Di lereng kecil Desa Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, aroma tajam kerap menyeruak setiap kali angin berembus dari arah lokasi yang kini dipasangi garis kuning.
Warga menyebutnya tempat sampah baru, hingga belakangan terungkap bahwa tumpukan itu bukan sekadar sampah rumah tangga, melainkan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang seharusnya dikelola dengan ketat.
Kasus itu mencuat setelah Satpol PP dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor menutup area tersebut pada 14 Oktober 2025. Penutupan dilakukan karena lokasi tidak berizin dan diduga menjadi tempat pembuangan limbah industri yang mengancam tanah, air, dan udara Rumpin.
Bagi sekelompok mahasiswa yang menamakan diri Himpunan Mahasiswa Rumpin (HMR), penutupan bukan akhir dari persoalan, melainkan awal penyelidikan.
“Jangan berhenti di spanduk penutupan. Kami ingin tahu siapa yang buang limbah itu,” ujar Md Aang, Kepala Bidang Advokasi dan Aksi HMR, dalam siaran pers yang diterima infojabar, Rabu (28/10/2025).
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Bagi Aang dan kawan-kawan, Rumpin bukan sekadar titik di peta Bogor bagian barat. Di wilayah yang dikenal sebagai kawasan hijau dan tambang batu itu, mereka tumbuh dan belajar. Kini mereka menuntut tanggung jawab atas pencemaran yang bisa mengubah wajah kampung sendiri.
Menurut Ananda Sugiarto, Ketua Umum HMR, aktivitas industri dan pembuangan sampah ilegal pelan-pelan menggerus daya dukung lingkungan.
“Limbah B3 di pemukiman bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi ancaman bagi hidup warga,” kata Ananda.
Ia menegaskan, zat kimia berbahaya bisa meresap ke tanah dan mencemari sungai yang menjadi sumber air masyarakat.
HMR mendesak DLH dan Satpol PP Kabupaten Bogor membuka hasil pemeriksaan laboratorium kepada publik atas temuannya tersebut.
“Masyarakat berhak tahu apa yang sebenarnya dibuang di sekitar rumah mereka,” ujar Ananda.
Ia menilai DLH sering baru bertindak setelah masalah meledak. “Jangan tunggu warga berteriak dulu baru turun tangan. Pengawasan harus aktif, agar kasus seperti ini tak berulang.”
Kini HMR menggandeng warga untuk mengawasi agar tak ada pembuangan baru setelah penutupan. Mereka sadar, pengawasan tak bisa sepenuhnya diserahkan pada pemerintah daerah.
“Kalau masyarakat tidak ikut jaga, besok bisa saja ada truk datang tengah malam,” kata Ananada.
HMR juga menuntut penegakan hukum, termasuk penyelidikan terhadap sumber limbah dan pihak yang terlibat.
“Kami akan kawal sampai tuntas. DLH harus berpihak pada warga, bukan sekadar pada laporan di atas meja,” tegas Ananda.
