua. Sayang kalau sampai tutup, katanya jangan lupakan sejarah. Saya berharap Dedi Mulyadi lebih bijak,” pungkasnya.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.