Sejarah Penggunaan Kuda di Kuningan Menurut Surat Kabar Hindia Belanda

Posted on

Sebagai wilayah yang dijuluki Kota Kuda, Kuningan memiliki sejarah yang panjang soal penggunaan kuda. Catatan penggunaan kuda di Kuningan diabadikan dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda salah satunya adalah surat kabar Java Bode 24 Juli 1883.

Kala itu, kuda delman digunakan dalam prosesi pelantikan Bupati Kuningan. Untuk prosesinya sendiri, pertama Kepala Residen meminta Bupati Kuningan sebelumnya bersama dengan Bupati Galuh (Ciamis) dan seorang petugas dari Plumbon untuk menjemput Bupati baru dengan menaiki kereta kuda atau delman yang terbuka. Di belakangnya, terdapat para kepala desa dan tokoh masyarakat yang mengikuti iringan penjemputan Bupati baru di rumahnya.

“Pada pukul sepuluh, Bupati yang baru dilantik tiba dengan kereta terbuka. Kereta itu melaju seperti berjalan kaki perlahan dan didahului oleh para pembawa bendera. Syair-syair mengiringi kedatangan Bupati. Semua kepala adat mengikuti kereta itu dengan berjalan kaki, menunggang kuda, dan berpakaian lengkap. Setiap kuda dituntun satu per satu dengan diiringi nyanyian terbuka dari masing-masing kepala adat,” tulis surat kabar Java Bode 24 Juli 1883.

Karena meriah, prosesi pelantikan Bupati Kuningan yang baru tersebut ditonton oleh ribuan penduduk Kuningan. Ribuan penduduk memadati area jalan menuju pendopo yang menjadi tempat berlangsungnya pelantikan. Penduduk bahkan mengikuti iring-iringan Bupati bersama para kepala adat menuju pendopo.

Selain digunakan dalam prosesi pelantikan, delman juga digunakan penduduk Kuningan untuk mengangkut wisatawan yang ingin berwisata di area Gunung Ciremai. Mengutip surat kabar De Locomotif edisi 28 Maret 1918 , biasanya mayoritas wisatawan yang merupakan warga Eropa tersebut akan naik kuda delman menyusuri setiap sudut keindahan Gunung Ciremai.

Bahkan, para wisatawan tersebut akan berkuda dari Kuningan sampai Majalengka. Lalu dari Majalengka mereka akan pulang naik kereta atau mobil menuju Cirebon. Ada juga wisatawan tersebut melanjutkan perjalanannya menuju Danau Panjalu yang ada di Ciamis.

“Dengan berjalan kaki atau berkuda seseorang dapat pergi ke Majalengka dan kemudian dengan mobil atau kereta melalui Majalengka ke Cirebon. Perjalanan yang indah adalah ke Danau Panjalu. Dengan mobil atau kereta, seseorang dapat mencapai Kawali tanpa lereng utama di sepanjang jalan baru, yang berbelok kiri melewati Tjikidjing, dan kemudian berbelok kanan ke Pandjaloe,” tulis surat kabar De Locomotif edisi 28 Maret 1918.

Pada masa Hindia Belanda juga, Kuda Kuningan sering diikutkan dalam lomba pacu kuda yang diadakan di Cirebon. Bagi peternak kuda di Kuningan, lomba pacu kuda menjadi ajang unjuk gigi bagi kuda Kuningan yang terkenal berkualitas.

“Kabar panitia Pasar Malam akan menyelenggarakan pacuan kuda darat di Cirebon disambut gembira, khususnya oleh para peternak kuda di Majalengka dan Kuningan . Lagi pula, pengembangbiakan kuda telah berlangsung di sana selama beberapa tahun, tetapi mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengukur hasil dan kualitas kuda,” tulis surat kabar De Locomotif edisi 29 Agustus 1929.

Sebanyak 73 ekor kuda terdaftar untuk lomba pacu kuda di Cirebon. Bagi peternak, ajang perlombaan pacu kuda merupakan ajang untuk menaikkan harga kuda. Pasalnya, bagi yang juara satu, kuda yang sebelumnya dihargai 500 gulden, setelah menang lomba harganya langsung naik menjadi 1.800 gulden.

Untuk kuda juara kedua, sebelumnya dihargai 150 gulden, tapi setelah ikut lomba dan menunjukkan kualitasnya, harganya langsung naik menjadi 500 gulden. Lewat ajang pacu kuda, membuat peternak termotivasi untuk terus meningkatkan kualitas kudanya.

Sebagai alat transportasi tradisional yang mengandalkan tenaga kuda, pada masa Hindia Belanda, delman juga pernah mengalami kecelakaan seperti yang ditulis dalam surat kabar Deli Courant edisi 27 September 1910. Kala itu, delman dengan penumpang tiga orang wanita mengalami kecelakaan di Perbatasan Kuningan-Cirebon.

Saat itu, bersama dengan kusir kuda mereka beristirahat sejenak setelah melewati lereng gunung yang berat. Rencananya, mereka akan melanjutkan perjalanan lewat Kuningan menuju Ciamis. Namun, saat sang kusir sedang beristirahat di warung, dan meninggalkan tiga penumpangnya di delman. Karena kelelahan, tiba-tiba, kuda jantan delman tersebut mengamuk, hal ini mengakibatkan delman menjadi terguling dan menimpa ketiga wanita tersebut.

“Dengan delman yang bergerak di belakangnya, kuda jantan yang berapi-api itu berlari kencang di sepanjang jalan, diikuti oleh kusir yang mengikutinya. Teriakan minta tolong dari mereka yang ketakutan. Tiba-tiba gerobak delman itu menabrak batu besar di pinggir jalan. Para penumpangnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh satu sama lain. Kendaraan itu miring ke satu sisi, ke arah mana para wanita berguling, delman pun terbalik. Beberapa tubuh terlempar keluar, terbentur batu-batu besar dan terseret agak jauh, dengan luka memar yang parah,” tulis surat kabar Deli Courant edisi 27 September 1910.

Akibat kecelakaan tersebut salah satu wanita ditemukan meninggal di tanah yang keras dengan kondisi tubuh yang penuh luka. Dua penumpang lainnya tergeletak dengan luka memar yang parah, keduanya dibawa ke rumah sakit untuk diberi perawatan. Dan untuk mayatnya dibawa ke kota untuk diperiksa lalu dimakamkan. Untuk kusirnya sendiri akan dikenakan hukuman penjara.

Digunakan Angkut Wisatawan ke Ciremai

Kuda Kuningan di Masa Hindia Belanda

Kecelakaan Delman