Suasana RT 06 RW 03 Desa Sukamulya, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan tampak berbeda pada peringatan HUT RI ke-80. Gang perumahan warga dihiasi bentangan bendera merah putih sepanjang hampir satu kilometer, membentang gagah dari ujung ke ujung. Anak-anak berlarian riang di bawahnya, sementara para orang tua duduk menikmati pemandangan yang hanya bisa lahir dari kekompakan warganya sendiri.
Bentangan bendera ini bukan sekadar hiasan, melainkan simbol persatuan yang berakar pada tradisi gotong royong puluhan tahun. Ketua RT 06 RW 03 Desa Sukamulya, Didi Humaidi, menjelaskan bahwa dana untuk membuat bendera jumbo itu berasal dari urunan warga, namun dengan cara yang berbeda dari kebanyakan tempat.
“Buat bendera merah putih ini habisnya bisa sampai Rp 10 jutaan. Itu asalnya dari iuran beras Perelek,” tutur Didi, Minggu (17/8/2025).
Nama Beras Perelek memiliki arti beras seadanya. Di balik istilah itu terkandung filosofi sederhana, setiap warga menyumbang sesuai kemampuan, tanpa paksaan.
“Namanya Beas Perelek artinya beras yang sedikit. Warga bebas bisa ngasih berapa saja, ada yang satu kobok, satu baskom, satu cangkir tergantung orangnya saja niatnya seberapa. Itu tradisi sudah berlangsung lama, rutin dilakukan di RT 06, dari zaman dulu juga itu sudah ada,” lanjutnya.
Tradisi ini semula dijalankan setiap hari. Namun, demi meringankan beban, akhirnya diganti menjadi seminggu sekali, tepat di hari Jumat. Usai salat Jumat, Didi akan berkeliling rumah warga untuk mengumpulkan beras perelek.
Setelah terkumpul, beras itu disimpan, lalu dijual saat diperlukan. Dari hasil penjualan itulah warga bisa memperbaiki lampu jalan, membeli kain kafan untuk warga yang meninggal, membantu mereka yang terkena musibah, hingga mendanai kegiatan besar seperti peringatan kemerdekaan.
“Kalau sudah terkumpul beras itu dijual. Uangnya buat keperluan warga bersama-sama. Kayak buat bendera 17-an, benerin lampu jalan. Kalau yang meninggal, uangnya itu buat beli kain kafan. Jadi sederhana, konsisten tapi manfaatnya banyak. Setiap jual juga ada yang saja yang beli,” tutur Didi.
Bukan hanya itu, uang hasil beras perelek bahkan pernah dikelola untuk membeli sawah. Sawah itu kemudian disewakan, dan hasilnya masuk kembali ke kas warga.
“Uang dari beras Perelek juga ada yang diolah untuk dibelikan sawah tahunan. Sawahnya terus disewakan. Itu sampai Rp 12 Juta setahun. Jadi selalu ada pemasukan kalau panen. Uangnya itu balik lagi ke warga. Kalau ketua RTnya ganti, nanti uang kasnya diturunkan ke penerus selanjutnya,” ungkapnya.
Di balik pilihan menggunakan beras sebagai iuran, ada alasan yang sangat membumi. Mayoritas warga di sana adalah petani. Maka, menyumbang beras terasa lebih ringan dan adil dibandingkan dengan uang tunai.
“Karena prinsipnya jangan sampai memberatkan warga. Apalagi kebanyakan di sini petani. Cara merutinkan kita rutin kasih pemahaman ke warga. Kalau bukan oleh kita nanti sama siapa lagi, kan hasilnya balik lagi buat kita,” pungkas Didi.