Saat Musik Jazz Jadi Bahasa untuk Menguatkan Penyintas Autoimun

Posted on

Suasana hangat menyelimuti kafe Lot 69 di jalan Pelajar Pejuang, Kota Bandung, Rabu (22/10/2025) malam. Di tengah-tengah kursi dan meja yang terisi penuh, alunan musik jazz menghidupkan suasana.

Dalam kesempatan tersebut, Brury Effendy, pemain terompet yang juga merupakan founder Bandung Jazz Orchestra, tampil membawakan sejumlah lagu bersama band The Jazz Travel. Aksi permainan terompet solonya saat membuka lagu pertama disambut riuh tepuk tangan penonton.

Penampilan mereka kemudian disambung melalui lagu lawas “My Favorite Things” dalam versi jazz yang menggugah. Ketika melodi gitar mengalun membawakan intro lagu yang dipopulerkan oleh Julie Andrews tersebut, penonton pun bersorak.

Harmoni permainan terompet, bass, gitar dan piano berlanjut lewat sejumlah lagu, termasuk “Cantaloupe Island” yang membawa penonton bertualang ke era musik ’60-an. Musisi muda Shayna Alethea pun tampil kemudian, mengisi vokal.

Keseruan aksi panggung The Jazz Travel malam itu tak sekedar menghibur penonton yang hadir, melainkan juga membawa misi kemanusiaan. Yakni meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit autoimun, yang selama ini dinilai masih cukup asing di telinga awam.

Marisza Cardoba, pendiri Yayasan Marisza Cardoba Foundation (MCF) yang sekaligus juga merupakan penyintas autoimun, mengatakan bahwa acara bertajuk “Jazz Night: A Tribute to Autoimmune Survivors in Indonesia” tersebut merupakan bagian dari rangkaian bulan Peduli Autoimun Nasional yang jatuh pada September lalu. Melalui panggung musik jazz, ia berupaya menggaungkan isu penyakit autoimun agar lebih dikenal luas di masyarakat.

“Musik itu kan universal, siapapun suka musik. Mungkin tidak banyak orang yang butuh tahu tentang autoimun kecuali dia mengalami atau ada kerabatnya yang mengalami. Tapi ketika berbicara tentang musik, semua bisa menikmati,” ungkap Marisza ketika ditemui di sela acara.

“Mudah-mudahan lewat musik ini kita bisa melakukan penetrasi dan diseminasi informasi tentang autoimun dengan lebih baik,” lanjutnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa saat ini autoimun telah menjadi epidemi di berbagai belahan dunia. Penyakit ini merupakan kondisi ketika sistem kekebalan tubuh keliru menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri.

Hingga kini, setidaknya telah teridentifikasi lebih dari 80 jenis penyakit autoimun, di antaranya lupus (Systemic Lupus Erythematosus), rheumatoid arthritis, psoriasis, dan scleroderma. Di Amerika Serikat, Marisza memaparkan, autoimun telah menduduki peringkat ketiga sebagai penyakit mematikan yang menyerang 15,5% dari total penduduknya.

Adapun di Indonesia, penyakit autoimun diperkirakan menyerang 5 hingga10 persen dari total populasi, setara dengan 12-25 juta orang. Pasca pandemi COVID-19, jumlah penderita autoimun di Indonesia juga disinyalir meningkat.

“Kami ingin lebih menggaungkan lagi perihal autoimun supaya masyarakat di seluruh Indonesia sadar bahwa autoimun itu ada di sekeliling kita, tidak perlu ditakuti, tapi juga tidak bisa dianggap sepele,” ungkap Marisza.

Dalam acara malam itu, Marisza juga membagikan gelang solidaritas kepada seluruh peserta yang hadir sebagai simbol dukungan bagi para penyintas berbagai penyakit autoimun. Ia mengatakan, dukungan bagi para penyintas adalah salah satu elemen yang sangat penting dalam proses pemulihan.

“Dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat tentang autoimun, dukungan terhadap penyintas juga diharapkan bisa lebih besar. Kami sebetulnya ingin sekali disemangati, karena banyak dari penyintas autoimun adalah perempuan usia produktif yang kehilangan waktu produktifnya,” jelasnya.

Sebagai penyintas, Marisza membagikan pengalamannya hidup bersama kondisi autoimun sejak balita. Ia kemudian rutin mengkonsumsi obat selama 25 tahun, sebelum akhirnya mengalami koma karena perdarahan hebat.

“Waktu usia 30 tahun, autoimun saya menyerang trombosit, jadi jumlah trombosit saya sehari-hari hanya 7 ribu. Itu luar biasa berbahaya karena bisa berdarah di mana-mana,” terangnya.

“Lagi ngobrol gini pun dulu saya bisa tiba-tiba berdarah dari gusi misalnya. Sejak saat itu saya baru benar-benar paham bahwa pengobatan medis saja tidak cukup,” lanjutnya.

Ia bahkan sempat terbaring di ICU untuk waktu yang cukup lama. Doa dari sang anak, ia mengatakan, menjadi penguat yang membuatnya bangkit ke titik balik. Dari sanalah ia berupaya mencari tahu lebih banyak cara untuk dapat bertahan dan tetap berkarya di tengah keterbatasannya.

“Setelah saya pulih dari koma, tidak lama kemudian yayasan ini (MCF) berdiri. Alhamdulillah kami berhasil mengumpulkan mulai dari ahli gizi, dokter berbagai spesialis, dan lainnya. Kami melakukan FGD, riset, dan akhirnya ditemukan bahwa hanya minum obat tidak cukup untuk mengatasi autoimun. Yang kedua, harus diiringi penerapan pola hidup sehat, khususnya pola makan sehat,” paparnya.

Ia pun kemudian berupaya menjalani pola hidup sehat dengan memperbanyak olahan makanan organik dan menjauhi bahan-bahan artifisial, di samping konsumsi obat. Saat ini, Marisza mengatakan dirinya telah mencapai kondisi remisi, di mana kondisi tubuh dinyatakan bisa bertahan tanpa obat-obatan.

Ia juga kemudian mendirikan Autoimmune ID, wadah yang aktif berbagi informasi mengenai autoimun serta pemberdayaan penyintas. Marisza mengatakan, semangat menjalani hidup yang lebih baik perlu diadopsi oleh para penyintas.

“Itulah yang ingin kami tularkan kepada seluruh teman-teman penyintas autoimun, bahwa autoimun bukan akhir dari segalanya. Ketika kita divonis autoimun, bukan berarti hidup kita berhenti di situ. Ayo mulai berobat secara teratur, benahi pola hidup kita. Insya Allah, teman-teman bisa mencapai remisi dan bertahan seperti saya,” tutupnya.

Perjalanan Hidup dengan Autoimun

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *