Satu keluarga di Kampung Sabandar Kidul, Desa Sabandar, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur begitu memprihatinkan. Empat orang yang terdiri dari kakak beradik dan anak menderita gangguan kejiwaan di tengah kondisi ekonomi yang serba terbatas.
Di tengah kondisi tersebut kakak beradik yang bernama Asep Saepuloh (38), Rizki Nurpalah (33), Ai Yulianti (40), serta anaknya Ai, yakni Resa Armelia (20) juga dihadapkan dengan perekonomian keluarganya serba kekurangan lantaran ketiganya yang tak dapat bekerja.
Sehari-hari, mereka yang tinggal di rumah berukuran 3×4 meter itu hanya mengandalkan dari anggota keluarga lain yang bekerja sebagai buruh serabutan untuk makan.
Yana Mulyana (47), tetangga keluarga AI, menyebutkan jika dari keempat orang tersebut, yang paling pertama mengalami gangguan kejiwaan ialah Ai.
“Yang pertama itu Bu Ai, alami gangguan jiwa setelah bercerai dengan suaminya pada tujuh tahun lalu,” kata dia, Sabtu (6/9/2025).
Bahkan lanjut dia, Ai sempat tiba-tiba marah-marah kepada tetangganya karena melihat suami orang lain seperti mantan suaminya.
“Pernah suatu waktu Bu Ai marah-marah, katanya itu suami saya kenapa sama kamu? ya sempet heboh gitu lah. Padahal itu suami tetangga, tapi itu sudah lama sekali. Setelah itu tidak pernah membuat rusuh,” katanya.
Selain AI dua adiknya yakni Asep Saepuloh dan Rizki Nurpalah juga kemudian mengalami kondisi serupa. Himpitan ekonomi membuat keduanya juga mengalami gangguan kejiwaan.
“Sebenernya ada lagi satu adiknya yakni Sandi Pauji (34) yang juga sempat alami gangguan kejiwaan. Tapi setelah membaik, meninggal dunia 10 hari yang lalu,” kata dia.
Menurutnya, anak Ai yakni Resa juga mengalami gangguan kejiwaan sekitar tiga bulan lalu. Gadis malang itu awalnya depresi gegera ditinggal nikah oleh mantan kekasihnya.
Dia mengatakan keluarga tersebut jarang menimbulkan keresahan seperti mengamuk atau tindakan lainnya, tapi seringkali terlihat berbicara sendiri atau mengumpulkan barang-barang busuk dan bekas dari pasar.
“Masyarakat juga tidak pernah membully, justru kasihan. Terkadang saya suka lihat mereka nongkrong di depan gitu, terus ke pasar pulang-pulang bawa buah busuk, sayur busuk, dan sampah dari pasar,” ujarnya.
Dia mengatakan untuk makan sehari-hari, mereka mengandalkan penghasilan dari anggota keluarganya yang lain. Namun penghasilan pekerjaan buruh serabutan membuat mereka kesulitan.
“Ada adiknya yang lain masih normal, sehingga dia yang bekerja. Tapi pekerjaannya serabutan. Sehingga kondisi enominya sulit, makan seadanya,” kata dia.
Dia menuturkan pihak RT, desa, hingga Puskesmas sudah beberapa kali turun memberikan pemeriksaan dan bantuan seadanya. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut berupa perawatan di rumah sakit jiwa.
“Pernah diperiksa, diberi obat juga, rumahnya juga pernah dibersihkan, tapi untuk dibawa ke rumah sakit jiwa belum pernah,” katanya.
Dia berharap pemerintah daerah bisa lebih serius menangani warganya yang mengalami gangguan jiwa, terutama dari keluarga kurang mampu.
“Harapan kami, segera dibawa ke rumah sakit jiwa. Dirawat jangan sampai dibuang. Jangan sampai berlarut-larut karena kasihan kondisi keluarga ini, dan segala macam hambatan kesulitan yang dialami keluarga yang sakit jiwa ini, diatasilah. Soalnya kan mereka ini ya keluarga yang kurang mampu, jadi yang mereka takutkan itu kalau di rawat di RSJ takutnya mengeluarkan biaya, kalau sampai mengeluarkan biaya mereka angkat tangan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Karangtengah Yudiansyah, mengatakan pihaknya sudah meninjau kembali keluarga tersebut untuk evaluasi dari pemberian obat dan upaya pendampingan
“Alhamdulillah empat orang ini ada progres. Secara mental lebih tenang, tidak banyak mengurung diri, dan sudah mulai berinteraksi sosial di lingkungan rumah. Meski belum maksimal, ini jadi kemajuan yang cukup baik,” ujarnya.
Menurutnya, obat tetap diberikan untuk 10 hari ke depan, dengan rencana evaluasi lanjutan setelahnya.
“Kami lanjutkan pemberian obat selama sepuluh hari. Insyaallah setelah sepuluh hari kita kunjungi lagi, mudah-mudahan kondisinya bisa lebih baik lagi,” katanya.
Meski begitu, dia mengungkapkan satu pasien, yakni Resa Armelia, masih menolak perawatan karena merasa dirinya tidak sakit. Padahal, sejak tiga bulan terakhir, dia mulai menunjukkan perubahan perilaku seperti sering mengurung diri, enggan bersosialisasi, hingga berhenti bekerja.
“Secara fisik memang sehat, tapi secara psikis ada perubahan signifikan. Dari keterangan keluarga, sejak putus dengan pacarnya, lalu pacarnya menikah dengan orang lain, Resa mengalami depresi. Namun untuk saat ini masih bisa ditangani di tingkat Puskesmas dengan dukungan keluarga dan kader kesehatan,” katanya.
Dia menyebut, empat pasien tersebut belum direkomendasikan untuk dirawat di rumah sakit jiwa karena masih dapat ditangani di Puskesmas.
“Mereka masih bisa ditanggulangi dengan obat dan pendampingan psikososial,” katanya.
Namun, persoalan lain muncul terkait administrasi kependudukan dan kepesertaan BPJS. Dari empat warga ODGJ tersebut, tiga sudah tercatat sebagai peserta, hanya ada perbaikan nama untuk Asep Saepuloh. Sedangkan Ai Yulianti belum memiliki BPJS karena belum memiliki kartu keluarga (KK).
“Untuk Bu Ai memang belum ada kepesertaan BPJS. Jadi kendala administrasi ini harus segera diurus, agar nantinya bila perlu perawatan di rumah sakit bisa ditanggung,” katanya.