“Jangan sampai lolos!”, teriak sebuah suara di Tegal Licin ketika rombongan pengagung di Sumedang sedang mengadakan acara perburuan rusa. Mendengar itu, Pangeran Kornel muda yang dikenal dengan nama Raden Suria lari secepat mungkin mengejar rusa yang telah menjadi incarannya.
Semakin jauh dia berlari, semakin jauh pula dia dari panggung para pengagung yang hadir dalam perburuan itu. Semakin jauh dia berlari, semakin sepi di sekitarnya, hanya deretan semak-semak di kaki Gunung Tampomas.
Rusa lolos dari pandangnya. Dan karena telah jauh dia berlari, sudah semestinya dia kembali. Dia membalikkan badannya ketika suara telapak kuda terdengar berlari ke arahnya. Dia mengenal yang berkuda itu adalah Ki Permagati. Tidak ada prasangka buruk bahwa dia sedang jadi incaran maut.
Semakin dekat Ki Permagati kepadanya, Raden Suria mendengar semak-semak di belakangnya pecah diterjang kuda yang lain. Yang di atas kuda mengacungkan gobang dan berteriak menghadang Ki Permagati.
Orang yang diketahui sebagai Patinggi Nyalindung itu berkata, “kalau kamu berani melukai yang tidak berdosa, ayo mana yang lebih dulu, kamu atau saya yang lebih dulu mati!”. Demikian yang diceritakan R. Memed Sastrahadiprawira dalam prosa sejarah berjudul ‘Pangeran Kornel’ (Rahmat Cijulang, 1986).
Merasa terancam nyawa, akhirnya Raden Suria lari menyusuri hutan sampai ke Limbangan menelusuri leluhur ayahnya, sebelum akhirnya mencari suaka ke Cianjur.
Usianya masih muda, namun di kemudian hari, Raden Suria yang merupakan trah Pangeran Geusan Ulun adalah pewaris tahta sesungguhnya Kabupaten Sumedang. Sewaktu ayahnya, Adipati Surianagara II meninggal dunia, Raden Suria yang bernama kecil Raden Jamu tidak bisa dilantik sebagai bupati di Sumedang karena usianya masih kecil.
Akhirnya, jabatan bupati diserahkan kepada pamannya, namun tidak lama sebab keburu meninggal dunia. Pada tahun 1775, Bupati Sumedang akhirnya dijabat oleh ‘penyela’ yaitu Bupati Parakanmuncang, dilanjutkan oleh menantunya.
Namun, kekuasaan manis adanya. Terlebih, ‘Pj’ Bupati Sumedang Patrakusumah yang berasal dari Kabupaten Parakanmuncang itu, terkena hasutan seorang kepala mata-mata bernama Demang Dongkol. Akhirnya, Raden Suria kena fitnah supaya tidak jadi mewarisi tahta kebupatian.
Kembali ke Raden Suria, ia lari ke Limbangan untuk menemui kakeknya. Dengan situasi serba sedih, dia meninggalkan istrinya, Raden Ayu Rajaningrat yang merupakan anak Patrakusumah. Dia menembus lebatnya hutan Gunung Kareumbi sampai di Limbangan.
Bagaimanapun, berada di Limbangan tidak menjamin Raden Surianagara aman dari kejaran ‘orang-orang Sumedang’. Lagipula, fitnah yang menerjangnya munasabah dengan pelariannya. Yaitu, ketika perburuan di Tegal Licin, bupati celaka dan ketika orang-orang ribut memberikan pertolongan, Raden Suria malah tidak ada di tempat.
Kakeknya di Limbangan ingin sekali situasi menjadi lebih baik untuk Raden Suria dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memintanya pergi ke Cianjur, mencari perlindungan kepada Bupati Cianjur, Aria Wiratanudatar. Titah itupun dilaksanakan, dia berjalan kaki melintasi Nagreg, Cileunyi, lalu terus ke Cianjur.
Namun, sesampainya di Cianjur dia tidak langsung menemui bupati, meski dia membawa sepucuk surat dari kakeknya. Dia tinggal di wilayah yang disebut Kalapanunggal. Sampai saatnya tiba, keahliannya dalam berburu rusa dengan menunggangi kuda bukan keahlian para pemburu pada umumnya. Kuda pinjaman dari Lurah Kalapanunggal itu membuatnya bernilai di mata Bupati Cianjur.
Perjumpaan dengan bupati terjadi. Setelah mengetahui silsilah keluarga dan bupati membaca suratnya, percayalah bahwa benar Raden Surianagara merupakan menak Sumedang keturunan Limbangan. Dia ditempatkan sebagai kepala cutak di Cikalong hingga akhirnya dapat meraih posisi Bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kornel.
Prosa sejarah, dalam hal ini novel tentang Pangeran Kornel yang disusun oleh R. Memed Sastrahadiprawira merupakan karya sastra. Sejatinya karya sastra adalah tiruan dari dunia nyata. Apakah yang tertulis di dalamnya benar pernah terjadi?
Studi berjudul ‘Cerita Pangeran Kornel dalam Perspektif Sastra dan Sejarah’ oleh Danan Darajat, dkk. dalam Jurnal Diglosa (2021) menyebutkan apa yang ditulis oleh R. Memed tidak jauh berbeda dengan fakta sejarah.
“Novel Pangéran Kornél karya R. Memed Sastrahadiprawira merupakan novel yang tergolong ke dalam novel sejarah. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Darajat, dkk. (2020, hlm. 11) bahwa novel sejarah isinya berkaitan dengan peristiwa sejarah. Novel Pangéran Kornél memiliki struktur cerita yang lengkap sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Stanton (2012), meliputi tema, fakta cerita, dan sarana sastra,” tulis studi itu.
Pangeran Kornel adalah Pangeran Kusumadinata, Bupati Sumedang tahun 1791-1828. Lahir pada 1761. Semasa kecil, namanya Raden Jamu. Setelah menikah dengan Raden Ayu Rajaningrat, namanya menjadi Raden Surianagara.
Belanda memberinya gelar kolonel tituler. Orang Sunda yang mendengar ‘kolonel’ keliru mengucapkannya, sehingga menjadi Kornel. Hingga kini, Pangeran Kornel dipuja sebagai simbol perlawanan terhadap H.W. Daendels, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang mengadakan pelebaran Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan, di mana jalan itu melintasi Sumedang dan membuat rakyat yang mengerjakannya kerepotan karena harus membelah cadas yang masyhur sebagai Cadas Pangeran.
Momen Pangeran Kornel memegang hulu keris dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menyambut jabat tangan Daendels dijadikan patung yang terletak di Jalan Raya Cadas Pangeran. Pangeran Kornel dielu-elukan sebagai sosok yang berpihak kepada penderitaan rakyat.
Sayang, R. Memed Sastrahadiprawira pada bab-bab akhir bukunya menceritakan bagaimana sejatinya Pangeran Kornel memuji Belanda yang notabene adalah penjajah. Ketika Hindia dipegang oleh Inggris ditandai pelantikan Lord Minto di Bogor pada 1811, Pangeran Kornel jelas-jelas kurang suka. Sebab ‘tuan’ baginya adalah Belanda.
Dia mengatakan bahwa sudah lebih dari 200 tahun leluhurnya hingga dia sendiri mengabdi untuk Kerajaan Belanda dan kompeni, dia berdoa semoga Kerajaan Belanda selamat!